Kata kersanan, dalam bahasa Jawa berarti yang sangat disukai, sementara ndalem selalu terkait dengan yang sangat dihormati terutama di kalangan masyarakat Yogyakarta dan Surakarta, yaitu Sultan (Yogyakarta) atau Sunan (Surakarta). Jadi maksud kersanan ndalem, dalam buku ini adalah sajian makanan beserta minuman yang sangat disukai oleh raja, karena ini menjadi istimewa apabila dikaitkan dengan kelezatan dan kenikmatan.
Buku ini, secara bagus menggambarkan bagaimana seorang raja diperlakukan istimewa oleh seluruh rakyat terutama bangsawan (kerabat sang raja) dan seluruh abdi dalem. Dalam hal dhahar dalem (santapan bagi raja) ini, ada dapur khusus yang di Keraton Yogyakarta disebut sebagai pawon ageng.
Pawon ageng dikepalai oleh seorang ahli masak dibantu beberapa orang staf, yang secara keseluruhan “tim masak” ini disebut sebagai boja. Setelah bahan-bahan dimasak dan siap dihidangkan, ada kelompok lain yang mengerjakan, yaitu abdi dalem keparakan. Abdi dalem ini mengusung jodhang berisi hidangan santapan raja.
Minuman yang akan dipersembahkan pada raja atau Sultan dibuat dan dihidangkan oleh abdi dalem patehan. Demikian setiap hari, kejadian ini masih berlangsung di dalam Keraton Yogyakarta hingga saat ini (halaman 24).
Istimewa
Apa saja yang disantap raja atau tentu istimewa. Kalau kenikmatan itu universal, tentu sangat bagus apabila makin banyak yang ikut merasakan. Dan ternyata sebagian besar dari kersanan ndalem itu banyak yang hingga sekarang juga menjadi menu masakan masyarakat (seperti bobor komplet, gudeg, opor ayam), meskipun beberapa yang lain sudah tidak dikenal (seperti manuk enom, kongos, wedang adulimo).
Karena itu, kehadiran buku ini tentu merupakan terobosan baru dalam mengisahkan sisi lain para raja, yang ternyata sangat menyukai kuliner Nusantara, dan bahkan gemar memasak sendiri. Dikisahkan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX selalu meluangkan waktu di antara kesibukan di lingkungan keraton maupun di pemeritahan RI dengan melakukan kegiatan kesukaan, yaitu memasak.
Hal ini bertujuan untuk menyenangkan dan mendidik putra-putrinya (berusia 6-18 tahun) dan para istri, baik di dalam keraton (di Gedong Jene) maupun di luar keraton di Pasanggrahan ndalem Ngeksi Gondo di Kaliurang.
Aktivitas memasak Sri Sultan itu dilakukan berkisar 1956-1962, ketika ia menjabat sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta maupun saat menjabat sebagai menteri Ekuin.
Sri Sultan, yang pernah pula menjabat sebagai wakil presiden era Soeharto itu tetap melanjutkan kegemaran memasak di keraton. Sebulan sekali dia pulang ke keraton dan mengumpulkan para istri serta putra-putri untuk memasak bersama dengan menu lombok kethok, sop bun tut sapi, dan kue panekuk isi enten-enten (dibuat dari parutan kelapa yang dicampur dengan gula Jawa yang telah dicairkan) (halaman 58).
Akhirnya, dapatlah dikatakan bahwa buku ini ditulis selain sebagai sarana untuk memperlihatkan kekayaan kuliner keraton (terutama Yogyakarta) juga sebagai sarana pewarisan budaya berupa tata cara makan, memasak, dan menyajikan masakan tersebut, terutama di lingkungan para bangsawan, yaitu kelompok elite masyarakat Yogya tempo dulu. Mengungkap tata cara ini sungguh mengasyikkan, karena ternyata dapat dipandang sebagai cara masyarakat memanfaatkan bahan pangan di sekitar berdasarkan kearifan lokal.
Hal ini sangat mendukung keberlanjutan pengelolaan hasil bumi setempat yang berujung pada ketahanan pangan masyarakat.
Selain itu, buku ini semakin lengkap dan menarik karena di samping memberikan informasi seputar menu-menu makanan kesukaan para raja, juga ditampilkan cara membuatnya. Buku ini komplit. Di dalamnya terdapat muatan sejarah, sekaligus pengetahuan tentang makanan-makanan khas keraton, yang mencakup menu makanan pembuka, makanan utama, lauk-pauk, kudapan, makanan penutup, dan minuman.
Di setiap menu itu masih dirinci lagi ragam nama makanan dan minuman. Buku ini diharapAkan dapat menginsipirasi para pengusaha kuliner lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan usahanya.
========================
Judul : Potret Kekayaan Kuliner Yogyakarta "Kersan Ndalem", Menu Favorit Para Raja
Penulis : Murdijati Gardjito, dan kawan-kawan
Penerbit : Kanisius
Cetakan : Pertama, Oktober 2010
Tebal : 232 halaman