Syalimah gembira. Karena suaminya mengatakan akan memberinya hadiah kejutan. Syalimah tak tahan
”Aih, janganlah bersenda, Pak Cik. Kita ini orang miskin. Orang miskin tak kenal kejutan”
Mereka tersenyum
”Kejutan-kejutan begitu, kebiasaan orang kaya. Orang macam kita ni? Saban hari terkejut. Datanglah ke pasar kalau Pak Cik tak percaya”
Suaminya-Zamzami-tahu benar maksud istrinya. Harga-harga selalu membuat mereka terperanjat.
”Telah lama kauminta” kata suaminya dengan lembut
Syalimah kian ingin tahu. Waktu mengantar suaminya ke pekarangan dan menyampirkan bungkus rantang bekal makanan di stang sepeda, ia bertanya lagi, Zamzami tetap tak menjawab.
”Sudah bertahun-tahun kauinginkan, baru bisa kubelikan sekarang, maaf”
Zamzami meninggalkan pekarangan, namun kembali. Ia mengatakan ingin mengajak Syalimah melihat-lihat bendungan.
”Apa Yahnong tak kan bekerja?”
Yahnong, singkatan untuk ayah bagi anak tertua mereka Enong. Kebiasaan orang Melayu menyatakan sayang pada anak tertua dengan menggabungkan nama ayah dan nama anak tertua itu.
”Sudah lama aku tak memboncengmu naik sepeda”
Bendungan itu tak jauh dari rumah mereka. Dulu dipakai Belanda untuk untuk membendung aliran anak-anak Sungai Linggang agar kapal keruk dapat beroperasi. Sampai di sana, mereka hanya diam memandangi permukaan danau yang tenang. Tak bicara, seperti mereka dulu sering bertemu di situ.
Mereka pulang. Zamzami berangkat kerja. Syalimah tak memikirkan soal kejutan itu. Karena ia bahkan lupa pernah meminta apa dari suaminya. Delapan belas tahun mereka telah berumah tangga, baru kali ini suaminya akan memberi kejutan. Semua hal, dalam keluarga mereka yang sederhana, amat gampang diduga. Penghasilan beberapa ribu rupiah mendulang timah,cukup untuk membeli beras berapa kilogram, untuk menyambung hidup beberapa hari. Semuanya dipahami Syalimah di luar kepala. Tak ada rahasia, tak ada yang tak biasa, dan tak ada harapan yang muluk-muluk. Tahu-tahu, macam bakung berbunga musim kemarau, suaminya ingin memberinya kejutan.
Syalimah dan Zamzami berjumpa waktu pengajian ketika mereka masih remaja. Zamzami yang pemalu, begitu pula Syalimah, menyimpan rasa suka diam-diam. Zamzami tak pernah berani mengatakan maksud hatinya, dan Syalimah takut menempatkan diri pada satu keadaan sehingga lelaki lugu itu dapat mendekatinya.
Namun, lirikan curi-curi di tengah keramain itu kian hari kian tak tertahankan. Zamzami mengurangi kecepatannya menambah juz mengaji, padahal ia membaca Al-quran lebih baik dari ia membaca huruf latin. Tujuannya agar makin lama dapat berada di dalam kelas yang sama dengan Syalimah. Berulang kali ditanyakannya pada ustad hal-hal yang dia sudah tahu. Dibentak bebal, dia tersenyum sambil menunduk. Sedangkan Syalimah, berpura-pura bodoh membaca tajwid, dimarahi ustad, biarlah. Maksudnya serupa dengan maksud Zamzami. Semua taktik yang merugikan diri sendiri itu, jika boleh disebut cinta, itulah cinta.
Sungguh indah, atas saran ustad-lantaran mencium gelagat yang tak beres antara dua murid mengaji yang tak tahu cara mengungkap cinta itu-mereka malah dijodohkan orang tua masing-masing.
Sejak mengenal Zamzami, Syalimah tahu ia akan bahagia hidup bersama lelaki itu, meski, ia juga mahfum, ada satu hal yang harus selalu ia hindari: minta dibelikan apapun. Sebab lelaki baik hati yang dicintainya itu hanyalah lelaki miskin yang berasal dari keluarga pendulang timah. Namun Syalimah tak perlu dibelikan harta benda sebab Zamzami adalah harta yang paling berharga, melebihi segalanya. Lelaki itu amat penyanyang pada keluarga, sehingga Syalimah tak memerlukan harta apapun lagi di dunia ini.
Menjelang tengah hari, sebuah mobil pikup berhenti di depan rumah. Dua lelaki mengangkat benda yang dibungkus dengan terpal dari bak mobil itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Syalimah bertanya-tanya. Mereka tak mau menjawab.
”Malam ini ada pasar malam di Manggar, Mak Cik” kata salah satu lelaki itu sambil tersenyum.
Syalimah memandangi benda itu dengan gugup tapi gembira. Pasti benda itu yang dimaksud suaminya dengan kejutan. Rupanya sungguh luar biasa pengaruh sebuah kejutan. Sekarang ia paham mengapa orang-orang kaya menyukai kejutan. Kucing-kucingnya yang lucu melingkari benda itu, menggodanya untuk mendekat. Syalimah melangkah maju, namun di tengah jalan, ia ragu. Ia kembali ke ambang pintu.
Syalimah menertawakan kelakuannya sendiri karena keranjingan menikmati sensasi sebuah kejutan. Lalu ia berpikir, kejutan itu tak sanggup ia atasi dan terlalu indah untuk ia nikmati sendiri. Ia akan menunggu Enong, putri tertuanya itu, pulang dari ekolah. Mereka akan menikmati kejutan itu berdua. Tentu akan sangat menyenangkan.
Namun Syalimah tak tahan untuk segera tahu apa yang dibelikan suaminya untuknya, sedangkan Enong baru akan pulang sore nanti. Sesekali ia melongok ke arah benda yang misterius itu. Ia memberanikan diri dan melangkah pelan mendekatinya. Di depan benda itu jantungnya berdebar-debar. Ia memejamkan mata dan menarik terpal. Ia membuka matanya dan terkejut tak kepalang melihat sesuatu berkilauan: sepeda Sim King made in RRC!
Syalimah terhenyak. Ia tak menyangka sepeda itu dihadiahkan Zamzami untuknya sebagai kejutan. Bukan hanya karena sepeda itu akan menjadi benda paling mahal di rumah mereka, namun karena ia memintanya hampir empat tahun silam. Itupun sesungguhnya bukan meminta. Waktu mengandung anak bungsunya, ia berkisah pada Zamzami, betapa dulu ia bahagia sering dibonceng almarhum ayahnya naik sepeda ke pasar malam, dan di sana dibelikan balon gas.
”Kalau anak ini lahir” kata Syalimah sambil bercanda
”Sepeda kita tak cukup lagi untuk membonceng anak-anak ke pasar malam” karena
anak mereka akan menjadi empat sedangkan mereka hanya punya dua sepeda reot.
Syalimah tak dapat menahan air matanya. Ia terharu mengenang suaminya telah menyimpan percakapan itu selama bertahun-tahun dan memegangnya sebagai sebuah permintaan. Betapa baik hati lelaki itu. Lalu Syalimah terisak begitu ingat bahwa hari itu hari Sabtu dan malam nanti ada pasar malam di Manggar. Kini ia paham maksud lelaki yang mengantarkan sepeda itu. Suaminya pasti merencanakan berangkat sekeluarga naik sepeda ke pasar malam. Seperti dulu ayah Syalimah selalu memboncengnya naik sepeda ke pasar malam.
Selanjutnya Syalimah hilir mudik di dapur menghitung bagaimana membagi anak-anaknya pada tiga sepeda. Sang ayah, satu-satunya lelaki di dalam keluarga, berarti yang paling kuat, akan membonceng keranjang pempang dan di dalamnya akan dimasukkan si nomor dua, gadis kecil yang bongsor itu.
Si nomor tiga, yang cerewet, akan dibonceng oleh kakanya Enong, dan si bungsu akan dibonceng ibu, naik sepeda baru Sim King made in RRC, hadiah kejutan itu. Tak terperikan bahagianya perjalanan ke pasar malam itu nanti. Meski telah menetapkan pengaturan pembagian sepeda, Syalimah berulang kali menghitungnya di dalam hati. Karena perhitungan itu menimbulkan perasaan indah dalam hatinya.
Kemudian Syalimah tak sabar menunggu suaminya pulang. Ia berdiri di ambang jendela, tak lepas memandangi langit yang mendung dan ujung jalan yang kosong. Ia ingin segera melihat suaminya berbelok di pertigaan di ujung jalan sana, pulang menuju rumah. Ia akan menyongsongnya di pekarangan dan mengatakan betapa indahnya sebuah kejutan. Ia mau mengatakan pula bahwa mulai saat itu mereka harus lebih sering memberi kejutan. Karena kejutan ternyata indah.
Syalimah gembira melihat seseorang bersepeda dengan cepat. Jika orang itu-Sirun-telah pulang, pasti suaminya segera pula pulang. Namun Sirun berbelok menuju rumah Syalimah dengan tergesa-gesa. Buruh kasar itu langsung masuk dan dengan gemetar mengatakan telah terjadi kecelakaan. Zamzami tertimbun tanah. Syalimah terpaku di tempatnya berdiri. Nafasnya tercekat. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Sirun memintanya menitipkan anak-anaknya kepada tetangga dan mengajaknya ikut ke tambang.
Sampai di sana, Syalimah mendengar orang berteriak-teriak panik dan menggunakan alat apa saja untuk menggali tanah yang menimbun Zamzami. Para penambang yang tak punya cangkul menggali dengan tangannya, secepat-cepatnya. Syalimah berlari dan bergabung dengan mereka. Ia menggali tanah dengan tangannya sambil tersedak-sedak memanggil-manggil suaminya. Keadaan menjadi semakin sulit karena hujan turun. Tanah yang menimbun Zamzami berubah menjadi lumpur. Para penambang berebut dengan waktu. Jika terlambat, Zamzami pasti tak tertolong dan Zamzami mulai memasuki saat-saat tak tertolong itu. Syalimah menggali seperti orang lupa diri sambil menangis, sampai berdarah ujung-ujung jarinya. Ia berdoa agar Zamzami tertimbun dalam keadaan tertelungkup. Penambang yang tertimbun dalam keadaan terlentang tak pernah dapat diselamatkan. Galian semakin dalam, Zamzami belum tampak juga. Tiba-tiba Syalimah melihat sesuatu. Ia menjerit
”Ini tangannya! Ini tangannya!”
Orang-orang menghambur ke arah tangan itu. Syalimah gemetar karena tangan yang menjulur itu terbuka. Suaminya telah tertimbun dalam keadaan terlentang. Para penambang cepat-cepat menarik Zamzami. Ketika berhasil ditarik, lelaki kurus itu tampak seperti tak bertulang. Tubuhnya telah patah. Pakaiannya compang-camping menyedihkan. Zamzami diam tak bergerak. Semuanya telah terlambat.
Syalimah tersedu-sedan. Ia bersimpuh di samping Zamzami yang telah mati. Ia mengangkat kepala suaminya ke atas pangkuannya. Kepala itu terkulai seperti ingin bersandar. Syalimah membasuh wajah Zamzami dengan air hujan, lalu tampak seraut wajah yang pias dan sepasang mata yang lugu. Syalimah mendekap lelaki penyayang itu kuat-kuat. Ia meratap-ratap memanggil-manggil suaminya.