Tulisan singkat ini dilatarbelakangi oleh adanya orang-orang yang sangat mudah menjatuhkan vonis sesat atau menilai pihak lain di luar komunitasnya dan/atau yang berseberangan pendapat dengannya sebagai ahli bid`ah, baik secara tegas, maupun dengan menggunakan julukan yang samar, semisal: “Hizbi” dan lain-lain, tanpa menyadari betapa berat dan bahayanya vonis semacam ini. Dan, yang paling berat adalah memvonis kafir pihak lain.
Memang benar bahwa terdapat banyak nash dan atsar Salaf yang mencela bid`ah dan ahli bid`ah. Namun hal ini bukan menjadi pembenaran untuk kemudian bermudah-mudah dan serampangan dalam menjatuhkan vonis bid`ah serta menuduh pihak lain sebagai ahli bid`ah, terlebih lagi untuk menjatuhkan vonis kafir.
Menjatuhkan vonis kafir atau sesat atau ahli bid`ah kepada seseorang berarti melecehkan hal keberagamaan yang bersangkutan. Sedangkan pelecehan dalam hal agama merupakan pelecehan yang paling berat. Sebab seorang Mukmin lebih benci apabila keberagamaannya dilecehkan dibandingkan pelecehan terhadap hal-hal yang lain.
Dari Abลซ Hurairah, Nabi—shalla’Llฤhu `alaihi wa sallam—bersabda,
ุจِุญَุณุจِ ุงู
ْุฑِุฆٍ ู
ِู ุงูุดَّุฑّ ุฃู َูุญِْูุฑ ุฃุฎุงู ุงْูู
ُุณْูู
، ّูู ุงูู
ُุณْูู
ุนََูู ุงْูู
ุณูู
ุญَุฑَุงู
ุฏَู
ُู َูู
َุงูู َูุนุฑْุถู
“Cukuplah menjadi keburukan bagi seseorang untuk merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram, yaitu darahnya, hartanya dan kehormatannya.”
[Riwayat Muslim dan lain-lain]
Nabi—shalla’Llฤhu `alaihi wa sallam—bersabda
ุฅَِّู ู
ِْู ุฃَุฑْุจَู ุงูุฑِّุจَุง ุงูุงِุณْุชِุทَุงَูุฉُ ِูู ุนِุฑْุถِ ุงْูู
ُุณِْูู
ِ ุจِุบَْูุฑِ ุญٍَّู
“Sesungguhnya termasuk riba yang paling riba adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang Muslim tanpa hak (alasan yang dibenarkan).”
[Riwayat Abลซ Dฤwลซd II/685/4876 dan dinilai valid oleh al-Albฤni.]
Muhammad Syams al-Haqq al-`Azhฤซm ฤbadฤซ berkata, “Makna arba’r ribฤ adalah riba yang paling besar bahayanya dan yang paling keras keharamannya. Dan makna istithฤlah adalah mengulurkan lidah terhadap kehormatan seorang muslim. Maksudnya adalah merendahkannya dan merasa lebih tinggi darinya serta melakukan gunjingan (ghฤซbah) terhadapnya, seperti menunduhnya berzina atau mencelanya. Hal Ini merupakan riba yang paling keras keharamannya karena kehormatan merupakan perkara yang paling mulia bagi seseorang, lebih dari harta.”
[`Aun al-Ma`bลซd vol. XIII, hlm. 152.]
Dan yang lebih parah dari semua itu adalah pelecehan kehormatan terhadap seorang Muslim dalam hal agamanya. Imam al-Qurthubi berkata,
ุงูุนูู
ุงุก ู
ู ุฃูู ุงูุฏูุฑ ู
ู ุฃุตุญุงุจ ุฑุณูู ุงููู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
ูุงูุชุงุจุนูู ุจุนุฏูู
ูู
ุชูู ุงูุบูุจุฉ ุนูุฏูู
ูู ุดูุก ุฃุนุธู
ู
ู ุงูุบูุจุฉ ูู ุงูุฏูู ูุฃู ุนูุจ ุงูุฏูู ุฃุนุธู
ุงูุนูุจ ููู ู
ุคู
ู ููุฑู ุฃู ูุฐูุฑ ูู ุฏููู ุฃุดุฏ ู
ู
ุง ููุฑู ูู ุจุฏูู
“Ulama sejak awal masa para Sahabat Nabi—shalla’Llฤhu `alaihi wa sallam—dan Tabi’ฤซn setelah mereka menganggap bahwa tidak ada gunjingan yang lebih parah dibandingkan gunjingan yang berkaitan dengan agama (seseorang). Sebab aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib terberat. Setiap orang mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya daripada disinggung (cacat) tubuhnya.”
[Tafsฤซr al-Qurthubi, vol. XVI, hlm. 282, tafsir QS. Al-Hujurฤt [49]: 12.]
Bahaya lain yang tak kalah dahsyatnya dari melecehkan atau memvonis orang lain adalah bahwa vonis tersebut akan kembali kepada pengucapnya apabila pihak yang divonis ternyata tidak sebagaimana yang dikatakan.
Dari Abลซ Hurairah, Nabi—shalla’Llฤhu `alaihi wa sallam—bersabda,
ุฅِุฐَุง َูุงَู ุงูุฑَّุฌُُู ِูุฃَุฎِِْูู: َูุง َูุงِูุฑُ، ََููุฏْ ุจَุงุกَ ุจِِู ุฃَุญَุฏُُูู
َุง
“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, ‘Hai kafir,’ maka sesungguhnya hal itu kembali kepada salah satu dari keduanya.”
[Riwayat al-Bukhฤri V/2263/5752.]
Dalam riwayat lain dari Ibn `Umar:
ุฃَُّูู
َุง ุงู
ْุฑِุฆْ َูุงَู ِูุฃَุฎِِْูู: َูุง َูุงِูุฑُ، ََููุฏْ ุจَุงุกَ ุจَِูุง ุฃَุญَุฏُُูู
َุง، ุฅِْู َูุงَู َูู
َุง َูุงَู َูุฅِูุงَّ ุฑَุฌَุนَุชْ ุนََِْููู
“Siapa saja yang berkata saudaranya, ‘Hai kafir,’ maka sesungguhnya kalimat itu kembali kepada salah satu dari keduanya. Jika kondisinya adalah sebagaimana yang dikatakan, atau jika tidak maka kembali kepada pengucapnya.”
[Riwayat Muslim I/79/60.]
Dalam lafal lain:
ุฅِุฐَุง ََّููุฑَ ุงูุฑَّุฌُُู ุฃَุฎَุงُู ََููุฏْ ุจَุงุกَ ุจَِูุง ุฃَุญَุฏُُูู
َุง
“Jika seseorang mengafirkan saudaranya, maka sesungguhnya kalimat itu kembali kepada salah satu dari keduanya.”
[Riwayat Muslim I/79/60.]
Dari Abลซ Dzarr, Nabi—shalla’Llฤhu `alaihi wa sallam—bersabda,
َูู
َْู ุฏَุนَุง ุฑَุฌُูุงً ุจِุงُْْูููุฑِ ุฃَْู َูุงَู ุนَุฏُّู ุงِููู ََْูููุณَ َูุฐَِูู ุฅِูุงَّ ุญَุงุฑَ ุนََِْููู
“Barangsiapa yang memanggil orang lain dengan kekufuran atau menyebutnya sebagai musuh Allah padahal tidak demikian adanya, melainkan hal tersebut akan kembali kepada yang mengucapkannya.”
[Riwayat Muslim I/79/61.]
Dalam riwayat lain dari Abลซ Dzarr, Nabi—shalla’Llฤhu `alaihi wa sallam—bersabda,
ูุงَ َูุฑْู
ِْู ุฑَุฌٌُู ุฑَุฌُูุงً ุจุงُِْููุณُِْูู َููุงَ َูุฑْู
ِِْูู ุจِุงُْْูููุฑِ ุฅِูุงَّ ุงุฑْุชَุฏَّุชْ ุนََِْููู ุฅِْู َูู
ْ َُْููู ุตَุงุญِุจُُู َูุฐَِูู
“Tidaklah seseorang melemparkan tuduhan kepada yang lain dengan kefasikan, dan tidak pula kekafiran, melainkan hal itu akan kembali kepadanya apabila yang dituduh ternyata tidak demikian.”
[Riwayat al-Bukhฤri V/2247/5698.]
Imam Ibn Hajar berkata, “Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa barangsiapa yang berkata kepada orang lain, ‘Engkau fasiq,’ atau, ‘Engkau kafir,’ jika yang dituduh tidak sebagaimana yang dikatakan maka si pengucap itulah yang berhak menyandang sifat tersebut; dan apabila yang dituduh adalah sebagaimana yang dikatakan, maka tuduhan tersebut tidak kembali kepada pengucapnya, karena ia benar atas yang dikatakannya. Namun tidak ada kelaziman bahwa meskipun si penuduh tidak menjadi fasiq atau kafir, bukan berarti ia tidak berdosa, dan dalam hal ini terdapat perincian.
“Jika si penuduh tersebut bermaksud untuk menasehati yang tertuduh atau menasahati orang lain tentang kondisi si tertuduh, maka hal tersebut dibolehkan. Namun jika ia bermaksud untuk mencela, mencemarkan nama baiknya dan semata-mata ingin menyakiti, maka hal itu tidak dibolehkan. Sebab yang bersangkutan diperintah untuk menutup aib saudaranya, mengajarinya dan menasehatinya dengan baik. Dan, selama memungkinkan bagi yang bersangkutan untuk bersikap lembut, maka ia tidak dibolehkan untuk melakukan kekerasan. Sebab, bisa jadi kekerasan itu menjadi sebab kesesatan pihak kedua atau terus-menerusnya ia di atas perbuatan lamanya, sebagaimana halnya tabiat kebanyakan manusia terhadap kekerasan. Terutama apabila yang memberi perintah itu tingkat kedudukannya masih berada di bawah yang diperintah.” [Fath al-Bฤri vol. X, hlm. 466.]
Dari riwayat-riwayat dan penjelasan di atas dapat ditarik suatu prinsip umum bahwa apabila seorang Muslim menuduh saudaranya dengan suatu tuduhan yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya maka tuduhan tersebut akan kembali mengenai si pengucapnya. Termasuk juga dalam hal menuduh orang lain sebagai ahli bid`ah.
Setelah mensinyalir riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas, Syaikh al-Albฤni berkata,
ุฃุฑูุฏ ุฃู ุฃูุญู ุจู ูุฃููู: ู
ู ุจุฏّุน ู
ุณูู
ุง ูุฅู
ุง ุฃู ูููู ูุฐุง ุงูู
ุณูู
ู
ุจุชุฏุนุง، ูุฅูุง ููู ุงูู
ุจุชุฏุน
“Saya ingin menambahkan maka saya katakan bahwa barangsiapa yang memvonis seorang muslim sebagai ahli bid`ah, maka bisa jadi yang divonis tersebut memang ahli bid`ah, atau jika tidak, maka orang yang memvonis itulah yang menjadi ahli bid`ah.”
[Muzฤซl al-Ilbฤs fฤซ al-Ahkฤm `alฤ an-Nฤs, hlm. 241, disusun oleh as-Sa`ฤซd Ibn Shฤbir `Abduh, Dฤr al-Fadhฤซlah, cet. pertama, 1417 H. Dengarkan pula Silsilah al-Hudฤ wa an-Nลซr, kaset no. 666.]
Ibn Taimiyyah berkata,
ูุฐุง ู
ุน ุฃูู ุฏุงุฆู
ุง ูู
ู ุฌุงูุณูู ูุนูู
ุฐูู ู
ูู ุงูู ู
ู ุฃุนุธู
ุงููุงุณ ูููุง ุนู ุฃู ููุณุจ ู
ุนูู ุงูู ุชูููุฑ ูุชูุณูู ูู
ุนุตูุฉ ุฅูุง ุงุฐุง ุนูู
ุฃูู ูุฏ ูุงู
ุช ุนููู ุงูุญุฌุฉ ุงูุฑุณุงููุฉ ุงูุชู ู
ู ุฎุงูููุง ูุงู ูุงูุฑุง ุชุงุฑุฉ ููุงุณูุง ุฃุฎุฑู ูุนุงุตูุง ุฃุฎุฑู ูุงูู ุฃูุฑุฑ ุฃู ุงููู ูุฏ ุบูุฑ ููุฐู ุงูุฃู
ุฉ ุฎุทุฃูุง ูุฐูู ูุนู
ุงูุฎุทุฃ ูู ุงูู
ุณุงุฆู ุงูุฎุจุฑูุฉ ุงูููููุฉ ูุงูู
ุณุงุฆู ุงูุนู
ููุฉ، ูู
ุง ุฒุงู ุงูุณูู ูุชูุงุฒุนูู ูู ูุซูุฑ ู
ู ูุฐู ุงูู
ุณุงุฆู ููู
ูุดูุฏ ุฃุญุฏ ู
ููู
ุนูู ุฃุญุฏ ูุง ุจููุฑ ููุง ุจูุณู ููุง ู
ุนุตูุฉ
“Demikianlah, sementara saya senantiasa—dan orang-orang yang bermajelis dengan saya mengetahui hal tersebut—bahwa saya termasuk orang yang paling keras melarang menisbatkan person tertentu kepada kekurufan, kefasiqan dan maksiat, kecuali apabila telah diketahui bahwa telah ditegakkan atas yang bersangkutan hujjah risalah, di mana orang yang menyelisihi hal itu terkadang menjadi kafir, atau terkadang menjadi fasiq, atau terkadang menjadi pelaku maksiat. Dan saya menegaskan bahwa Allah telah mengampuni kekeliruan umat ini, di mana hal ini mencakup kekeliruan dalam masalah khabariyyah qauliyyah (keyakinan) maupun masalah amalan. Dan senantiasa Salaf saling silang pendapat pada banyak dari masalah-masalah tersebut, namun tidak seorang pun dari mereka yang bersaksi atas yang lain dengan kekufuran, kefasiqan dan kemaksiatan.
[Majmลซ` al-Fatฤwฤ, vol. III, hlm. 229.]
Az-Zarqฤni berkata,
ูู
ุซู ูุฐุง ุฃุฑุจุฃ ุจููุณู ูุจู ุฃู ูุชูู
ู
ุณูู
ุง ุจุงูููุฑ ุฃู ุงูุจุฏุนุฉ ูุงูููู ูู
ุฌุฑุฏ ุฃูู ุฎุงูููุง ูู ุฑุฃู ุฅุณูุงู
ู ูุธุฑู ูุฅู ุงูุชุฑุงู
ู ุจุงูููุฑ ูุงูุจุฏุนุฉ ู
ู ุฃุดูุน ุงูุฃู
ูุฑ ูููุฏ ูุฑุฑ ุนูู
ุงุคูุง ุฃู ุงูููู
ุฉ ุฅุฐุง ุงุญุชู
ูุช ุงูููุฑ ู
ู ุชุณุนุฉ ูุชุณุนูู ูุฌูุง ุซู
ุงุญุชู
ูุช ุงูุฅูู
ุงู ู
ู ูุฌู ูุงุญุฏ ุญู
ูุช ุนูู ุฃุญุณู ุงูู
ุญุงู
ู ููู ุงูุฅูู
ุงู ููุฐุง ู
ูุถูุน ู
ูุฑูุบ ู
ูู ูู
ู ุงูุชุฏููู ุนููู
“Untuk semisal hal ini, saya mewanti-wanti diri saya dan Anda dari menuduh seorang Muslim dengan kekufuran atau bid`ah dan hawa nafsu, hanya karena ia menyelisihi kita pada suatu pemikiran Islami teoritis. Sesungguhnya saling melemparkan tuduhan dengan kekufuran dan bid`ah termasuk seburuk-buruk perkara. Ulama kita telah menetapkan bahwa satu kata apabila mengandung kemungkinan kekufuran dari sembilan puluh sembilan sisi, akan tetapi mengandung kemungkinan keimanan dari satu sisi, maka dibawa kepada sebaik-baik kemungkinan, yaitu keimanan. Ini adalah tema yang telah selesai dibahas dan memiliki dalil yang kuat.”
[Manฤhil al-`Irfฤn fฤซ `Ulลซm al-Qur'ฤn, Muhammad `Abd al-`Azhฤซm az-Zarqฤni, tahqฤซq Fawwฤz Ahmad, Dฤr al-Kitฤb al-`Arabi, Beirut, cet. pertama, 1415 H/1995 M, vol. II, hlm. 31.]
Ibn Taimiyyah berkata,
ูููุณ ูุฃุญุฏ ุงู ูููุฑ ุฃุญุฏุง ู
ู ุงูู
ุณูู
ูู ูุงู ุฃุฎุทุฃ ูุบูุท ุญุชู ุชูุงู
ุนููู ุงูุญุฌุฉ ูุชุจูู ูู ุงูู
ุญุฌุฉ ูู
ู ุซุจุช ุฅุณูุงู
ู ุจูููู ูู
ูุฒู ุฐูู ุนูู ุจุงูุดู ุจู ูุง ูุฒูู ุงูุง ุจุนุฏ ุฅูุงู
ุฉ ุงูุญุฌุฉ ูุงุฒุงูุฉ ุงูุดุจูุฉ
“Dan tidak seorang pun memiliki hak untuk mengafirkan orang lain dari kaum Muslim, meskipun ia melakukan salah dan galat, sampai ditegakkan atasnya hujjah dan menjadi jelas baginya kebenaran. Dan barangsiapa yang telah tetap keislamannya dengan keyakinan maka tidak dapat dihapuskan darinya keislaman tersebut dengan keraguan. Bahkan keislaman tersebut tidak hilang kecuali setelah ditegakkan hujjah dan dihilangkan syubhat.”
[Majmลซ` al-Fatฤwฤ, vol. XII, hlm. 466.]
Imam al-Ghazฤli berkata,
ูุงูุฐู ููุจุบู ุฃู ูู
ูู ุงูู
ุญุตِّู ุฅููู ุงูุงุญุชุฑุงุฒ ู
ู ุงูุชูููุฑ ู
ุง ูุฌุฏ ุฅููู ุณุจููุงً…. ูุงูุฎุทุฃ ูู ุชุฑู ุฃูู ูุงูุฑ ูู ุงูุญูุงุฉ ุฃููู ู
ู ุงูุฎุทุฃ ูู ุณูู ู
َุญْุฌَู
ุฉ ู
ู ุฏู
ู
ุณูู
“Hal yang seharusnya dijadikan kecenderungan oleh pembelajar adalah menghindari pengafiran (orang lain yang menyatakan dirinya sebagai Muslim) selama ia mendapatkan jalan untuk itu…. Dan kesalahan dalam membiarkan seribu orang (yang ternyata) kafir dalam kehidupan lebih ringan dibandingkan kesalahan dalam menumpahkan darah seorang Muslim.”
[Al-Iqtishฤd fฤซ aI-I`tiqฤd, hlm. 250-251, terbitan Universitas Ankara, Turki, tahun 1962 M. Lihat pula kitab yang sama dengan tahqฤซq Dr. Inshฤf Ramadhฤn, Dฤr Qutaibah, Beirut, cet. pertama, 1423 H/2003 M, hlm. 176.]
Demikianlah, ketika seorang memvonis saudaranya sesama muslim dengan penyimpangan dalam hal agama, terlebih lagi dengan kekufuran, maka ia telah melakukan suatu pelecehan terberat, di mana jika vonis tersebut tidak benar maka akan kembali yang pengucapnya.
Kalaupun hendak memvonis orang lain sebagai ahli bid`ah, misalnya, maka hendaklah yang bersangkutan benar-benar mengetahui syarat dan batasan bid`ah serta ahli bid`ah (istฤซfฤ’ asy-syurลซth wa intifฤ’ al-mawฤni`), juga pertimbangan eksternal lainnya, semisal pertimbangan maslahat dan mudharat dalam pengambilan sikap kepada ahli bid`ah, dan bukan hanya sekedar ikut-ikutan kelompok atau ustadz semata. Sebab segala pendengaran, penglihatan dan hati akan dimintai pertanggungjawaban, terlebih lagi menyangkut hak dan kehormatan orang lain. Allฤh `Azza wa Jalla berfirman,
َููุงَ ุชَُْูู ู
َุง َْููุณَ ََูู ุจِِู ุนِْูู
ٌ ุฅَِّู ุงูุณَّู
ْุนَ َูุงْูุจَุตَุฑَ َูุงُْููุคَุงุฏَ ُُّูู ุฃُูููุฆَِู َูุงَู ุนَُْูู ู
َุณْุคُููุงً
“Dan janganlah kamu ikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”
[QS. Al-Isrฤ' (17): 36]
Semoga ada manfaatnya.
Salam,