TEMPOR CYBER™  mengucapkan . . . MARHABAN YAA RAMADHON 1437 H

WELCOME TO TEMPOR CYBER™...

Tempor Cyber™ adalah situs informasi yang menyajikan berita-berita terkini,baik berita daerah,berita dalam negeri maupun berita luar negeri juga menyampaikan segudang berita gosip, dunia intertainment, tips trik komputer, dan lain sebagainya yang tentunya semata-mata untuk memanjakan anda sebagai pembaca.

BLACKBERRY MERAIH SUKSES DI INDONESIA

Kemampuan Playbook cukup hebat, wajar karena ia dipersiapkan untuk menjadi lawan bagi iPad 2. Menggunakan layar sentuh kapasitif, LCD 7 inch WSVGA yang memiliki resolusi 1024 x 600. Perangkat ini didukung penuh multi touch dan gesture.

Galaxy SII Ditarget Teruskan Kejayaan Galaxy S

Galaxy S II menggunakan sistem operasi Android 2.3 alias Gingerbread. Disertai prosesor 1,2 GHz dual core dan RAM 1 GB yang membuat performanya makin mulus. Selain itu masih ditambahi interface andalan Samsung yaitu TouchWiz versi 4.0, diharapkan memudahkan pengguna dalam mengoptimalkan Android 2.3 Gingerbread.

KAPOLDA JATENG KEDEPANKAN PENCEGAHAN,REDAM AKSI ANARKIS MASSA

Peragaan Sispamkota ini melibatkan 933 personil, baik dari unsur TNI/Polri maupun Satpol PP. Selain penanganan unjuk rasa, dalam kesempatan itu juga diperagakan simulasi penanganan teror bom.

LASKAR PELANGI MEMBEDAH DUNIA PENDIDIKAN

Menceritakan tentang persahabatan dan setia kawanan yang erat dan juga mencakup pentingnya pendidikan yang begitu mendalam. Serta kisahnya yang mengharukan.

IPAD-3 BAKAL PAKAI LAYAR RETINA DISPLAY??

iPhone generasi pertama hingga Apple 3GS memakai resolusi HVGA 320 x 480 pixel yang kemudian ditingkatkan 2 kalinya pada iPhone 4 menjadi 960 x 640 pixel. Sementara, pada iPad 3, tidak heran resolusinya yang saat ini sebesar 1024 x 768 juga telah dinaikkan menjadi dua kali yaitu 2048 x 1536 pixel

ARTI PERSAHABATAN SEBENARNYA

Satukan dua tangan yang lain menjadi satu genggaman yang kukuh bersama tuk meringankan beban antara satu dengan yang lain

ALON - ALON SIMPANG LIMA PATI-JATENG

Alon-alon Simpang Lima Pati nampak tenang pada siang hari,sungguh jauh berbeda kenyataannya kala malam hari yang penuh sesak dikunjungi para pedagang dan warga Pati tentunya.

PENYAMBUTAN PENGHARGAAN ADIPURA

Kabupaten Pati memperoleh perhargaan ADIPURA ini untuk kesekian kalinya.Sebagai warga Pati,kami sangat bangga terhadap penghargaan ini.Maju terus Kota Kelahiranku.

PRESIDEN SOESILO BAMBANG YUDHOYONO PIMPIN UPACARA DI ISTANA NEGARA

Peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Ri berlangsung khidmat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai inspektur upacara dalam upacara yang berlangsung di halaman Istana Merdeka.

Senin, 08 Agustus 2011

ASSALAMU 'ALAIKUM ; PENULISAN LAFAZH SALAM YANG BENAR

Pembaca kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, ucapan salam adalah sunah yang diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi sebagian kaum muslimin salah dalam mengucapkannya, sebagian salah dalam menuliskan atau melafazhkan, sebagiannya lagi salah dalam mengucapkan salam dengan meringkasnya menjadi kata yang tidak lagi menjadi
                                                salam.


Dalam bahasa arab, tulisan salam secara lengkap adalah seperti ini,

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Pembacaannya adalah “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh”, kalau mau terperinci panjang pendeknya di tulis “Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh”, perhatikan panjang dan pendeknya…

Makna kalimat salam tersebut di antaranya adalah, “Semoga keselamatan, rahmat Allah dan berkah-Nya tercurah kepadamu.

Ucapan salam di atas adalah bentuk salam yang paling sempurna, adapun bentuk pengucapan lain bisa dengan mengucapkan,


اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ

Assalamu ‘alaikum warahmatullah
Atau,


اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

Assalamu ‘alaikum

Dasarnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ. فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ ثُمَّ جَلَسَ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- : عَشْرٌ . ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ. فَرَدَّ عَلَيْهِ فَجَلَسَ فَقَالَ : عِشْرُونَ . ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ. فَرَدَّ عَلَيْهِ فَجَلَسَ فَقَالَ : ثَلاَثُونَ
Dari Imran Ibn Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata, Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengucapkan “Assalamu ‘alaikum”. Nabi menjawab salam itu, lalu orang itu duduk. Nabi berkata, “sepuluh (kebaikan)”. Kemudian datang orang lain dan mengucapkan, “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”. Nabi menjawabnya, lalu orang itu duduk dan Nabi berkata, “Dua puluh (kebaikan)”. Kemudian datang orang lain lagi dan mengucapkan “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh”. Nabi membalas salamnya lalu dia duduk dan Nabi berkata, “Tiga puluh (kebaikan).” (HR. Abu Daud)

Membalas Salam
Adapun bentuk membalas salam adalah berdasarkan firman Allah ta’ala dalam surat an-Nisa,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” 
 (QS. An Nisa’: 86)

Dalam ayat ini Allah ta’ala memerintahkan kita untuk membalas salam dengan yang lebih baik, sehingga kalau yang memberi salam mengucapkan,

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
“Assalamu ‘alaikum”

Maka minimal kita jawab dengan mengucapkan,

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ
“Wa ‘alaikumus salam”

Kalau kita ingin membalas dengan yang lebih lengkap dengan mengucapkan,

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ
“Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullah”
Atau,
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

“Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wabarakatuh”
Maka ini lebih baik.
Jadi apabila yang memberi salam mengucapkan lafazh yang lengkap, maka sepantasnya kita untuk membalas dengan ucapan salam yang lengkap juga.

Perhatian!!
Kesalahan yang sering ditemui dalam pengucapan salam adalah penyingkatan salam dengan tulisan “ass”, “ass.wr.wb”, “asw” atau yang lainnya, maka ucapan seperti ini bukanlah salam, hendaknya ketika menulis komentar, sms atau media lainnya kita tidak menuliskan seperti itu. Tulislah dengan lafazh yang benar seperti “assalamu ‘alaikum”, atau kalau memang tergesa-gesa tidak di tulis juga tidak apa-apa.

Marilah kita simak singkatan ini. Dalam kamus linguistik yang saya punya, arti dari kata Ass yang berasal dari bahasa Inggris itu adalah sebagai berikut;
“Ass” berarti: Pertama, kb. (animal) yang artinya keledai. Kedua, orang yang bodoh. Don’t be a silly (Janganlah sebodoh itu). Dan ketiga, Vlug (pantat).

Padahal seperti kita ketahui ucapan Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh adalah sebuah ucapan salam sekaligus doa yang kita tujukan kepada orang lain. Ucapan salam dalam Islam sesungguhnya merupakan do’a seorang Muslim terhadap saudara Muslim yang lain. Maka, apabila kita mengucap salam dengan hanya menuliskan “Ass”, secara tidak sadar mungkin kita malah mendoakan hal yang buruk terhadap saudara kita.
Kita paham, mungkin banyak orang diantara kita cukup sibuk dan ingin cepat buru-buru menulis pesan. Barangkali, singkatan itu bisa mempercepat pekerjaan. Karena itu, penulis menyarankan, jika memang keadaan sedang tidak memungkinkan untuk menulis salam lewat SMS dengan kalimat lengkap karena sedang menyetir di jalan, misalnya, solusinya cukup mudah adalah menulis pesan to the point saja. Tulislah “met pagi, met siang, met malam dan seterusnya. Ini masih lebih baik dibandingkan kita harus memaksakan diri menggunakan singkatan dari doa keselamatan Assalamu’alaikum menjadi “Ass” (pantat).
Jangan sampai awalnya kita ingin menyampaikan doa keselamatan yang terjadi justeru sebaliknya, mendoakan keburukan. Kalau boleh saya mengistilahkah, niat baik ingin berdoa, jadinya malah ucapan kotor.

Ucapan salam adalah ucapan penghormatan dan doa.Apabila kita dihormati dengan suatu penghormatan maka seharusnya kita membalas dengan sebuah penghormatan pula yang lebih baik, atau minimal, balaslah dengan yang serupa.Sesungguhnya Allah akan memperhitungkan setiap yang kamu kerjakan.

Hanya saja, kalau kita mengganti ucapan kalimat salam arti awalnya sangat mulia, maka,yang terjadi adalah sebaliknya, salah dan bisa-bisa menjadi umpatan kotor.
Karena itu, jika tidak berhati-hati, mengganti ucapan Assalamu’alaikum (Semoga sejahtera atasmu) dengan menyingkatnya menjadi “Ass” (pantat), ini mirip dengan mengganti doa yang baik dengan bahasa jalanan orang Jakarta, yang artinya kira-kira, berubah arti menjadi (maaf) “Pantat Lu!”

Dan kata assaamu ini artinya kematian. Kata ini adalah plesetan dari “Assalaamu ‘alaikum”. Maka nabi berkata, “Kalau orang kafir mengatakan padamu assaamu ‘alaikum, maka jawablah dengan wa ‘alaikum (Dan semoga atas kalian pula).” [HR. Bukhari]
Tulisan ini, mungkin nampak sederhana. Meski sederhana, dampaknya cukup besar. Boleh jadi, kita belum pernah membayangkannya selama ini. Nah, setelah ini, sebaiknya alangkah lebih baik jika memulai kembali menyempurnakan salam kepada saudara kita. Tapi andaikata memang kondisi tak memungkinkan, sebaiknya, pilihlah singkatan yang sudah dipilihkan Nabi kita Muhammad SAW tadi. Mungkin Anda agak capek sedikit tidak apa-apa, sementara sedikit capek, 30 pahala kebaikan telah kita kantongi.

Semoga bermanfaat…

Kamis, 04 Agustus 2011

BAHAYA MEMVONIS ORANG LAIN DENGAN KEKUFURAN ATAU AHLI BID'AH

Tulisan singkat ini dilatarbelakangi oleh adanya orang-orang yang sangat mudah menjatuhkan vonis sesat atau menilai pihak lain di luar komunitasnya dan/atau yang berseberangan pendapat dengannya sebagai ahli bid`ah, baik secara tegas, maupun dengan menggunakan julukan yang samar, semisal: “Hizbi” dan lain-lain, tanpa menyadari betapa berat dan bahayanya vonis semacam ini. Dan, yang paling berat adalah memvonis kafir pihak lain.

Memang benar bahwa terdapat banyak nash dan atsar Salaf yang mencela bid`ah dan ahli bid`ah. Namun hal ini bukan menjadi pembenaran untuk kemudian bermudah-mudah dan serampangan dalam menjatuhkan vonis bid`ah serta menuduh pihak lain sebagai ahli bid`ah, terlebih lagi untuk menjatuhkan vonis kafir.

Menjatuhkan vonis kafir atau sesat atau ahli bid`ah kepada seseorang berarti melecehkan hal keberagamaan yang bersangkutan. Sedangkan pelecehan dalam hal agama merupakan pelecehan yang paling berat. Sebab seorang Mukmin lebih benci apabila keberagamaannya dilecehkan dibandingkan pelecehan terhadap hal-hal yang lain.


Dari Abū Hurairah, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,

بِحَسبِ امْرِئٍ مِن الشَّرّ أن يَحْقِر أخاه الْمُسْلم، كلّ المُسْلم عَلَى الْمسلم حَرَام دَمُه وَمَاله وَعرْضه

“Cukuplah menjadi keburukan bagi seseorang untuk merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram, yaitu darahnya, hartanya dan kehormatannya.”
[Riwayat Muslim dan lain-lain]

Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda

إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةُ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Sesungguhnya termasuk riba yang paling riba adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang Muslim tanpa hak (alasan yang dibenarkan).”
[Riwayat Abū Dāwūd II/685/4876 dan dinilai valid oleh al-Albāni.]
Muhammad Syams al-Haqq al-`Azhīm Ābadī berkata, “Makna arba’r ribā adalah riba yang paling besar bahayanya dan yang paling keras keharamannya. Dan makna istithālah adalah mengulurkan lidah terhadap kehormatan seorang muslim. Maksudnya adalah merendahkannya dan merasa lebih tinggi darinya serta melakukan gunjingan (ghībah) terhadapnya, seperti menunduhnya berzina atau mencelanya. Hal Ini merupakan riba yang paling keras keharamannya karena kehormatan merupakan perkara yang paling mulia bagi seseorang, lebih dari harta.” [`Aun al-Ma`būd vol. XIII, hlm. 152.]

Dan yang lebih parah dari semua itu adalah pelecehan kehormatan terhadap seorang Muslim dalam hal agamanya. Imam al-Qurthubi berkata,

العلماء من أول الدهر من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم والتابعين بعدهم لم تكن الغيبة عندهم في شيء أعظم من الغيبة في الدين لأن عيب الدين أعظم العيب فكل مؤمن يكره أن يذكر في دينه أشد مما يكره في بدنه

“Ulama sejak awal masa para Sahabat Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—dan Tabi’īn setelah mereka menganggap bahwa tidak ada gunjingan yang lebih parah dibandingkan gunjingan yang berkaitan dengan agama (seseorang). Sebab aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib terberat. Setiap orang mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya daripada disinggung (cacat) tubuhnya.” [Tafsīr al-Qurthubi, vol. XVI, hlm. 282, tafsir QS. Al-Hujurāt [49]: 12.]

Bahaya lain yang tak kalah dahsyatnya dari melecehkan atau memvonis orang lain adalah bahwa vonis tersebut akan kembali kepada pengucapnya apabila pihak yang divonis ternyata tidak sebagaimana yang dikatakan.

Dari Abū Hurairah, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا

“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, ‘Hai kafir,’ maka sesungguhnya hal itu kembali kepada salah satu dari keduanya.” [Riwayat al-Bukhāri V/2263/5752.]
Dalam riwayat lain dari Ibn `Umar:

أَيُّمَا امْرِئْ قَالَ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ

“Siapa saja yang berkata saudaranya, ‘Hai kafir,’ maka sesungguhnya kalimat itu kembali kepada salah satu dari keduanya. Jika kondisinya adalah sebagaimana yang dikatakan, atau jika tidak maka kembali kepada pengucapnya.” [Riwayat Muslim I/79/60.]

Dalam lafal lain:

إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

“Jika seseorang mengafirkan saudaranya, maka sesungguhnya kalimat itu kembali kepada salah satu dari keduanya.” [Riwayat Muslim I/79/60.]

Dari Abū Dzarr, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,

وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوّ اللهِ وَلَيْسَ كَذلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang memanggil orang lain dengan kekufuran atau menyebutnya sebagai musuh Allah padahal tidak demikian adanya, melainkan hal tersebut akan kembali kepada yang mengucapkannya.” [Riwayat Muslim I/79/61.]


Dalam riwayat lain dari Abū Dzarr, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,

لاَ يَرْمِيْ رَجُلٌ رَجُلاً باِلْفُسُوْقِ وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذلِكَ

“Tidaklah seseorang melemparkan tuduhan kepada yang lain dengan kefasikan, dan tidak pula kekafiran, melainkan hal itu akan kembali kepadanya apabila yang dituduh ternyata tidak demikian.” [Riwayat al-Bukhāri V/2247/5698.]

Imam Ibn Hajar berkata, “Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa barangsiapa yang berkata kepada orang lain, ‘Engkau fasiq,’ atau, ‘Engkau kafir,’ jika yang dituduh tidak sebagaimana yang dikatakan maka si pengucap itulah yang berhak menyandang sifat tersebut; dan apabila yang dituduh adalah sebagaimana yang dikatakan, maka tuduhan tersebut tidak kembali kepada pengucapnya, karena ia benar atas yang dikatakannya. Namun tidak ada kelaziman bahwa meskipun si penuduh tidak menjadi fasiq atau kafir, bukan berarti ia tidak berdosa, dan dalam hal ini terdapat perincian.
“Jika si penuduh tersebut bermaksud untuk menasehati yang tertuduh atau menasahati orang lain tentang kondisi si tertuduh, maka hal tersebut dibolehkan. Namun jika ia bermaksud untuk mencela, mencemarkan nama baiknya dan semata-mata ingin menyakiti, maka hal itu tidak dibolehkan. Sebab yang bersangkutan diperintah untuk menutup aib saudaranya, mengajarinya dan menasehatinya dengan baik. Dan, selama memungkinkan bagi yang bersangkutan untuk bersikap lembut, maka ia tidak dibolehkan untuk melakukan kekerasan. Sebab, bisa jadi kekerasan itu menjadi sebab kesesatan pihak kedua atau terus-menerusnya ia di atas perbuatan lamanya, sebagaimana halnya tabiat kebanyakan manusia terhadap kekerasan. Terutama apabila yang memberi perintah itu tingkat kedudukannya masih berada di bawah yang diperintah.” [Fath al-Bāri vol. X, hlm. 466.]
Dari riwayat-riwayat dan penjelasan di atas dapat ditarik suatu prinsip umum bahwa apabila seorang Muslim menuduh saudaranya dengan suatu tuduhan yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya maka tuduhan tersebut akan kembali mengenai si pengucapnya. Termasuk juga dalam hal menuduh orang lain sebagai ahli bid`ah.

Setelah mensinyalir riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas, Syaikh al-Albāni berkata,


أريد أن ألحق به فأقول: من بدّع مسلما فإما أن يكون هذا المسلم مبتدعا، وإلا فهو المبتدع

“Saya ingin menambahkan maka saya katakan bahwa barangsiapa yang memvonis seorang muslim sebagai ahli bid`ah, maka bisa jadi yang divonis tersebut memang ahli bid`ah, atau jika tidak, maka orang yang memvonis itulah yang menjadi ahli bid`ah.” [Muzīl al-Ilbās fī al-Ahkām `alā an-Nās, hlm. 241, disusun oleh as-Sa`īd Ibn Shābir `Abduh, Dār al-Fadhīlah, cet. pertama, 1417 H. Dengarkan pula Silsilah al-Hudā wa an-Nūr, kaset no. 666.]

Ibn Taimiyyah berkata,

هذا مع أنى دائما ومن جالسنى يعلم ذلك منى انى من أعظم الناس نهيا عن أن ينسب معين الى تكفير وتفسيق ومعصية إلا اذا علم أنه قد قامت عليه الحجة الرسالية التى من خالفها كان كافرا تارة وفاسقا أخرى وعاصيا أخرى وانى أقرر أن الله قد غفر لهذه الأمة خطأها وذلك يعم الخطأ فى المسائل الخبرية القولية والمسائل العملية، وما زال السلف يتنازعون فى كثير من هذه المسائل ولم يشهد أحد منهم على أحد لا بكفر ولا بفسق ولا معصية

“Demikianlah, sementara saya senantiasa—dan orang-orang yang bermajelis dengan saya mengetahui hal tersebut—bahwa saya termasuk orang yang paling keras melarang menisbatkan person tertentu kepada kekurufan, kefasiqan dan maksiat, kecuali apabila telah diketahui bahwa telah ditegakkan atas yang bersangkutan hujjah risalah, di mana orang yang menyelisihi hal itu terkadang menjadi kafir, atau terkadang menjadi fasiq, atau terkadang menjadi pelaku maksiat. Dan saya menegaskan bahwa Allah telah mengampuni kekeliruan umat ini, di mana hal ini mencakup kekeliruan dalam masalah khabariyyah qauliyyah (keyakinan) maupun masalah amalan. Dan senantiasa Salaf saling silang pendapat pada banyak dari masalah-masalah tersebut, namun tidak seorang pun dari mereka yang bersaksi atas yang lain dengan kekufuran, kefasiqan dan kemaksiatan.
[Majmū` al-Fatāwā, vol. III, hlm. 229.]
 
Az-Zarqāni berkata,

لمثل هذا أربأ بنفسي وبك أن نتهم مسلما بالكفر أو البدعة والهوى لمجرد أنه خالفنا في رأي إسلامي نظري فإن الترامي بالكفر والبدعة من أشنع الأمور ولقد قرر علماؤنا أن الكلمة إذا احتملت الكفر من تسعة وتسعين وجها ثم احتملت الإيمان من وجه واحد حملت على أحسن المحامل وهو الإيمان وهذا موضوع مفروغ منه ومن التدليل عليه

“Untuk semisal hal ini, saya mewanti-wanti diri saya dan Anda dari menuduh seorang Muslim dengan kekufuran atau bid`ah dan hawa nafsu, hanya karena ia menyelisihi kita pada suatu pemikiran Islami teoritis. Sesungguhnya saling melemparkan tuduhan dengan kekufuran dan bid`ah termasuk seburuk-buruk perkara. Ulama kita telah menetapkan bahwa satu kata apabila mengandung kemungkinan kekufuran dari sembilan puluh sembilan sisi, akan tetapi mengandung kemungkinan keimanan dari satu sisi, maka dibawa kepada sebaik-baik kemungkinan, yaitu keimanan. Ini adalah tema yang telah selesai dibahas dan memiliki dalil yang kuat.” [Manāhil al-`Irfān fī `Ulūm al-Qur'ān, Muhammad `Abd al-`Azhīm az-Zarqāni, tahqīq Fawwāz Ahmad, Dār al-Kitāb al-`Arabi, Beirut, cet. pertama, 1415 H/1995 M, vol. II, hlm. 31.]

Ibn Taimiyyah berkata,


وليس لأحد ان يكفر أحدا من المسلمون وان أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين له المحجة ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك بل لا يزول الا بعد إقامة الحجة وازالة الشبهة

“Dan tidak seorang pun memiliki hak untuk mengafirkan orang lain dari kaum Muslim, meskipun ia melakukan salah dan galat, sampai ditegakkan atasnya hujjah dan menjadi jelas baginya kebenaran. Dan barangsiapa yang telah tetap keislamannya dengan keyakinan maka tidak dapat dihapuskan darinya keislaman tersebut dengan keraguan. Bahkan keislaman tersebut tidak hilang kecuali setelah ditegakkan hujjah dan dihilangkan syubhat.” [Majmū` al-Fatāwā, vol. XII, hlm. 466.]

Imam al-Ghazāli berkata,

والذي ينبغي أن يميل المحصِّل إليه الاحتراز من التكفير ما وجد إليه سبيلاً…. والخطأ في ترك ألف كافر في الحياة أهون من الخطأ في سفك مَحْجَمة من دم مسلم

“Hal yang seharusnya dijadikan kecenderungan oleh pembelajar adalah menghindari pengafiran (orang lain yang menyatakan dirinya sebagai Muslim) selama ia mendapatkan jalan untuk itu…. Dan kesalahan dalam membiarkan seribu orang (yang ternyata) kafir dalam kehidupan lebih ringan dibandingkan kesalahan dalam menumpahkan darah seorang Muslim.” [Al-Iqtishād fī aI-I`tiqād, hlm. 250-251, terbitan Universitas Ankara, Turki, tahun 1962 M. Lihat pula kitab yang sama dengan tahqīq Dr. Inshāf Ramadhān, Dār Qutaibah, Beirut, cet. pertama, 1423 H/2003 M, hlm. 176.]
Demikianlah, ketika seorang memvonis saudaranya sesama muslim dengan penyimpangan dalam hal agama, terlebih lagi dengan kekufuran, maka ia telah melakukan suatu pelecehan terberat, di mana jika vonis tersebut tidak benar maka akan kembali yang pengucapnya.
Kalaupun hendak memvonis orang lain sebagai ahli bid`ah, misalnya, maka hendaklah yang bersangkutan benar-benar mengetahui syarat dan batasan bid`ah serta ahli bid`ah (istīfā’ asy-syurūth wa intifā’ al-mawāni`), juga pertimbangan eksternal lainnya, semisal pertimbangan maslahat dan mudharat dalam pengambilan sikap kepada ahli bid`ah, dan bukan hanya sekedar ikut-ikutan kelompok atau ustadz semata. Sebab segala pendengaran, penglihatan dan hati akan dimintai pertanggungjawaban, terlebih lagi menyangkut hak dan kehormatan orang lain. Allāh `Azza wa Jalla berfirman,

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

“Dan janganlah kamu ikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” [QS. Al-Isrā' (17): 36]

Semoga ada manfaatnya.
Salam,

SYARAT-SYARAT IMAN KEPADA TAUHID

Telah berkata Wahhab bin Munabbih kepada orang yang menanyakan padanya tentang :

اليس لا إله إلا الله مفتاح الجنة؟ قال بلى ولكن ما من مفتاح إلا وله أسنان, فإن جئت بمفتاح له اسنان فتح لك , و إلا لم يفتح لك
(صحيح البخارى , رواه تعلقافى كتاب الجنائز ح 1237)


“Bukankah (syahadat/satement) Tidak ada sembahan/ilah selain Allah sebagi kunci surga?“ Dia (Wahhab) telah menjawab :“Betul, akan tetapi tidaklah dari kunci melainkan padanya gigi-gigi. Maka jika mendatangkan kunci yang ada gigi-giginya kamu dapat membuka, dan jika tidak ada kamu tidak dapat membuka“.
(Shahih Al-Bukhari meriwayatkan secara Mu‘allaq, Kitab Al-Janaiz Hadits no. 1237)

Adapun gigi-gigi pada kunci tersebut yang dimaksud adalah syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam syahadat/statement Tauhid “Tidak ada sembahan/ilah selain Allah”.
Seseorang dikatakan mengimani Tauhid, wajib mencakup syarat-syarat sebagai berikut :
1. Al-Ilmu, adalah meniadakan kebodohan, dengan meniadakan yang diibadahi dengan benar selain Allah, dan menetapkan kepada Allah yang Maha Esa.

فإعلم انه لا إله إلا الله (سورة محمد:19)

“Maka ketahuilah (mulailah dengan ‘ilmu) sesungguhnya Tidak ada sembahan/ilah serlain Allah”. (Surat Muhammad ayat 19)

شهد الله انه لا إله إلا هو, والملئكة واولوا العلم قائما بالقسط, ل اإله إلا هو العزيز الحكيم (سورة ال عمران : 18)

“Allah telah bersaksi, sesungguhnya tidak ada sembahan/ilah selain Dia. Demikian juga para malaikat dan juga orang-orang yang berilmu (cendekiawan) menegakkan dengan adil, Tidak ada sembahan/ilah selain Dia yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana”. (Surat Ali ‘Imran ayat 18).

2. Al-Yaqin, adalah meniadakan keraguan, menjadikan hati istiqomah ber-Tauhid dengan tanpa keraguan. Yaqin secara tetap. Maka sesungguhnya Iman tidaklah cukup padanya tanpa ilmu yaqin, bukanlah ilmu persangkaan. Telah berkata Allah سبحانه و تعالى :

إنما المؤمنون الذين أمنوا بالله ورسوله ثم لم يرتابوا و جاهدوا بأموالهم و أنفسهم فى سبيل الله, اولئك هم الصادقين
(سورة الحجرات : 15)


“Sesungguhnya hanyalah orang-orang yang beriman adalah orang yang mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidaklah ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta-harta mereka dan jiwa-jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”.
(Surat Al-Hujurat ayat 15).
Dan Abu Hurairah berkata, telah berkata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

أشهدأن لا إله إلا الله و أنا رسول الله, لا يلقى الله بهما عبد غير شاك فيهما إلا دخل الجنة(صحيح مسلم كتاب الإيمان ح 27, 31)

”Aku bersaksi bahwa Tidak ada sembahan/ilah selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan (Rasul) Allah, tidaklah seorang hambapun akan menjumpai Allah tanpa keraguan (syak), melainkan dia masuk surga”. (Shahih Muslim Kitab Al-Iman Hadits no. 27, 31).

3. Al-Qabul, adalah menerima dan menunaikan Tauhid dengan hati dan lisan. Allah telah mengisahkan kepada kita tentang kabar yang telah lampau berkenaan akibat/kesudahan orang-orang terdahulu dan menimpakan siksa sebab menolak dan enggan men-Tauhid-kan Allah.

وكذالك ماارسلنامن قبلك فى قرية من نذير, إلا قال مترفوها, إناوجدناأباءناعلى امة و إناعلى أثرهم مقتدون.
قال اولوجئتكم باهدى مماوجدتم عليه اباءكم, قالواإنابماارسلتم به كافرون.
فانتقمنامنهم فانظركيف كان عاقبةالمكذبين
(سورة الزخرف : 23 – 25)


“Dan sebagaimana tidaklah kami telah mengutus sebelummu (Muhammad j ) pada suatu negeri seorang pemberi peringatan melainkan telah berkata orang yang berlebihan/hidup mewah “sesungguhnya kami telah mendapati bapak-bapak kami menganut agama dan sesungguhnya kami pengikut jejak-jejak mereka. (Rasul itu) telah berkata “dan apakah bila aku datangkan kepada kalian petunjuk (kamu tetap mengikuti) agama yang kalian dapatkan dari bapak-bapak kalian?”, mereka menjawab :”sesungguhnya kami mengingkari agama yang kalian diutus menyampaikannya”. Maka Kami binasakan mereka. Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan”. (Surat Az-Zuhruf ayat 23 – 25).

إنهم كانواإذاقيل لهم لاإله إلاالله يستكبرون
ويقولون ائن لتاركواالهتنالشاعرمجنون
(سورة الصافت : 35 – 36)


“Sesungguhnya mereka bila dikatakan kepada mereka “Tidak ada sembahan/ilah selain Allah”, mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata “apakah kami akan meninggalkan sembahan-sembahan/alihah kami untuk (mengikuti) penyair gila”. (Surat Ash-Shafat ayat 35, 36).

4. Al-Inqiyad, adalah mengikatkan diri ber-Tauhid. Dan Al-Istislam, adalah berserah diri kepada Allah. Meniadakan untuk meninggalkannya.

ومن يسلم وجهه إلى الله وهومحسن فقداستمسك بالعروة الوثقى … (سورة لقمان : 22)

“Dan barangsiapa menyerahkan wajahnya kepada Allah, dan dia berbuat baik (muhsin), maka sungguh telah berpegang dengan tali yang kokoh”. (Surat Luqman ayat 22).
Tali yang kokoh adalah dengan Tidak ada sembahan/ilah kecuali Allah.

5. Ash-Shidqu (jujur), adalah meniadakan kedustaan, bahwasanya mengatakan kebenaran/kejujuran dari hati, hatinya mufakat dengan lisannya.

أحسب الناس ان يتركواان يقولواأمناوهم لا يفتنون.
ولقد فتناالذين من قبلهم فليعلمن الله الذين صدقواوليعلمن الكاذبين
(سورة العنكبوت : 2 – 3)


“Apakah manusia-manusia telah mengira, bahawa mereka ditinggalkan (begitu saja), bahwa mereka mengatakan “kami telah beriman”, sedangkan mereka tidak diuji. Dan sungguh-sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar/jujur dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”.
(Surat Al-Ankabut ayat 2, 3).

6. Al-Ikhlash, adalah mensucikan amalan dengan niat yang Shalih, jauh dari berbagai kesyirikan.

ألا لله الدين الخالص (سورة الزمر : 3)

“Ingatlah, bagi Allah Ad-Diin (agama, aturan) yang murni”. (Surat Az-Zumar ayat 3)

وماأمرواإلا ليعبدواالله مخلصين له الدين, حنفاء و يقيمواالصلوة… (سورة البينة : 5)

“Dan tidaklah mereka diperintah melainkan agar mereka beribadah kepada Allah dengan ikhlas karena Allah sesuai Ad-Diin yang lurus, dan mendirikan Shalat ….” (Surat Al-Bayyinah ayat 5).
Dari Abu Hurairah رضىالله عنه , berkata Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :

أسعدالناس بشفاعتى يوم القيامة من قال لا إله إل الله خالصا من قلبه أو نفسه
(صحيح البخارى كتاب العلم ح 98)


”Manusia yang paling bahagia dengan syafaatku pada hari qiyamat adalah yang telah berkata “Tidak ada sembahan/ilah selain Allah” secara ikhlash dari hatinya atau jiwanya”.
(Shahih Al-Bukhari Kitab Al-‘Ilmu Hadits no. 98)

7. Al-Mahabbah, adalah mencintai dan melazimi kalimat Tauhid, dan membenci apa-apa yang membatalkan ber-Tauhid.

ومن الناس من يتخذمن دون الله أندادايحبونهم
كحب الله, والذين أمنواأشدحبالله
(سورة البقرة : 165)


“Dan dari sebagian manusia menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan, mereka mencintai tandingan-tandingan itu seperti menciintai Allah. Dan orang-orang yang beriman lebih dahsyat/hebat cintanya kepada Allah”. (Surat Al-Baqarah ayat 165).

يأيهاالذين أمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتى الله بقوم يحبهم ويحبونه, أذلة على المؤمنين أعزة على الكافرين,يجاهدون فى سبيل الله ولا يخافون لومة لائم
(سورة المائدة : 53)


“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa murtad diantara kalian dari diin/Agama Islam, maka Allah akan mendatang suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah, mereka bersikap merendah terhadap orang-orang yang beriman, bersikap tegas (lebih mulia) terhadap orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Allah, dan tidaklah mereka takut celaan para pencela”. (Surat Al-Maidah ayat 53).
Telah berkata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

ثلاث من كن فيه وجد حلا وة الإيمان أن يكون الله و رسوله أحب إليه مما سواهماوأن يحب المرء لا يحبه إلا لله و أن يكره أن يعود فى ألكفر كما يكره أن يقذف فى النار
(صحيح البخارى كتاب الإيمان ح 15 , صحيح مسلم كتاب الإيمان ح 60)

”Tiga orang yang keadaan padanya telah mendapatkan manisnya iman, bahwasanya menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai padanya dari selain keduanya, dan mencintai seseorang tidaklah ia mencintai melainkan karena Allah, dan bahwasanya ia membenci kembali kepada kekufuran sesudah Allah selamatkan dia dari kekufuran sebagaimana dia membenci dilemparkan ke dalam neraka”.
(Shahih Al-Bukhari Kitab Al-Iman Hadits no. 15, Shahih Muslim Kitab Al-Iman Hadits no. 60).

قل إن كنتم تحبون الله فإتبعونى يخببكم الله و يغفرلكم ذنوبك, والله غفور رحيم
(سورة ال عمران : 31)


“Katakanlah (Wahai Muhammad j) : jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Surat Ali ‘Imran ayat 31)

Dengan demikian, untuk Mahabbah (mencintai) Allah wajiblah Ittiba’ (mengikuti) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, menjadikan uswah dan qudwah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

والله أعلم

JIKA ALLAH CINTA KEPADA HAMBA-NYA

Segala puji bagi Allah yang mana kita telah melihat kehendak baik–Nya kepada kita, dengan sampainya seruan seruan iman dan islam, dan dengan memenuhi panggilan Ar Rahman yang di tujukan kepada hati, hingga kita dapat berkumpul dan segera memenuhi panggilan-Nya, menghadap, menghadirkan hati, berdzikir, berdoa meminta dan memohon serta menjalin hubungan dengan-Nya.


Maka bagi Allah segala pujian dan syukur. Ya Allah!!!! Berilah kesempurnaan pada kami nikmat–nikmat-Mu.

Dan kesempurnaan nikmat, adalah bertambah kuatnya keyaqinan dan keimanan, dan bertambah kuat ikatan dengan Allah Yang Maha Penyayang dan dengan kekasih-Nya Nabi Muhammad pemimpin alam semesta shallallahu alaihi wa sallam, hingga kita dapat berkumpul dalam golongan Nabi Muhammad di tempat yang tertinggi.


Sesungguhnya Al Jabbar subhanahu wa ta’ala setiap saat mempunyai kehendak terhadap hamba-Nya baik jin maupun manusia untuk mengangkat derajat hamba-Nya yang Dia kehendaki atau menjatuhkan yang Dia kehendaki, mendekatkan yang Dia kehendaki atau menjauhkan yang Dia kehendaki, mencintai yang Dia kehendaki dan memurkai yang Dia kehendaki. Sehingga tidaklah berlalu siang dan malam kecuali Allah memperlihatkan kepada seluruh penduduk langit tanda kasih sayang dan kecintaan-Nya, dan memperlihatkan tanda kemurkaan-Nya kepada hamba yang dimurkai-Nya, wal’iyadzubillah.


Maka Allah memanggil sayiduna Jibril, Ya Jibril!!! Aku cinta kepada hamba-Ku fulan, maka cintailah dia. Wahai Jibril !!! Sesungguhnya Aku cinta kepada fulan,maka betapa beruntungnya si fulan ini, dan betapa agung derajat si fulan ini. Tatkala Allah Sang Maha Pengasih mengumumkan pengumuman-Nya, Ya Jibril !!! Sesungguhnya aku cinta kepada fulan, maka cintailah dia. Jibril mendekatkan diri kepada Allah dengan kecintaan kepada si fulan tersebut. Sedangkan ia hanya manusia biasa yang berjalan di muka bumi. Renungkanlah Malaikat Jibril mendekatkan diri kepada Allah dengan kecintaannya kepada seorang hamba. Bentuknya hanya daging dan darah tetapi hakikatnya adalah anugrah dan kebesaran Allah.


Maka Jibril mencintainya kemudian Jibril diperintahkan untuk memanggil penduduk langit, Wahai penduduk langit!!! Sesungguhnya Allah telah mencintai hamba-Nya fulan bin fulan maka cintailah dia. Maka penduduk langit pun mencintainya, dan jadilah hamba tersebut orang yang di cintai di muka bumi.


Kemudian Allah memanggil Jibril, Ya Jibril !!! Sesungguhnya Aku murka pada fulan, maka murkailah dia. Maka Jibril mendekatkan diri kepada Allah dengan memurkai, membenci, dan memusuhi si fulan tersebut. Kemudian Jibril di perintahkan untuk memanggil penduduk langit, Wahai penduduk langit!!! Sesungguhnya Allah telah murka kepada fulan bin fulan, maka murkailah dia. Kita berlindung kepada Allah dari kemurkaan-Nya. Dan kita mohon kepada Allah semoga Allah mempertemukan kita dengan golongan yang di cintai-Nya dan golongan muqorrobin.


Sesungguhnya Allah paling pemurah di antara yang pemurah, dan paling penyayang di antara yang penyayang. Wahai Yang Paling Pemurah di antara yang pemurah, dan Wahai Yang Penyayang diantara yang penyayang!!! Sayangilah kami dalam kelemahan kami dan ketidak mampuan kami. Pertemukan kami dengan orang-orang yang Engkau cintai, dan ridhoilah kami, dan janganlah Engkau pisahkan antara kami dengan mereka, Wahai Yang Paling Pemurah di antara yang pemurah dengan berkat Rahmat-Mu Wahai Yang Maha Penyayang.


Alangkah mulianya hamba yang dicintai Allah yang siang dan malamnya selalu sungguh-sungguh dalam mendekat kepada Allah, dan Allah-pun ridho kepadanya. Senantiasa meneliti anggota badannya, meneliti hatinya, meneliti pandangannya, meneliti tujuan-tujuannya, meneliti tingkah lakunya, meneliti apa-apa yang ada di hatinya dari cahaya iman dan cahaya yaqin, dan dia meneliti keridhoan Allah pada dirinya dan senantiasa takut dari kemurkaan-kemurkaan-Nya, takut dan waspada akan jauh dari-Nya, dan waspada akan penyebab terhalang dari keridhoan-Nya.


Maka dia senantiasa dalam koreksi diri, dalam kewaspadaan dan penuh perhatian terhadap Allah subhanahu wa ta’ala sepanjang waktunya. Al Haq subhanahu wa ta’ala menolongnya dengan penuh kasih, memberinya, mendekatkannya, meninggikan derajatnya, membersihkan hatinya dan memilihnya. Mereka adalah orang-orang yang beruntung. Semoga Allah menjadikan kita golongan orang-orang yang beruntung, dan memberikan kepada kita anugrah-anugrah-Nya dan memperkuat hubungan dan ikatan kita dengan-Nya dan dengan utusan-Nya (Nabi Muhammad).

KEUTAMAAN DAN AYAT-AYAT AL QUR'AN TENTANG SABAR

Allah Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung.”

Dan Allah Ta’ala berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأَمْوَالِ وَالأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah:155)
Dan Allah Ta’ala berfirman:


إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar:10)

Dan Allah Ta’ala berfirman:


وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الأُمُورِ
“Tetapi orang yang bersabar dan mema`afkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (Asy-Syuuraa:43)


Dan Allah Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah:153)
 

Dan Allah Ta’ala berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kalian.” (Muhammad:31)
Dan ayat-ayat yang memerintahkan sabar dan menerangkan keutamaannya sangat banyak dan dikenal.
Pengertian dan Jenis-jenis Sabar
Ash-Shabr (sabar) secara bahasa artinya al-habsu (menahan), dan diantara yang menunjukkan pengertiannya secara bahasa adalah ucapan: “qutila shabran” yaitu dia terbunuh dalam keadaan ditahan dan ditawan. Sedangkan secara syari’at adalah menahan diri atas tiga perkara: yang pertama: (sabar) dalam mentaati Allah, yang kedua: (sabar) dari hal-hal yang Allah haramkan, dan yang ketiga: (sabar) terhadap taqdir Allah yang menyakitkan.


Inilah macam-macam sabar yang telah disebutkan oleh para ‘ulama.
Jenis sabar yang pertama: yaitu hendaknya manusia bersabar terhadap ketaatan kepada Allah, karena sesungguhnya ketaatan itu adalah sesuatu yang berat bagi jiwa dan sulit bagi manusia. Memang demikianlah kadang-kadang ketaatan itu menjadi berat atas badan sehingga seseorang merasakan adanya sesuatu dari kelemahan dan keletihan ketika melaksanakannya. Demikian juga padanya ada masyaqqah (sesuatu yang berat) dari sisi harta seperti masalah zakat dan masalah haji.
Yang penting, bahwasanya ketaatan-ketaatan itu padanya ada sesuatu dari masyaqqah bagi jiwa dan badan, sehingga butuh kepada kesabaran dan kesiapan menanggung bebannya,

Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung.” (Aali ‘Imraan:200)


Allah juga berfirman

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Thaahaa:132)


إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْءَانَ تَنْزِيلاً(23) فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu.” (Al-Insaan:23-24)
Ayat ini menerangkan tentang sabar dalam melaksanakan perintah-perintah, karena sesungguhnya Al-Qur`an itu turun kepadanya agar beliau (Rasulullah) menyampaikannya (kepada manusia), maka jadilah beliau orang yang diperintahkan untuk bersabar dalam melaksanakan ketaatan.
Dan Allah Ta’ala berfirman:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya.” (Al-Kahfi:28)

Ini adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah.

Jenis sabar yang kedua: yaitu bersabar dari hal-hal yang Allah haramkan sehingga seseorang menahan jiwanya dari apa-apa yang Allah haramkan kepadanya, karena sesungguhnya jiwa yang cenderung kepada kejelekan itu akan menyeru kepada kejelekan, maka manusia perlu untuk mengekang dan mengendalikan dirinya, seperti berdusta, menipu dalam bermuamalah, memakan harta dengan cara yang bathil, dengan riba dan yang lainnya, berbuat zina, minum khamr, mencuri dan lain-lainnya dari kemaksiatan-kemaksiatan yang sangat banyak.
Maka kita harus menahan diri kita dari hal-hal tadi jangan sampai mengerjakannya dan ini tentunya perlu kesabaran dan butuh pengendalian jiwa dan hawa nafsu.
Diantara contoh dari jenis sabar yang kedua ini adalah sabarnya Nabi Yusuf ‘alaihis salaam dari ajakan istrinya Al-’Aziiz (raja Mesir) ketika dia mengajak (zina) kepadanya di tempat milik dia, yang padanya ada kemuliaan dan kekuatan serta kekuasaan atas Nabi Yusuf, dan bersamaan dengan itu Nabi Yusuf bersabar dan berkata:

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ

“Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yuusuf:33)

Maka ini adalah kesabaran dari kemaksiatan kepada Allah.
Jenis sabar yang ketiga: yaitu sabar terhadap taqdir Allah yang menyakitkan (menurut pandangan manusia).
Karena sesungguhnya taqdir Allah ‘Azza wa Jalla terhadap manusia itu ada yang bersifat menyenangkan dan ada yang bersifat menyakitkan.
Taqdir yang bersifat menyenangkan; maka butuh rasa syukur, sedangkan syukur itu sendiri termasuk dari ketaatan, sehingga sabar baginya termasuk dari jenis yang pertama (yaitu sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah). Adapun taqdir yang bersifat menyakitkan; yaitu yang tidak menyenangkan manusia, seperti seseorang yang diuji pada badannya dengan adanya rasa sakit atau yang lainnya, diuji pada hartanya –yaitu kehilangan harta-, diuji pada keluarganya dengan kehilangan salah seorang keluarganya ataupun yang lainnya dan diuji di masyarakatnya dengan difitnah, direndahkan ataupun yang sejenisnya.
Yang penting bahwasanya macam-macam ujian itu sangat banyak yang butuh akan adanya kesabaran dan kesiapan menanggung bebannya, maka seseorang harus menahan jiwanya dari apa-apa yang diharamkan kepadanya dari menampakkan keluh kesah dengan lisan atau dengan hati atau dengan anggota badan.


Allah berfirman:

فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ
“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu.” (Al-Insaan:24)

MAKNA-MAKNA DAN HIKMAH-HIKMAH BULAN RAMADHAN

Bulan Ramadhan selain bulan yang penuh berkah sebenarnya mempunyai beberapa nama julukan. Nama-nama itu merefleksikan makna keberkahan Ramadhan yang dapat diraih bagi yang menjalaninya dengan benar. Tulisan ini sebenarnya ulasan dari suatu artikel yang saya baca setahun yang lalu di beberapa situs Internet yang menjelaskan nama-nama lain bulan Ramadhan. Tapi, meskipun informasinya sudah beredar lama di masyarakat, tidak ada salahnya juga kan kalau kita mengingat kembali makna dan hikmah nama-nama bulan Ramadhan yang dikenal Umat Islam.

Bagi Umat Islam, pengidentifikasian nama-nama bulan Ramadhan dengan berbagai sinonimnya sebenarnya mengandung maksud. Nama-nama itu diungkapkan dengan singkat dan tepat sebagai “pengingat cepat atau penggugah” dan “keywords” tentang apa yang sebaiknya dilakukan di bulan tersebut. Selain itu, nama-nama bulan Ramadhan juga menyatakan berkah dan maghfirah yang dapat diraih pada kondisi dan suasana paling baik selama satu tahun ke belakang dan ke depan (Ramadhan tahun depan seandainya masih bisa diberi umur).


Demikian banyaknya keutamaan dan peluang untuk berubah di hadapan Allah SWT di bulan Ramadhan ini hingga bulan Ramadhan sering dikiaskan dengan perumpamaan Tamu Agung yang istimewa. Perumpamaan dan keistimewaan itu tidak saja menunjukkan kesakralannya dibandingkan dengan bulan lain. Namun, mengandung suatu pengertian yang lebih nyata pada aspek penting adanya peluang bagi pendidikan manusia secara lahir dan batin untuk meningkatkan kualitas ruhani maupun jasmaninya seoanjang hidupnya.

Karena itu, Bulan Ramadhan dapat disebut sebagai Syahrut Tarbiyah atau Bulan Pendidikan. Penekanan pada kata Pendidikan ini menjadi penting karena pada bulan ini kita dididik langsung oleh Allah SWT. Pendidikan itu meliputi aktivitas yang sebenarnya bersifat umum seperti makan pada waktunya sehingga kesehatan kita terjaga. Atau kita diajarkan oleh supaya bisa mengatur waktu dalam kehidupan kita. Kapan waktu makan, kapan waktu bekerja, kapan waktu istirahat dan kapan waktu ibadah. Jadi, pendidikan itu berhubungan langsung dengan penataan kembali kehidupan kita di segala bidang.

Menata kehidupan sesungguhnya bagian dari proses mawas diri atau introspeksi. Jadi, bulan Ramadhan sesungguhnya bulan terbaik sebagai masa mawas diri yang intensif. Proses mawas diri melibatkan evaluasi diri ke wilayah kedalaman jiwa untuk dinyatakan kembali dalam keseharian sebagai akhlak dan perilaku mulai yang membumi. Tentunya evaluasi ini didasarkan atas pengalaman hidup sebelumnya yaitu pengalaman atas semua peristiwa dan perilaku sebelas bulan sebelumnya sebagai ladang maghfirah yang sudah disemai dan ditanami pohon benih-benih perbuatan. Selain itu, evaluasi juga mencakup taksiran untuk kehidupan di masa depan, baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Pada masa Rasulullah peperangan fisik banyak terjadi pada bulan Ramadhan dan itu semua dimenangkan kaum muslimin. Peperangan fisik di masa Rasulullah adalah suatu keharusan yang tidak dapat ditolak karena situasi dan kondisi yang dihadapi saat itu. Namun, seperti diungkapkan dalam hadis Nabi seusai Perang Badar, yang paling berat adalah peperangan kita untuk berjihad melawan hawa nafsu sendiri. Karena itu bulan Ramadhan sering disebut sebagai Syahrul Jihad dengan fokus pada pengendalian hawa nafsu diri sendiri (yaitu Wa Nafsi, simak QS 91:7).

Jihad melawan nafsu adalah ungkapan untuk menyucikan dan memurnikan nafsu kita untuk kembali semurni-murninya, yaitu dalam keadaan fitri. Ungkapan ini sebenarnya berasal dari firman Allah dalam QS 91:7-10 dan beberapa ayat lainnya yang berbunyi senada yaitu menyucikan jiwa. Menyucikan Jiwa adalah syarat yang mengiringi proses awal penerimaan wahyu yaitu IQRA (simak QS 96:1-5). Hal ini tentunya erat kaitannya dengan buah dari pendidikan jiwa secara intuitif maupun intelektual murni (atau intelek awal), dengan rasionalitas dan penyingkapan tabir-tabir gelap jiwa kita yang sejatinya “Ummi” dan “Fakir” di hadapan Allah, Rabbul ‘Aalamin (Pencipta, Pemelihara dan Pendidik semua makhlukNya).

Dari kedua pengertian nama bulan Ramadhan sebagai Bulan Pendidikan dan Bulan Jihad Melawan hawa nafsu tersebut, maka terungkaplah kemudian nama bulan Ramadhan sebagai Syahrul Qur’an. Al-Qur’an pertama sekali diturunkan di bulan Ramadhan dan pada bulan ini sebaiknya kita banyak membaca dan mengkaji kandungan Al-Qur’an sehingga kita faham dan mengerti perintah Allah yang terkandung di dalamnya. Karenanya, penamaan Syahrul Tarbiyah dan Syahrul Jihad sebenarnya berhubungan dengan suatu prakondisi sebelum Nabi Muhammad SAW menerima al-Qur’an sebagai Wahyu yang diwahyukan. Dalam konteks ini maka bulan Ramadhan sebagai Syahrul Qur’an sebenarnya merupakan peluang bagi semua Umat Islam yang bersyahadat dengan Nama Muhammad untuk mengkaji dan menggali nilai-nilai spiritual al-Qur’an untuk dinyatakan menjadi akhlak mulia alias akhlak Muhammad alias akhlak Qur’ani.

Pendek kata, Bulan Ramadhan sebenarnya merupakan napak tilas bagi semua Umat Islam untuk memakrifati perjanjiannya dengan Allah SWT (syahadatnya) sebagai manusia yang dilahirkan dan berkembang untuk menjalani hidup dengan kesadaran kudus. Napak tilas ini dilakukan lebih intim di Bulan Ramadhan dimana Umat Islam diharapkan dapat mengalami keadaan jasmani dan ruhani yang mirip dengan yang dialami Nabi Muhammad SAW ketika Al Qur’an turun ke Bumi. Inilah rahasianya kenapa di bulan ini ada yang disebut penyendirian total dengan I’tikaf di masjid pada 10 terakhir bulan Ramadhan dan ada malam Lailatul Qadar atau malam 1000 bulan. Karena itu, menurut saya, Ramadhan dapat disebut juga sebagai bulan napak tilas Nuzulul Qur’an dan Pemurnian Pengetahuan Tauhid dengan Aslim dan Islam yang lurus seperti halnya moyang Nabi Muhammad SAW dulu yaitu Ibrahim a.s yang memenggal kepala berhala yang dipuja kaumnya. Dari sini makna jihad melawan hawa nafsu pun dapat diungkapkan kembali sebagai jihad untuk memenggal kepala berhala-berhala hawa nafsu yang masih bercokol di dalam hati Umat Islam.

Selain prosesi yang bersifat keruhanian dengan pendidikan dan penerapan praktisnya, di bulan Ramadhan kita merasakan sekali suasana ukhuwah diantara kaum muslimin terjalin sangat erat dengan selalu berinteraksi di Masjid/Mushollah untuk melakkukan sholat berjama’ah. Dan diantara tetangga juga saling mengantarkan perbukaan sehingga antara kaum muslimin terasa sekali kebersamaan dan kesatuan kita. Syahrrul Ukhuwah adalah dimensi praktek yang dinyatakan bersamaan dengan pendidikan jasmani dan ruhani di bulan Ramadhan.

Seiring dengan semua itu, maka semakin jelaslah bahwa Bulan Ramadhan disebut juga sebagai Bulan Ibadah karena pada bulan ini kita banyak sekali melakukan ibadah-ibadah sunnah disamping ibadah wajib seperti sholat sunnat dhuha, rawatib dan tarawih ataupun qiyamullai serta tadarusan al-Ar’an. Bahkan dalam pengertian yang lebih luas, dimana semua makhluk diciptakan Allah sebagai hambaNya, maka semua aktivitas jasmani dan ruhani kita di Bulan Ramadhan dilatih untuk selalu menyatakan kebiasaan-kebiasaan luhur bahwa semua aktivitas kehidupan kita sejatinya adalah ibadah kepadaNya. Inilah dimensi makrifat Ramadhan ketika Umat Islam memasuki ketakwaan sesungguhnya sebagai tujuan dari diwajibkannya puasa (QS 2:183).

Untuk menjadi manusia takwa, peningkatan kualitas kemanusiaan terjadi di wilayah lahir maupun batin. Artinya dengan pemaknaan, pemahaman, ilmu dan tindakan yang seimbang dengan Kehendak Allah. Dengan hati, akal, dan perbuatan seluruh bagian tubuh manusia. Puasa Umat Islam di Bulan Ramadhan, akhirnya memang bukan sekedar menahan lapar dan haus secara harfiah. Namun, meliputi seluruh kenyataan diri kita sebagai makhluk yang berjasad, berjiwa, dan diberi amanat Ilahi untuk mengungkapkan jati diri kekhalifahanNya (kemampuannya untuk menerima amanat Pengetahuan Tauhid).

Karenanya, tolok ukur keberhasilan seseorang menjalankan puasa Ramadhan sebagai manusia yang takwa justru akan terlihat bukan hanya saat puasa dilaksanakan semata. Hasil puasa Ramadhan yang optimal dengan kiasan 1000 bulan, justru harus lebih banyak mempengaruhi perilaku manusia di waktu sesudah puasa, yaitu 11 bulan ke depan sampai kematian tiba. Penekanan dengan sisipan “harus” ini untuk mengingatkan kita supaya jangan menjadi bodoh dan lalai kembali seolah-olah Umat Islam hanya menjadi umat yang baik di bulan Ramadhan dan menjelang Iedul Fitri saja. Suasana Ramadhan harus dapat disebarkan kedalam rentang waktu 11 bulan kedepan setelah Ramadhan dan Iedul Fitri. Itulah sebenarnya Ladang Maghfirah yang harus mulai kembali diolah terus menerus untuk ditanami dengan amaliah kehidupan untuk menghasilkan buah-buah kehidupan yang paripurna.

Ladang Maghfirah adalah modal sekaligus peluang bagi manusia untuk kembali sadar dan berjalan di jalan Shirathaal Mustaqiim dan sampai dengan selamat di hadirat Allah SWT. Peluang ini berlaku bagi semua umat Islam yang dewasa dan bertanggung jawab, yang jiwanya selama menjalani kehidupan telah terkontaminasi oleh berbagai perbuatan yang tidak patut dalam ukuran norma Iman dan Islam. Tidak ada batasan ketika peluang itu dinyatakan saat Ramadhan yaitu bagi semua perbuatan yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak. Karena itu, di bulan Ramadhan yang diwajibkan untuk berpuasa dengan tujuan menjadi takwa, maka jiwa Umat Islam sesungguhnya “dapat” diperhalus kembali ke posisi fitri untuk melangkah kembali ke masa depan dan menjalani kehidupan dengan cerapan makna yang semakin meningkatkan kualitas kemanusiaannya (yaitu sebagai manusia takwa).

Ramadhan, kembali dan selalu akan kembali selama kita masih hidup. Dan selama kita hidup pula, Allah SWT selalu menyediakan waktu ampunan bagi semua manusia, khususnya Umat Islam, untuk berdekat-dekatan dengan keintiman khusus yang disebut Bulan Ramadhan. Jadi, luruskanlah niat untuk beribadah Ramadhan dengan totalitas kehambaan di hadapanNya, tertunduk dan berserah diri padaNya dengan jujur guna meraih ketakwaan sesungguhnya. Marhaban Ya Ramadhan, dalam kesempatan ini, saya sekaligus mohon maaf lahir dan batin kalau ada salah tulis atau salah kata.

Nikah Dengan Perempuan Yang Sudah Tidak Perawan

Pertanyaan :

Mau tanya gmn hukum secra islam menikah dengan perempuan yang tidak perawan akibat tidak nikah (Bukan karena nikah), dan seputar itu mohon jwabannyaAssalamu `alaikum Wr. Wb.

Jawaban :

Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d

Barangkali maksud dari pertanyaan Anda adalah hukum menikahi wanita yang pernah berzina? kalau memang demikian maka ada ayat Allah yang berbunyi,

.الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِ‌كَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِ‌كٌ ۚ وَحُرِّ‌مَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu’min. (QS. An-Nur : 3)
Bila dibaca sekilas dan tanpa mendalami makna serta bahasan para ulama. Bisa jadi seseorang akan mengatakan bahwa menikahi wanita yang pernah berzina itu adalah haram kecuali bagi laki-laki yang juga pernah berzina. Tapi ternyata setelah kita dalami tasfir dan kitab-kitab fiqih, paling tidak dalam memahami ayat ini, ada tiga pendapat yang berbeda.

1. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama

Jumhurul Fuqaha mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkannya yang berbunyi,

Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.

Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz “hurrima” atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).
Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan.
Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu :

.وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَ‌اءَ يُغْنِهِمُ اللَّـهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّـهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS> An-Nur : 32).

Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq ra dan Umar bin Al-Khattab ra dan fuqaha umumnya. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah. Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut : Dari Aisyah ra berkata,”Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,”Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal”. (HR. Tabarany dan Daruquthuny). Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,”Istriku ini seorang yang suka berzina”. Beliau menjawab,”Ceraikan dia”. “Tapi aku takut memberatkan diriku”. “Kalau begitu mut’ahilah dia”. (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)

2. Pendapat Yang Mengharamkan

Meski demkikian, memang ada juga pendapat yang mengharamkan total untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Paling tidak tercatat ada Aisyah ra, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra’ dan Ibnu Mas’ud. Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bukan pezina). Bahkan Ali bin abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang istri berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur : 3). Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila istrinya serong dan tetap menjadikannya sebagai istri. Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersbda,?Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts?. (HR. Abu Daud)

3.Pendapat Pertengahan

Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah. Namun bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka nikahnya syah secara syar’i. Nampaknya pendapat ini agak menengah dan sesuai dengan asas prikemanusiaan. Karena seseorang yang sudah bertaubat berhak untuk bisa hidup normal dan mendapatkan pasangan yang baik.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,

Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Selasa, 26 Juli 2011

Hukum-hukum Wudhu: Yang disepakati dan yang Diperselisihkan

Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَ‌افِقِ وَامْسَحُوا بِرُ‌ءُوسِكُمْ وَأَرْ‌جُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
(Al-Maidah: 6).

Hukum-hukum wudhu yang disepakati

1- Bahwa anggota wudhu adalah empat: wajah, kedua tangan, kepala dan kedua kaki sebagaimana yang tercantum dalam ayat.

2- Bahwa anggota wudhu yang dibasuh adalah tiga selain kepala, yang terakhir ini disapu atau diusap, anggota yang dibasuh tidak cukup dengan disapu sementara jika anggota yang diusap itu dibasuh, maka hal itu termasuk sikap berlebih-lebihan.

3- Bahwa kewajiban membasuh atau mengusap masing-masing anggota adalah sekali dengan syarat sempurna.

4- Bahwa sunnah membasuh adalah tiga kali tidak lebih, sementara mengusap diperselisihkan.

5- Bahwa sebelum berwudhu disyariatkan membasuh kedua telapak tangan tiga kali dan mengucapkan basmalah.

6- Bahwa batasan wajah adalah tempat tumbuhnya rambut yang umum sampai bagian bawah dagu, dan apa yang ada di antara kedua telinga.

7- Bahwa berkumur dan istinsyaq termasuk perkara yang disyariatkan sebelum membasuh wajah.

8- Bahwa membasuh kedua tangan dilakukan sampai siku, dan ‘sampai’ di sini berarti ‘dengan’ atau ‘bersama’, artinya siku termasuk yang harus dibasuh.

9- Bahwa mengusap seluruh kepala termasuk perkara yang disyariatkan, perselisihannya terjadi pada cukup tidaknya mengusap sebagian kepala.

10- Bahwa membasuh kedua kaki adalah sampai kedua mata kaki, mata kaki yaitu dua tulang menonjol di sebelah dalam dan luar kaki pada sambungan antara telapak kaki dengan betis.

11- Bahwa anggota yang berpasangan disyariatkan membasuh anggota kanan sebelum anggota kiri.

Hukum-hukum wudhu yang diperselisihkan

Basmalah sebelum wudhu


Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama tentang dianjurkannya basmalah sebelum berwudhu, berdasarkan anjuran Rasulullah saw untuk mengucapkannya sebelum melakukan perkara-perkara penting, dan salah satunya adalah wudhu.

Menurut Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, basmalah adalah sunnah tidak wajib.

Sementara menurut Ahmad dalam riwayat yang lain, basmalah adalah wajib.

Pendapat yang berkata sunnah berdalil kepada ayat wudhu, di sana tidak disinggung basmalah, padahal ayat tersebut menyebutkan fardhu-fardhu wudhu, jika basmalah wajib lalu mengapa tidak disinggung oleh ayat? Di samping itu pendapat ini juga berdalil kepada hadits-hadits tentang wudhu Nabi saw yang tidak menyinggung basmalah.

Pendapat yang berkata wajib berdalil kepada hadits,

لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ

“Tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah atasnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Titik persoalan masalah ini terletak pada shahih tidaknya hadits di atas, pendapat pertama tidak berdalil kepada hadits ini karena menurut mereka ia dhaif (lemah), sampai Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku tidak mengetahui hadits yang shahih dalam perkara basmalah dalam wudhu.” Atau kalau ia shahih maka maksudnya adalah tidak ada wudhu yang sempurna bagi… dan seterusnya, seperti yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’.

Sementara pendapat kedua berdalil kepada hadits ini karena mereka memandangnya shahih, di antara yang menguatkannya adalah Ibnu Hajar, Ibnu Qayyim, Ibnu Katsir, Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh al-Albani. (Takhrij lengkap terhadap hadits ini silakan pembaca merujuk buku Ensiklopedia Dzikir dan Doa, Imam an-Nawawi, penerbit Pustaka Shahifa Jakarta).

Menurut pendapat yang berkata wajib, basmalah wajib dalam keadaan ingat bukan lupa.

Berkumur dan beristinsyaq

Imam Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya berkata, sunnah.

Imam Ahmad dalam riwayatnya yang lain berkata, wajib.

Imam Ahmad dalam riwayatnya yang lain berkata, berkumur sunnah dan beristinsyaq wajib.

Pendapat pertama berdalil kepada ayat wudhu di mana yang wajib hanya membasuh wajah, dan wajah menurut bahasa adalah anggota yang dengannya seseorang berartimuwajahah (bertemu dan berhadap-hadapan).

Di samping itu Nabi saw bersabda kepada seorang Arab pedalaman, “Berwudhulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan lainnya dari Abu Hurairah), dan yang diperintahkan Allah adalah yang tercantum dalam ayat.

Pendapat yang berkata wajib berdalil kepada wudhu Nabi saw yang disebutkan dalam hadits-hadits, di mana beliau selalu berkumur dan beristinsyaq, perbuatan beliau ini merupakan penjelasan terhadap maksud ayat wudhu. Di samping itu hidung dan mulut termasuk wajah karena tempat keduanya adalah wajah dan keduanya termasuk anggota luar, jadi keduanya wajib dibasuh dan membasuh keduanya adalah dengan berkumur dan beristinsyaq.

Pendapat yang berkata berkumur sunnah dan beristinsyaq wajib berdalil kepada hadits-hadits yang secara khusus memerintahkan beristinsyaq, di antaranya adalah sabda Nabi saw,

مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ Barangsiapa siapa berwudhu maka hendaknya dia beristintsar.” (Muttafaq alaihi dari Abu Hurairah).

Dalam riwayat Muslim,

مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْشِقْ
Barangsiapa berwudhu maka hendaknya dia beristinsyaq.”

Terlepas dari sunnah atau wajibnya dua perkara ini, Nabi saw selalu melakukannya dan beliau adalah teladan bagi kita. Wallahu a'lam.

Berwudhu secara berurutan dan berkesinambungan

Wajibkah wudhu secara berurutan?

Tertib atau berurutan dalam berwudhu yakni memulai dengan membasuh wajah lalu kedua tangan dan seterusnya, menurut Imam asy-Syafi'i dan Ahmad adalah wajib, sementara menurut Imam Abu Hanifah dan Malik tidak wajib.

Pendapat pertama berdalil kepada ayat wudhu, firman Allah Ta’ala,Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.(Al-Maidah: 6).

Di dalam ayat di atas Allah Ta’ala menyebutkan anggota-anggota wudhu dimulai dengan wajah, kedua tangan dan seterusnya, hal tersebut harus diikuti sesuai dengan sabda Nabi saw bersabda, 
Aku memulai dengan apa yang Allah mulai. (HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah).

Artinya, karena Allah telah memulai dengan wajah kemudian kedua tangan dan seterusnya maka aku pun seperti itu sebagaimana yang tercantum di dalam ayat. Dan inilah tertib atau berurutan.

Di samping itu disisipkannya kepala yang diusap di antara dua anggota yang dibasuh yaitu kedua tangan dan kedua kaki tidak lain kecuali menetapkan kewajiban tertib dalam berwudhu, karena jika tidak maka ayat akan menyebutkan anggota-anggota yang dibasuh, setelah itu anggota yang diusap.

Ditambah hadits-hadits shahih tentang wudhu Nabi saw, semuanya menjelaskan bahwa beliau berwudhu seperti dalam ayat.
Inilah pendapat yang shahih tanpa keraguan.

Adapun pendapat kedua maka ia beralasan bahwa penggabungan antara anggota-anggota wudhu dalam ayat dengan ‘dan’ tidak mengharuskan tertib. Dan alasan ini bukan apa-apa di depan dalil-dali pendapat pertama.

Wajibkah berwudhu secara berkesinambungan?

Berkesinambungan berarti tidak terputus, Imam Ahmad berpendapat wajib, sementara Imam asy-Syafi'i berpendapat tidak wajib.

Imam Ahmad berdalil kepada hadits Umar bin Khattab bahwa seorang laki-laki melalaikan bagian dari kakinya seluas kuku, Nabi saw melihatnya, maka beliau bersabda,Kembalilah dan perbaikilah wudhumu.Maka laki-laki itu kembali kemudian shalat. (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Abu Dawud meriwayatkan dari sebagian sahabat Nabi saw bahwa Nabi saw melihat seorang laki-laki sedang shalat, sementara di punggung kakinya terdapat bagian yang tidak tersentuh air seluas koin dirham, maka Nabi saw memerintahkannya mengulang wudhu dan shalat. Imam Ahmad berkata tentang hadits ini sanadnya jayyid (bagus).

Imam asy-Syafi'i berkata, dalam ayat wudhu yang diperintahkan adalah membasuh atau mengusap, tidak ada keterangan harus berkesinambungan.

Imam Malik mengambil jalan tengah, boleh tidak berkesinambungan jika beralasan, jika tidak maka tidak.
Pendapat pertama rajih dari segi dalil. Wallahu a'lam.