Jakarta - Linkin Park, raksasa nu metal/rap rock dunia itu kini siap menyambangi Indonesia untuk yang kedua kalinya. Mungkin kita masih ingat bagaimana band beranggotakan vokalis Chester Bennington, gitaris/vokal rap Mike Shinoda, keyboardist/turntable Joseph Hahn, pemain bas Phoenix, gitaris Brad Delson, dan drummer Rob Bourdon yang didirikan di Agoura Hills, California tahun 1996 ini muncul ke dunia musik dengan formula rap rock kental bersenjatakan album pertama mereka. Hybrid Theory (2000) meledak di pasar musik dunia (terjual sebanyak 15 juta keping di seluruh dunia) dan berhasil menjadi salah satu eksponen terpenting dari genre yang besar di akhir ‘90-an hingga awal 2000-an. Bersama dengan Limp Bizkit, Korn, System of a Down, Linkin Park menjadi salah satu band paling laku di pasar dunia akibat formulanya yang paling easy listening dan ‘bersahabat’ diban-ding teman-teman nu-metal seperjuangannya, dan juga mampu melekat erat di telinga para penggemar musik yang belum tentu harus menggemari musik metal.
Khusus untuk Indonesia, ada beberapa fakta yang mendukung betapa besarnya pengaruh Linkin Park pada bumi Indonesia. Beberapa di antaranya adalah album Hybrid Theory yang dirilis berhasil terjual sebanyak lebih dari 600 ribu keping di Indonesia. “Album Meteora terjual sekitar 500 ribuan keping. Album-album Linkin Park setelahnya sekitar 100 sampai 200 ribuan keping,” beber Hendra Tanusaputra, International Marketing Department dari Warner Music Indonesia.
Ini bukan angka yang main-main untuk sebuah band rock internasional di Indonesia. Bahkan konser Linkin Park (era album Meteora) di Indonesia tahun 2004 mampu menyedot hingga 20 ribu penonton lebih. Hal tersebut pula yang tampaknya membuat Event Organizer Big Daddy berencana mendatangkan Linkin Park pada 21 September 2011 nanti.
Beberapa fakta lainnya juga adalah adanya fanclub serius bernama Linkin Park Fans Indonesia atau LPFI, gagasan anak Bandung yang kini beranggotakan lebih dari 5000 orang di Facebook, serta membuat situs khusus yang meng-update kegiatan Linkin Park dari waktu ke waktu. Bahkan di Indonesia ada band rock berbasis massa besar seperti Saint Loco, yang mengakui cukup banyak terpengaruh secara musik oleh Linkin Park.
Dengan materi yang ‘berani’ menggabungkan antara rock, hip-hop serta musik elektronik seperti drum & bass, Linkin Park juga menjadi salah satu aksi musik yang paling berprogres. Lima tahun ke belakang, Linkin Park tampak nyaman bekerjasama dengan produser bertangan dingin Rick Rubin pada album-album mereka, termasuk pada A Thousand Suns (2010) di mana band ini cukup drastis menggeserkan musik mereka menjadi lebih tenang dan dengan pengaruh elektronik yang kuat. Unsur nu-metal ditinggalkan, hingar bingar disusutkan, dan bebunyian tenang menjadi fondasi kini.
Penggemar pun cukup banyak yang bergejolak. Beberapa dahi cukup berkerut akibat bingung dengan materi yang dianggap cukup berat tersebut, walaupun masih banyak penggemar yang tetap setia. “Kalau menurut saya sih cukup normal kalau me-reka berubah, bahkan menurut saya Linkin Park itu beruntung karena mereka mungkin satu-satunya band nu-metal yang bisa melakukan progres sampai sedrastis ini dan tetap terjaga benang merahnya,” tegas Iwan Hoedarto, gitaris Saint Loco yang juga penggemar Linkin Park.
Yuda, seorang penggemar berat dan pendiri LPFI juga beranggapan sama, “Saya bahkan pernah lihat chat dengan Chester Bennington di Yahoo. Ketika ada yang bertanya ‘Is Nu Metal dead?’ dia malah menjawab ‘I hope so!’ Ini seolah statement yang menyatakan kebosanan Chester akan musik hingar bingar,” tukas Yuda.
Rolling Stone mendapat kesempatan untuk berbincang dengan Chester Bennington via telepon mengenai progresi album, bekerja sama dengan Rick Rubin, dan kehidupan saat tur. Berikut adalah wawancaranya:
Apa kabar Chester, jadi ini untuk yang kedua kalinya Linkin Park akan tampil di Indonesia. Apa yang bisa diharapkan para penggemar dari pertunjukan nanti?
Kabar baik di sini, sebuah pertunjukan yang bagus pastinya. Seperti yang sudah-sudah, kami akan membawakan banyak materi yang akan jadi sebuah konser yang menarik. Tentunya kami akan membawakan banyak materi lama dari album yang lama seperti dari Hybrid Theory dan Meteora, serta album lainnya. Tapi kami juga akan memainkan lagu-lagu dari album baru. It should be a good show.
Banyak opini yang berterbangan di luar sana mengenai pergeseran materi musik di album baru A Thousand Suns, sekarang menjadi lebih kalem dan tak lagi menawarkan rock. Apa pendapat Anda mengenai opini-opini tersebut?
Well, kalau dilihat sebenarnya dari dulu masing-masing album Linkin Park pasti menawarkan perbedaan atau progres. Hybrid Theory lebih bersemangat. Dengan lagu rock yang cukup keras, tapi di album yang sama juga ada lagu seperti “In The End” yang bertempo lambat, dengan piano. Kalau didengar bisa membuat orang berpikir, “What the fuck?” tapi sepertinya cukup masuk akal untuk berada di album yang sama. Kondisi sekarang di album A Thousand Suns juga seperti itu, kita selalu berubah, dan itu hal yang biasa. Malah menurut saya akan mengecewakan kalau membuat album yang sound-nya kurang lebih sama dengan yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.
Pada titik karier Linkin Park seperti saat ini, apakah Anda masih menganggap penting ulasan buruk atau bagus dari suatu media terhadap karya Anda?
Menarik bahwa Anda menanyakan hal ini, karena sebenarnya sebagai seorang pemain band kami dari dulu selalu mendapatkan ulasan yang berbagai macam. Ada majalah yang memberi empat bintang pada kami, ada majalah lain lagi yang memberi dua bintang. Bahkan dulu ada sebuah media di Seattle yang punya kebencian luar biasa terhadap Linkin Park, seolah kami bertanggung jawab terhadap terjadinya ketidakadilan di dunia. Kalau menurut saya, setiap orang berhak memiliki opininya sendiri. Dan hal yang paling penting bagi kami adalah ketika kami memberikan yang terbaik saat berkarya di studio, dan ketika mengerjakan final touch dari sebuah album, kami semua bahagia akan hasilnya, dan saling tos-tosan setelahnya. Then we’re good. Menurut kami, album seperti Hybrid Theory adalah karya terbaik kami pada saat dan era itu, dan juga tiap album hingga sekarang adalah karya terbaik kami sesuai dengan eranya.
Sumber : Rolling Stone Indonesia
Khusus untuk Indonesia, ada beberapa fakta yang mendukung betapa besarnya pengaruh Linkin Park pada bumi Indonesia. Beberapa di antaranya adalah album Hybrid Theory yang dirilis berhasil terjual sebanyak lebih dari 600 ribu keping di Indonesia. “Album Meteora terjual sekitar 500 ribuan keping. Album-album Linkin Park setelahnya sekitar 100 sampai 200 ribuan keping,” beber Hendra Tanusaputra, International Marketing Department dari Warner Music Indonesia.
Ini bukan angka yang main-main untuk sebuah band rock internasional di Indonesia. Bahkan konser Linkin Park (era album Meteora) di Indonesia tahun 2004 mampu menyedot hingga 20 ribu penonton lebih. Hal tersebut pula yang tampaknya membuat Event Organizer Big Daddy berencana mendatangkan Linkin Park pada 21 September 2011 nanti.
Beberapa fakta lainnya juga adalah adanya fanclub serius bernama Linkin Park Fans Indonesia atau LPFI, gagasan anak Bandung yang kini beranggotakan lebih dari 5000 orang di Facebook, serta membuat situs khusus yang meng-update kegiatan Linkin Park dari waktu ke waktu. Bahkan di Indonesia ada band rock berbasis massa besar seperti Saint Loco, yang mengakui cukup banyak terpengaruh secara musik oleh Linkin Park.
Dengan materi yang ‘berani’ menggabungkan antara rock, hip-hop serta musik elektronik seperti drum & bass, Linkin Park juga menjadi salah satu aksi musik yang paling berprogres. Lima tahun ke belakang, Linkin Park tampak nyaman bekerjasama dengan produser bertangan dingin Rick Rubin pada album-album mereka, termasuk pada A Thousand Suns (2010) di mana band ini cukup drastis menggeserkan musik mereka menjadi lebih tenang dan dengan pengaruh elektronik yang kuat. Unsur nu-metal ditinggalkan, hingar bingar disusutkan, dan bebunyian tenang menjadi fondasi kini.
Penggemar pun cukup banyak yang bergejolak. Beberapa dahi cukup berkerut akibat bingung dengan materi yang dianggap cukup berat tersebut, walaupun masih banyak penggemar yang tetap setia. “Kalau menurut saya sih cukup normal kalau me-reka berubah, bahkan menurut saya Linkin Park itu beruntung karena mereka mungkin satu-satunya band nu-metal yang bisa melakukan progres sampai sedrastis ini dan tetap terjaga benang merahnya,” tegas Iwan Hoedarto, gitaris Saint Loco yang juga penggemar Linkin Park.
Yuda, seorang penggemar berat dan pendiri LPFI juga beranggapan sama, “Saya bahkan pernah lihat chat dengan Chester Bennington di Yahoo. Ketika ada yang bertanya ‘Is Nu Metal dead?’ dia malah menjawab ‘I hope so!’ Ini seolah statement yang menyatakan kebosanan Chester akan musik hingar bingar,” tukas Yuda.
Rolling Stone mendapat kesempatan untuk berbincang dengan Chester Bennington via telepon mengenai progresi album, bekerja sama dengan Rick Rubin, dan kehidupan saat tur. Berikut adalah wawancaranya:
Apa kabar Chester, jadi ini untuk yang kedua kalinya Linkin Park akan tampil di Indonesia. Apa yang bisa diharapkan para penggemar dari pertunjukan nanti?
Kabar baik di sini, sebuah pertunjukan yang bagus pastinya. Seperti yang sudah-sudah, kami akan membawakan banyak materi yang akan jadi sebuah konser yang menarik. Tentunya kami akan membawakan banyak materi lama dari album yang lama seperti dari Hybrid Theory dan Meteora, serta album lainnya. Tapi kami juga akan memainkan lagu-lagu dari album baru. It should be a good show.
Banyak opini yang berterbangan di luar sana mengenai pergeseran materi musik di album baru A Thousand Suns, sekarang menjadi lebih kalem dan tak lagi menawarkan rock. Apa pendapat Anda mengenai opini-opini tersebut?
Well, kalau dilihat sebenarnya dari dulu masing-masing album Linkin Park pasti menawarkan perbedaan atau progres. Hybrid Theory lebih bersemangat. Dengan lagu rock yang cukup keras, tapi di album yang sama juga ada lagu seperti “In The End” yang bertempo lambat, dengan piano. Kalau didengar bisa membuat orang berpikir, “What the fuck?” tapi sepertinya cukup masuk akal untuk berada di album yang sama. Kondisi sekarang di album A Thousand Suns juga seperti itu, kita selalu berubah, dan itu hal yang biasa. Malah menurut saya akan mengecewakan kalau membuat album yang sound-nya kurang lebih sama dengan yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.
Pada titik karier Linkin Park seperti saat ini, apakah Anda masih menganggap penting ulasan buruk atau bagus dari suatu media terhadap karya Anda?
Menarik bahwa Anda menanyakan hal ini, karena sebenarnya sebagai seorang pemain band kami dari dulu selalu mendapatkan ulasan yang berbagai macam. Ada majalah yang memberi empat bintang pada kami, ada majalah lain lagi yang memberi dua bintang. Bahkan dulu ada sebuah media di Seattle yang punya kebencian luar biasa terhadap Linkin Park, seolah kami bertanggung jawab terhadap terjadinya ketidakadilan di dunia. Kalau menurut saya, setiap orang berhak memiliki opininya sendiri. Dan hal yang paling penting bagi kami adalah ketika kami memberikan yang terbaik saat berkarya di studio, dan ketika mengerjakan final touch dari sebuah album, kami semua bahagia akan hasilnya, dan saling tos-tosan setelahnya. Then we’re good. Menurut kami, album seperti Hybrid Theory adalah karya terbaik kami pada saat dan era itu, dan juga tiap album hingga sekarang adalah karya terbaik kami sesuai dengan eranya.
Sumber : Rolling Stone Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar