Seharusnya saat aku tahu bertepuk sebelah tangan aku langsung pergi saja, jangan malah berdiri di situ pura-pura tak tahu kalau kenyataan sudah aku genggam.
Kenyataan yang menyakitkan itu. aku tetap berdiri saja di situ, seperti mengumpulkan lembar-lembar cerita patah hati, seperti menyusun sendiri puzzle-puzzle yang menyakitkan.
Berharap memang indah dan menyenangkan teman, berandai-andai kalau esok dia akan balik menatapmu, menyebut namamu, lalu merasakan rindu yang sama., tapi kenyataan'nya saat esok yang aku tunggu itu tidak tiba, aku akan bilang ‘mungkin waktu agak terlambat’ lalu kembali menanti esok berikutnya, dan begitu seterusnya, lalu esok itu pun jadi penantian tanpa ujung untuk'ku, menggerogoti waktumu sendiri.
Seperti menunggu hujan di tengah kemarau, aku tahu dia takkan datang, aku tahu dia tidak berangkat tapi aku tetap di sana menantinya, menunggunya tiba di tempat'ku menunggu.
Entah apa yang harus kulakukan untuk menyadarkanku sendiri, kalau tak semua penantian berujung dengan pertemuan.
Sekali lagi kukatakan bahwa penantian itu memang benar indah… aku tahu dan sangat mengerti. Tapi, aku juga sangat tahu kalau banyak penanti yang akhirnya harus merelakan penantiannya hanyut bersama ombak terakhir..........termasuk aku .