TEMPOR CYBER™  mengucapkan . . . MARHABAN YAA RAMADHON 1437 H

WELCOME TO TEMPOR CYBER™...

Tempor Cyber™ adalah situs informasi yang menyajikan berita-berita terkini,baik berita daerah,berita dalam negeri maupun berita luar negeri juga menyampaikan segudang berita gosip, dunia intertainment, tips trik komputer, dan lain sebagainya yang tentunya semata-mata untuk memanjakan anda sebagai pembaca.

BLACKBERRY MERAIH SUKSES DI INDONESIA

Kemampuan Playbook cukup hebat, wajar karena ia dipersiapkan untuk menjadi lawan bagi iPad 2. Menggunakan layar sentuh kapasitif, LCD 7 inch WSVGA yang memiliki resolusi 1024 x 600. Perangkat ini didukung penuh multi touch dan gesture.

Galaxy SII Ditarget Teruskan Kejayaan Galaxy S

Galaxy S II menggunakan sistem operasi Android 2.3 alias Gingerbread. Disertai prosesor 1,2 GHz dual core dan RAM 1 GB yang membuat performanya makin mulus. Selain itu masih ditambahi interface andalan Samsung yaitu TouchWiz versi 4.0, diharapkan memudahkan pengguna dalam mengoptimalkan Android 2.3 Gingerbread.

KAPOLDA JATENG KEDEPANKAN PENCEGAHAN,REDAM AKSI ANARKIS MASSA

Peragaan Sispamkota ini melibatkan 933 personil, baik dari unsur TNI/Polri maupun Satpol PP. Selain penanganan unjuk rasa, dalam kesempatan itu juga diperagakan simulasi penanganan teror bom.

LASKAR PELANGI MEMBEDAH DUNIA PENDIDIKAN

Menceritakan tentang persahabatan dan setia kawanan yang erat dan juga mencakup pentingnya pendidikan yang begitu mendalam. Serta kisahnya yang mengharukan.

IPAD-3 BAKAL PAKAI LAYAR RETINA DISPLAY??

iPhone generasi pertama hingga Apple 3GS memakai resolusi HVGA 320 x 480 pixel yang kemudian ditingkatkan 2 kalinya pada iPhone 4 menjadi 960 x 640 pixel. Sementara, pada iPad 3, tidak heran resolusinya yang saat ini sebesar 1024 x 768 juga telah dinaikkan menjadi dua kali yaitu 2048 x 1536 pixel

ARTI PERSAHABATAN SEBENARNYA

Satukan dua tangan yang lain menjadi satu genggaman yang kukuh bersama tuk meringankan beban antara satu dengan yang lain

ALON - ALON SIMPANG LIMA PATI-JATENG

Alon-alon Simpang Lima Pati nampak tenang pada siang hari,sungguh jauh berbeda kenyataannya kala malam hari yang penuh sesak dikunjungi para pedagang dan warga Pati tentunya.

PENYAMBUTAN PENGHARGAAN ADIPURA

Kabupaten Pati memperoleh perhargaan ADIPURA ini untuk kesekian kalinya.Sebagai warga Pati,kami sangat bangga terhadap penghargaan ini.Maju terus Kota Kelahiranku.

PRESIDEN SOESILO BAMBANG YUDHOYONO PIMPIN UPACARA DI ISTANA NEGARA

Peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Ri berlangsung khidmat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai inspektur upacara dalam upacara yang berlangsung di halaman Istana Merdeka.

Kamis, 25 Oktober 2012

HUKUM MABUK-MABUKAN (KHAMR) DALAM ISLAM


BAB I

LATAR BELAKANG MASALAH

Allah SWT telah memberikan segala macam bentuk nikmat, di antaranya nikmat jasmani dan nikmat rohani. Jika ditinjau dari segi jasmani, kita diperintahkan oleh Allah untuk makan dan minum dari hal yang baik-baik serta diperintahkan untuk menjauhkan dari hal yang kurang baik. Untuk menjaga kesehatan jasmani, kita harus menjauhkan diri dari segala makanan dan minuman yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh di antaranya Khamar (putau, ganja, miras, narkoba dan yang semacamnya) yang mana barang-barang tersebut sudah tidak asing lagi untuk zaman modern seperti sekarang ini. Meminum minuman keras atau sesuatu yang dapat menutup akal dalam pandangan agama Islam adalah haram, karena dampak yang akan diperoleh bagi si peminum akan sangat besar dan sangat beresiko bagi dirinya (menghilangkan akal). Betapa tidak, karena akal sangat penting dan berguna bagi manusia. Walaupun di dalam khamar tersebut terdapat beberapa manfaat bagi manusia yang darinya dapat diperoleh suatu keuntungan materil akan tetapi mudharatnya sangat besar.

Oleh karena itu, penulis sangat menghimbau kepada para pemuda muslimin agar menjauhkan hal-hal yang dapat membawa kepada mafsadah. Karena maju dan mundurnya masa depan umat ada pada genggaman tangan kita semua. ‘ Inna Fi Yadi Al-Syubban Amr Al-Ummah Wa Fi Iqdamiha Hayataha ‘

Ada beberapa syubhat (kerancuan) bagi sebagian kaum muslimin tentang permasalahan khamr. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada larangan yang tegas dan khusus terhadap khamr di dalam Al Qur`an. Sebab di dalam Al Qur`an tidak terdapat kata-kata larangan seperti “hurrimat `alaykumul khamr” (diharamkan atas kalian khamr) dan sebagainya, sebagaimana ketika Allah melarang kita memakan bangkai, Allah mengatakan “Hurrimat `alaykumul mayyita“ (diharamkan atas kalian mayyit). Yang ada dalam masalah ini hanyalah kata-kata “fajtanibuuh” (jauhilah). Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa hal ini menunjukkan khamr itu hukumnya tidak haram tapi makaruh saja, karena Allah hanya memerintahkan kita untuk menjauhinya. Syubhat yang lain ialah digantinya khamr dengan nama-nama yang lain sehigga khamr tersebut menjadi samar bagi sebagian kaum muslimin, serta berbagai syubhat yang lainnya yang menimbulkan kerancuan tentang hukum khamr ini. Maka di dalam pembahasan ini akan dikupas secara singkat tentang permasalahan ini, agar berbagai kerancuan tersebut dapat dihilangkan di dalam pikiran kaum muslimin

BAB II

PEMBAHASAN

A.Proses Di Haramkannya Khamar.

A.Nash-Nash yang Khusus Mengenai Khamr

1.Ayat pertama An-Nahl [16:67]
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيْلِ وَالأَعْنٰبِ تَتَّخِذُوْنَ مِنْهُ سَكَرًاوَرِزْقًاحَسَنًا, إِنَّ فِى ذٰلِكَ َلاٰيٰةً لِّّقَوْمٍ يَعْـقِلُـوْنَ. (النّحل  6 :67)
Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan. (QS. An-Nahl Ayat 67)

Kurma dan anggur adalah komoditas ekonomi jazirah arab, sejak dahulu kala. Komoditi tersebut selain diperdagangkan secara natural (alami) juga diolah menjadi minuman yang memabukkan. Seperti halnya buah aren bisa diolah menjadi tuak yang memabukkan.

Disini Allah menyatakan secara tersirat bahwa dari kedua buah tersebut dapat diolah menjadi rezeki yang baik (perdagangan alami) dan hal yang tidak baik (minuman yang memabukkan).

2.Ayat kedua Al-Baqarah [2:219]

‘Umar bin Khattab beserta para sahabat yang lain bertanya kepada Rasulullah SAW perihal minuman yang memabukkan dan menghilangkan akal. Sahabat-sahabat tersebut memang sudah biasa minum khamar. Dua orang sahabat Rasulullah SAW yang semasa masih jahiliyah tidak pernah minum khamar adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Utsman bin Affan.

Sehubungan dengan pertanyaan ttg khamar tersebut maka turunlah ayat yang berbunyi :


يـَسْئَلُوْ نَكَ ٰعَنِ الْخَمْرِوَالْمَيْسِرِقلى قُلْْ فِيْهِمَآإِثْمٌ كَبِيْرٌوَمَنٰفِعُ لِلنَّاسِصلى وَإِثْْمُهُمَآ أَكْبَرُمِنْ نَّفْعِهِمَا قلىوَيَسْئَلُوْنَكَ مَاذَايُنْفِقُوْنَ قلى قُلِ الْعَفْوَ قلى كَذٰ لِكَ يُبَيّـِنُ الله ُ لَكُمُا ْلأٰ يٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ لا(البقرة,2:  219)
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir, (QS. Al-Baqarah ayat 219)

Dalam masyarakat kita saat ini, bahkan bagi orang barat sekali pun kalau ditanya secara jujur tentang manfaat dari miras dan judi, kita akan mendapatkan jawaban bahwa bagaimana pun pada keduanya menimbulkan problem-problem sosial yang bersifat negatif bahkan destruktif. Karena itu berbagai aturan dan undang-undang pemerintah di manapun, ada pengaturan ttg kedua hal itu, meskipun dasar yang digunakan bukan dari Al-Quran..

Maka pertanyaan beberapa sahabat tsb juga menunjukkan munculnya kesadaran sosial bahwa didalam perkara miras dan judi ternyata menghasilkan hal-hal yang tidak baik dalam masyarakat.


3.Ayat ketiga, An-Nisa [4:43]
Setelah ayat kedua tentang khamar dan judi turun, pada suatu saat Abdurrahman bin Auf mengundang teman-temannya untuk minum khamar sampai mabuk. Ketika waktu shalat tiba, salah seorang yang menjadi imam membaca surat al-Kafirun secara keliru disebabkan pengaruh khamar. Maka turunlah ayat ketiga yaitu An-Nisa [4:43]

يٰأَ َيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْالاَتَقْرَبُوْاالصَّلـٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْامَاتَقُوْلُوْنَ …. (النسأ 4: 43)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, …..(QS. An-Nisa Ayat 43)

Ayat ini belum mengharamkan minuman keras dan judi secara mutlak, maka sebagian umat islam pada waktu itu masih meminumnya
.
Selain berkaitan dengan mabuk, ayat ini berlaku umum bahwa orang yang mengerjakan shalat harus memahami/mengerti makna bacaan shalatnya karena ada kaimat “sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”).

Kalimat ini menjadi penyebab keumuman ayat itu, karena kita pahami bahwa bagi orang Arab dalam keadaan tidak mabuk tentu mereka mengerti apa yang diucapkan dalam shalat. Berbeda halnya bagi orang non-Arab dimana bahasa Arab bukan bahasa sehari-hari.

Oleh sebab itu maka mengerti bahasa arab, minimal dalam bacaan sholat, menjadi kewajiban bagi orang non-arab. Demikian ini agar tidak terkena makna daripada QS An-Nisa’ [4:43] tersebut di atas karena objek sasaran ayat tersebut adalah bagaimana mengerti apa yang diucapkan dalam sholat, bukan pada mabuknya. Sedangkan mabuk adalah salah satu penyebab dari tidak memahami apa yang diucapkan dalam shalat.

4.Ayat keempat, Al-Maidah [5:90-92]

يٰۤاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْآ إِنّـَمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلـٰمُ رِجْسٌ ّمِنْ عَمَلِ الشَّـيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (90)  إِنَّمَا يُرِيْدُالشَّيْطـٰنُ أَنْ يُوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدٰوَةَ وَالْبَغْضَآءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلوٰةِ فَهَلْ أَنْتُمْ ّمُنْتَهُوْنَ (91) وَأَطِيْعُوااللهَ وَأَطِيْعُواالرَّسُوْلَ وَاحْذَرُوْا، فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوْآ اَنَّمَا عَلىٰ رَسُوْلِنَا الْبَلـٰغُ الْمُبِيْنُ
(92)
5:90. Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
5:91. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
5:92. Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul (Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang
Dengan turunnya ayat ini maka hukum meminum khamar dan judi telah secara tegas dan jelas dinyatakan sebagai perbuatan yang haram. Sebagai salah satu dari dosa besar (Al-Baqarah [2:219]).

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ‌ وَالْمَيْسِرِ‌ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ‌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ‌ مِن نَّفْعِهِمَا ۗ وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّـهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُ‌ونَ

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,



Allah menyuruh menjauhi  4 perbuatan keji yang termasuk perbuatan syetan yaitu :
  • Minum khamar
  • Berjudi
  • Berkorban untuk berhala/thagut/sesuatu yang bukan karena Allah
  • Mengundi nasib, dengan panah atau yang lainnya termasuk mengundi nasib kepada tukang ramal.
Sedang khamar dan berjudi, Allah SWT nyatakan sebagai perbuatan setan yang akan :
Menimbulkan permusuhan
Menimbulkan kebencian satu sama lain
Menghalangi dari mengingat Allah
Menghalangi dari sembahyang

Maka Allah SWT menegaskan فَهَلْ أَنْتُمْ مّـُنْتَهُوْنَ  berhenti, stop, jangan diulangi lagi. Taatlah kepada Allah dan Rasul serta berhati-hatilah kalian. Kalau masih nekad, merasa berat meninggalkannya maka kewajiban Rasulullah SAW hanyalah menyampaikan amanat Allah SWT.


Selanjutnya Rasulullah bersabda :
مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ لَمْ يَرْضَ اللهُ عَنْهُ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً، فَإِنْ مَاتَ مَاتَ كَافِرًا  وَإِنْ تَابَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِ، وَإِنْ عَادَ كَانَ حَقّـَا عَلَى اللهِ أَنْ يَّسْقِيـَهُ مِنْ طِيْنَةِ  الْخَبَالِ قَلَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا طِيْنَةُ الْخَبَالِ؟ قَالَ : صَدِيْدُ أَهْلِ النَّارِ (رواه أحمد)
Artinya : “Siapa saja yang minur khamar, maka Allah tidak akan ridho kepadanya selama empat puluh malam. Bila ia mati saat itu, maka matinya dalam keadaan kafir. Dan bila ia bertobat, maka Allah akan menerima tobatnya.Kemudian jika ia mengulang kembali (meminum khamar), maka Allah memberinya minuman dari “thinatil khabail” ,(Asma bertanya, “Ya Rasulullah, apakah thinatil khabali itu?. (Rasulullah) menjawab, “Darah bercampur nanah ahli neraka. (HR Ahmad)

B.Pengertian Asy-Syurbu (meminum)
Pengertian Syurb Khamr

Minum khamr (Syurb khamr) diambil dari kata (بش ), yang artinya minum. Dan kata minum / khamr (رومخا), yang artinya arak atau minuman keras. Sedang minum khamr (syurb khamr) menurut istilah adalah memasukkan minuman yang memabukkan ke mulut lalu ditelan masuk ke perut melalui kerongkongan, meskipun bercampur dengan makanan lain yang halal.
Sedang orang yang meminum arak dinamakan (شاربي الخمور), yang artinya peminum.

Khamr berasal dari kata yang berarti menutupi. Di sebut sebagai khamr, karena sifatnya bisa menutupi akal Sedangkan menurut pengertian urfi pada masa itu, khamr adalah apa yang bisa menutupi akal yang terbuat dari perasan anggur. Sedangkan dalam pengertian syara’, khamr tidak terbatas pada perasan anggur saja, tetapi semua minuman yang memabukkan dan tidak terbatas dari perasan anggur saja. Pengertian ini diambil berdasarkan beberapa hadits Nabi SAW. Diantaranya adalah hadits dari Nu’man bin Basyir bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Sesungguhnya dari biji gandum itu terbuat khamr, dari jewawut itu terbuat khamr, dari kismis terbuat khamr, dari kurma terbuat khamr, dan dari madu terbuat khamr (HR Jama’ah, kecuali An Nasa’i). Dalam riwayat Ahmad ada tambahan Dan saya melarang dari setiap yang memabukkan.

Dari Jabir, bahwa ada seorang dari negeri Yaman yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang sejenis minuman yang biasa diminum orang-orang di Yaman. Minuman tersebut terbuat dari jagung yang dinamakan mizr. Rasulullah bertanya kepadanya, “apakah minuman itu memabukkan? “Ya” jawabnya. Kemudian Rasulullah menjawab :

Setiap yang memabukkan itu adalah haram. Allah berjanji kepada orang-orang yang meminum minuman memabukkan, bahwa dia akan memberi mereka minuman dari thinah al khabal. Mereka bertanya, apakah thinah khabal itu? Jawab Rasulullah,”Keringat ahli neraka atau perasan tubuh ahli neraka”
(HR Muslim, An Nasa’i, dan Ahmad).

Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad meriwayatkan dari Abu Musa bahwa ia berkata,”Saya mengusulkan kepada Rasulullah SAW agar beliau memberikan fatwanya tentang dua jenis minuman yang dibuat di Yaman, yaitu al bit’i dan al murir. Yang pertama terbuat dari madu yang kemudian dibuat minuman hingga keras (bisa memabukkan). Yang kedua terbuat dari bijii-bijian dan gandum dibuat minuman hingga keras. Wahyu yang turun kepada Rasulullah SAW telah lengkap dan sempurna, kemudian Rasulullah SAW bersabda:
Setiap yang memabukkan itu haram (HR Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW juga bersabda:
Setiap yang memabukkan itu khamr, dan setiap khamr itu haram (HR Muslim dan Daruquthni).
Hadits-hadits itu menunjukkan bahwa khamr itu tidak terbatas terbuat dari perasan anggur saja, sebagaimana makna urfi tetapi mencakup semua yang bisa menutupi akal dan memabukkannya. Setiap minuman yang memabukkan dan menutupi akal layak disebut khamr, baik terbuat dari anggur, gandum, jagung, kurma, maupun lainnya. Berarti itu merupakan pengertian syar’i tentang khamr yang disampaikan dalam hadits-haditsnya (Nidhamul Uqubaat oleh Abdurrahman Al Maliki hal 50).Dalam keadaan demikian, yakni adanya makna syar’i -makna baru yang dipindahkan dari makna aslinya oleh syara’ – yang berbeda dengan makna lughawi dan makna urfi, maka makna syar’i tersebut harus didahulukan daripada makna lughawi dan makna urfi.

Jika khamr diharamkan karena zatnya, sementara pada hadits di atas dinyatakan bahwa berarti itu menunjukkan kepada kita bahwa sifat yang melekat pada zat khamr adalah memabukkan. Karena sifat utama khamr itu memabukkan, maka untuk mengetahui keberadaan zat khamr itu atau untuk mengenali zatnya adalah dengan meneliti zat-zat apa saja yang memiliki sifat memabukkan.

Kini, setelah dilakukan tahqiiq al manath (penelitian terhadap fakta), oleh para kimiawan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa zat yang memilki sifat memabukkan adalah etil alkohol atau etanol. Zat inilah yang memiliki khasiat memabukkan. Walaupun gugus alkohol itu tidak hanya etanol, masyarakat secara umum menyebutnya dengan nama alkohol saja. Zat inilah yang menjadi penyebab sebuah minuman bisa memabukkan. Dengan melalui proses fermentasi, benda-benda yang mengandung karbohidrat -seperti kurma, anggur, singkong, beras, jabung, dsb– bisa diproses menjadi minuman memabukkan. Apabila diteliti, setelah dilakukan proses fermentasi pada benda-benda tersebut adalah munculnya etil alkohol yang sebelumnya tidak ada.

Karena sifatnya yang memabukkan itulah maka apabila dicampurkan atau bercampur dengan air atau minuman bisa menyebabkan mabuk bagi setiap orang yang meminumnya. Tinggi-rendahnya kadar alkohol di dalam minuman tersebut sangat menentukan ‘keras-tidaknya’ sebuah minuman.
Sebenarnya, airnya sendiri tidaklah memiliki khasiat untuk memabukkan. Sebagai buktinya, apabila air itu dipisahkan dari ‘alkohol’, maka air tidak akan bisa membuat mabuk bagi peminumnya, dan tentu saja tidak bisa disebut sebagai khamr. Maka, kalau ada suatu minuman yang didalamnya ada zat alkohol, kemudian zat alkoholnya secara pasti sudah hilang, maka minuman itu menjadi halal. Karena memang yang diharamkan adalah zat khamrnya.

Berubahnya minuman keras menjadi cuka menjadi contoh dalam kasus ini. Para fuqaha sepakat apabila ada khamr yang berubah secara alamiah (tidak karena ada rekayasa manusia) hukumnya halal untuk memakan atau meminumnya. Sedangkan apabila perubahan itu direkayasa para ulama berbeda pendapat.
Jika khamr itu adalah zat alkohol, maka setiap minuman di dalamnya terkandung alkohol bisa disebut sebagai khamr. Tidak dilihat lagi asal-usulnya secara ‘kasat mata’. Dari Nu’man bin Basyir, Rasulullah SAW menegaskan bahwa khamr bisa terbuat dari berbagai benda.

Pada faktanya, memang semua benda yang disebutkan Rasullah SAW, seperti; gandum, anggur, kurma, madu, dsb, itu bisa memabukkan. Dan, memang pada semua benda itu ketika diproses menjadi minuman yang memabukkan dapat dibuktikan bahwa di dalamnya terdapat zat alkoholnya.

Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa diharamkannya khamr itu karena zatnya, maka hukum meminumnya adalah haram. Tidak dilihat lagi segi kuantitas zatnya, baik sedikit maupun banyak, semuanya haram. Hal ini sama dengan memakan daging babi atau bangkai, hukumnya haram, baik sedikit maupun banyak, karena kedua benda itu diharamkan karena zatnya. Demikian juga haramnya khamr tidak dilihat dari segi pengaruh bagi peminumnya. Baik akan mengakibatkan mabuk atau tidak bagi peminumnya, hukumnya tetap haram. Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah bersabda:
“Setiap yang memabukkan dalam keadaan banyaknya, maka sedikitnya pun haram”
(HR Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Daruquthni) Dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda:
Setiap minuman yang memabukkan itu haram, dan jika banyaknya satu faraq (16 rithl = 7, 83 liter) dapat memabukkan, maka satu tangan dari minuman tersebut adalah haram (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidziy) Dua hadits tersebut menunjukkan bahwa sebuah minuman tidak dilihat kadar/prosentase alkolohol/khamr yang terkandung di dalamnya, tetapi dilihat dari segi ada atau tidaknya zat khamr di situ.

Pengertian faraq dan mil’ul kaffi adalah suatu perumpamaan untuk menunjukkan ukuran banyak dan sedikit. Bukan untuk membatasi pengertiannya dengan ukuran tersebut. Karena itu, para fuqaha dan muhadditsin mengambil pengertian dari hadits tersebut bahwa ukuran sedikit khamr mencakup ‘setetes khamr’ pula menurut arti bahasa, kata qaliiluhu (sedikitnya) menunjukkan bahwa yang dimaksud di sini bukan hanya sekedar ukuran atau jumlah, tetapi menyangkut kadar/persentase, baik tinggi atau rendah.

Al Qamus al Muhith (III hal 681) mengartikan kata qaliil adalah ukuran sedikitnya sesuatu adalah paling sedikit. Sedangkan Al Mu’jamul al Wasith (II hal 756) memberikan arti kata qaliil adalah sesuatu yang hampir tidak ada sama sekali. Berdasarkan ketentuan bahasa Arab tersebut, maka yang dimaksud kata qaliiluhu haram (sedikitnya pun haram) adalah jumlah/ukuran yang sedikit atau kadar/persentase yang sedikit. Ini berarti, setiap minuman yang mengandung zat alkohol, walapun kadar persentasenya sedikit sekali, maka dapat dikategorikan dalam kelompok haram. Sebab, yang diharamkan syara’ adalah zat alkoholnya yang sudah mengalami proses peragian dan dapat memabukkan bila diminum dalam ukuran/jumlah besar.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa setiap minuman yang beralkohol adalah khamr dan hukumnya haram, baik kadar alkoholnya tinggi atau rendah. Bukan karena bisa memabukkan atau tidak bagi peminumnya. Bukan pula sedikit atau banyaknya yang diminum. Juga bukan karena diminum sebagai khamr murni atau dicampur dengan minuman lainnya. Sebab, diharamkannya khamr semata-mata karena zatnya. Dengan demikian, beberapa jenis minuman seperti : brandy, wisky, martini, dan lain-lain yang kadar alkoholnya mencapai 40 sampai 60 persen termasuk kategori khamr. Demikian pula jenis janever, holland, geneva yang kadar alkoholnya mencapai 33 sampai 40 persen. Termasuk pula jenis bir ringan sperti eyl, portar, estote, dan munich, malaga, anggur cap orang tua, mengandung 2 hingga 15 persen alkohol. Semua jenis minuman tersebut adalah khamr dan haram hukumnya, meskipun namanya berbeda-beda. Dari Ubadah bin Ash Shamit bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Sekelompok manusia dari umatku akan menghalalkan khamr, dengan nama (baru) yang mereka sebutkan” (HR Imam Ahmad dan Ibnu Majah). Najiskah Khamr itu?
Hukum asal benda adalah suci. Sehingga, suatu benda dinyatakan najis manakala ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Dalam kitab Subulus Salam, dinyatakan bahwa asal benda-benda itu suci. Haramnya suatu benda tidak otomatis najis. Seperti ganja. Hukumnya adalah haram, tetapi ia suci dan tidak najis. Sebab, sesuatu yang najis mengharuskannya menjadi haram, yakni setiap yang najis itu haram. Karena, najisnya sesuatu itu merupakan larangan untuk menyentuhnya pada setiap keadaan. Sehingga, hukum najisnya suatu benda merupakan hukum haram bagi benda tersebut. Tetapi tidak sebaliknya, yakni tidak setiap yang haram pasti najis. Seperti haramnya menggunakan pakaian sutera dan emas (bagi pria), padahal kedua benda tersebut adalah suci. Karenanya apabila haramnya khamr telah ditunjukkan oleh nash-nash syara’ tidaklah mengharuskannya menjadi najis. Berarti harus ada dalil lain yang menunjukkannya. Apabila tidak ditemukan, maka ia kembali pada hukum asal, yakni suci.

Jumhurul ulama menyatakan bahwa khamr itu najis. Kesimpulan itu diambil dari kata rijsun yang berarti kotoran dan najis. Memang, argumentasi ini dibantah oleh sebagian fuqaha yang mengatakan bahwa kata rijsun pada ayat tersebut najis secara maknawi karena kata rijsun tidak hanya khabar bagi khamr, tetapi juga athaf-nya, yakni berjudi, berhala, dan undian nasib, yang kesemuanya secara pasti tidak disifati dengan najis dzatiy, seperti firman Allah SWT:

Maka jauhilah berhala-berhala yang najis itu (Al Hajj 30).
Arti berhala sebagai sesuatu yang najis itu pada ayat tersebut adalah najis maknawi, bukan najis dzatiy. Contoh lain najis maknawi terdapat pada surat At Taubah 28:
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (At Taubah 28).

Yang dimaksud dengan najis pada ayat ini bukanlah najis dzat (tubuh) mereka, tetapi aqidah yang mereka peluk berupa aqidah syirik yang seharusnya dijauhi, sebagaimana yang dipahami oleh jumhurul fuqaha’. Sehingga menurut mereka, kata rijsun dalam surat Al Maidah 90 tersebut, adalah najis secara maknawi. Pandangan tersebut –menurut mereka– diperkuat oleh bunyi selanjutnya dengan kata (dari perbuatan syetan). Itu berarti, maksud najis itu adalah secara maknawi (Fiqhu Sunnah I hal 28). Hanya saja, pendapat jumhur itu dikuatkan oleh hadits Nabi SAW

“Sesungguhnya kami berada di negeri para ahli kitab, mereka makan babi dan minum khamr, apakah yang harus kami lakukan terhadap bejana-bejana dan periuk-periuk mereka? Rasulullah SAW menjawab,”Apabila kamu tidak menemukan lainnya, maka cucilah dengan dengan air, lalu memasaklah di dalamnya, dan minumlah” (HR Ahmad dan Abu Daud).

Perintah untuk mencuci pada bejana yang menjadi wadah khamr dan periuk yang menjadi wadah daging babi, menunjukkan bahwa kedua benda tersebut tidak suci. Sebab, apabila suci dan tidak najis, tentu tidak akan diperintahkan untuk mencucinya dengan air.


C.Unsur-Unsur Jarimah Syurb Khamr
Ada dua unsur dalam jarimah syurb khamr. Yaitu minum-minuman yang memabukkan dan ada itikad jahat.
Yang dimaksud dengan ada niat jahat adalah sudah tau bahwa meminum khamr itu haram, tetapi tetap saja dia minum. Oleh karena itu, tidak dikenai sanksi orang yang meminum khamr atau meminum minuman yang memabukkan sedang dia tidak tahu bahwa yang dia minum itu adalah minuman yang memabukkan atau tidak tahu bahwa minuman itu haram, juga dibawah paksaan.

D. Hukuman Untuk Peminum Khamr
Al-qur’an tidak menegaskan hukuman apa bagi peminum khamr, namun sanksi dalam kasus ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw yakni sunah fi’liyahnya, bahwa hukuman terhadap jarimah ini adalah didera sebanyak 40 kali. Abu Bakar as-Sidiq ra mengikuti jejak ini, Umar bin Khatab ra 80 kali dera sedang Ali bin Abu Thalib ra 40 kali dera.

Alasan penetapan 80 kali dera didasarkan pada metode analogi, yakni dengan mengambil ketentuan hukum yang ada di dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 4:
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan terhormat (berbuat zina), kemudian itu tidak mengemukakan empat saksi, maka hendaklah mereka didera delapan puluh kali dera¬an, dan janganlah diterima ke¬saksian dari mereka selama ¬lamanya. Itulah orang-orang fasik.”

Bahwa orang yang menuduh zina didera 80 kali. Orang yang mabuk biasanya mengigau, jika mengigau suka membuat kebohongan, orang bohong sama dengan orang membuat onar atau fitnah. Fitnah dikenai hukuman 80 kali dera. Maka orang yang meminum khamr didera 80 kali.

Disamping itu pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab ra banyak orang yang meminum khamr, dan hal mengenai dera 80 kali sudah berdasarkan hasil musyawarah antara Umar bin Khathab ra dengan para shahabat yang lain, yakni atas usulan Abdurrahman bin ‘Auf.

Adapun menurut Imam Abu Hnifah ra dan Imam Maliki ra sanksi peminum khamr adalah 80 kali dera. Sedang Imam Syafi’i ra adalah 40 kali dera, akan tetapi Imam beleh menambah menjadi 80 kali dera. Jadi 40 kali adalah hukuman had, sedang sisanya adalah hukuman ta’zir.

Syarat Diberlakukannya Hudud Peminum Khamar
Namun para ulama sepakat bahwa agar hukuman pukul atau cambuk itu dapat terlanksana, syarat dan ketentuannya harus terpenuhi terlebih dahulu. Tidak asal ada orang minum khamar lantas segera dicambuk.
Di antara syarat dan ketentuannya antara lain :
1. Berakal
Peminumnya adalah seorang yang waras atau berakal. Sehingga orang gila bila meminum minuman keras maka tidak boleh dihukum hudud.
2. Baligh
Peminum itu orang yang sudah baligh, sehingga bila seorang anak kecil di bawah umur minum minuman keras, maka tidak boleh dihukum hudud.
3. Muslim
Hanya orang yang beragama Islam saja yang bila minum minuman keras yang bisa dihukum hudud. Sedangkan non muslim tidak bisa dihukum bahkan tidak bisa dilarang untuk meminumnya.
4. Bisa memilih
Peminum itu dalam kondisi bebas bisa memilih dan bukan dalam keadaan yang dipaksa.
5. Tidak dalam kondisi darurat
Maksudnya bila dalam suatu kondisi darurat dimana seseorang bisa mati bila tidak meminumnya, maka pada saat itu berlaku hukum darurat. Sehingga pelakunya dalam kondisi itu tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
6. Tahu bahwa itu adalah khamar
Bila seorang minum minuman yang dia tidak tahu bahwa itu adalah khamar, maka dia tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
Khamr adalah benda. Sedangkan hukum benda tidak terlepas dari dua hal, yaitu halal atau haram. Selama tidak ada dalil yang yang mengharamkannya, hukum suatu benda adalah halal. Karena ada dalil yang secara tegas mengharamkannya, maka hukum khamr itu haram.

Hukum syara’ adalah seruan syari’ yang berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia). Sehingga, meskipun hukum syara’ menentukan status hukum benda, tetap saja akan berkait dengan perbuatan manusia dalam menggunakannya. Misalnya, babi itu haram. Perbuatan apa saja yang diharamkan berkenaan dengan babi? Apakah memakannya, menjualnya, menternakkannya, memegangnya, melihatnya, atau bahkan membayangkannya hukumnya juga haram? Untuk mengetahui hukum-hukum perbuatan yang berkenaan dengan benda tidak cukup hanya melihat dalil tentang haramnya benda, tetapi harus meneliti dalil-dailil syara’ yang menjelaskan perbuatan yang berkenaan dengan benda tersebut.

Beberapa perbuatan haram yang berkaitan dengan khamr, dijelaskan oleh Nabi SAW dari Anas ra.
“Sesungguhnya Rasulullah SAW melaknat dalam khamr sepuluh personel, yaitu: pemerasnya (pembuatnya), distributor, peminumnya, pembawanya, pengirimnya, penuangnya, penjualnya, pemakan uang hasilnya, pembayarnya, dan pemesannya” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzy).

Dari hadits tersebut menunjukkan bahwa semua pelaku yang terlibat dalam khamr termasuk yang diharamkan. Hukum haram disimpulkan karena ada celaan yang bersifat jazim dengan kata (melaknat). Berarti, itu merupakan sebuah sanksi yang diberikan kepada para pelaku yang terlibat dalam khamr. Mereka itu adalah:
1. produsen
2. distributor
3. peminum
4. pembawa
5. pengirim
6. penuang minuman
7. penjual
8. orang yang memetik hasil penjualan
9. pembayar
10. pemesan

E. Pembuktian untuk Jarimah Syurbul Khamr
Alat bukti syurb khamr adalah:
  1. Persaksian, jumlah saksi adalah dua orang laki-laki atau empat orang wanita. Menurut Imam Abu Hanifah ra dan Abu Yusuf ra, saksi harus mencium bau minuman yang memabukkan ketika menyaksikanya.
  2. Pengakuan dari peminum, pengakuan ini cukup satu kali saja.
  3. Bau mulut, menurut Imam Maliki ra bau mulut orang meminum minuman yang memabukkan dapat dianggap sebagai bukti bahwa yang bersangkutan telah meminum khamr.
  4. Mabuk, Imam Abu Hanifah ra berpendapat bahwa mabuk dapat dianggap sebagai alat bukti minum khamr. Sedang Imam Syafi’i ra tidak demikian, karena mabuk itu memberi banyak kemungkinan, terutama dipaksa atau terpaksa.
  5. Muntah, menurut Imam Maliki ra beranggapan bahwa muntah dapat dijadikan sebagai bukti minum khamr. Hal ini pernah dilakukan ketika Usman bin Afan ra menjatuhkan hukuman dera bagi orang yanh muntah-muntah akibat meminum khamr.
F. Pelaksanaan Hukuman Syurb Khamr
Pelaksanaan had bagi peminum khamr sama dengan pelaksanaan dera pada jarimah lainya. Namun dalam pelaksanaan tidak diperbolehkan disertai emosi atau dalam keadaan marah, juga dalam mendera ketika eksekutor tidak boleh sampai kelihatan, sedang alat dera yang digunakan adalah pelepah daun kurma atau sejenisnya.

dalam hukum hudud, seorang muslim yang kedapatan dan terbukti meminum khamar oleh pengadilan (mahkamah syar`iyah) hukumannya adalah dipukul. Bentuk hukuman ini bersifat mahdhah, artinya bentuknya sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT. Sehingga tidak boleh diganti dengan bentuk hukuman lainnya seperti penjara atau denda uang dan sebagainya.
Dalam istilah fiqih disebut hukum hudud, yaitu hukum yang bentuk, syarat, pembuktian dan tatacaranya sudah diatur oleh Allah SWT.

Dasar pensyariatannya adalah hadits Nabi SAW berikut ini :
“Siapa yang minum khamar maka pukullah”.
Hadits ini termasuk jajaran hadits mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada tiap thabawatnya (jenjang) dan mustahil ada terjadi kebohongan diantara mereka.
Di tingkat shahabat, hadits ini diriwayatkan oleh 12 orang shahabat yang berbeda. Mereka adalah Abu Hurairah, Muawiyah, Ibnu Umar, Qubaishah bin Zuaib, Jabir, As-Syarid bin suwaid, Abu Said Al-Khudhri, Abdullah bin Amru, Jarir bin Abdillah, Ibnu Mas`ud, Syarhabil bin Aus dan Ghatif ibn Harits.

G. Hapusnya Hukuman Syurb Khamr
Hukuman had bagi peminum khamr dapat dihapus atau dibatalkan apabila:
1. Para saksi menarik kesaksianya, apabila tidak ada bukti yang menguatkan.
2. Pelaku menarik kembali persaksianya, karena tidak ada bukti yang menguatkan.
3. Kebenaran bukti-bukti masih dipertanyakan, atau masih diragukan kebenaranya.


H. Hukuman Had Bagi Syurb Khamr Sebagai Penghapus Dosa
Barang siapa berbuat pelanggaran lalu dihukum, maka hukuman tersebut adalah sebagai penebus atau penghapus dosanya, hal tersebut terdapat pada hadits Rasulullah saw sebagai mana berikut, yang artinya:
“Ubadah ibn sh-Shamit ra mengatakan bahwa Rasulullah saw menegaskan larangan kepada para shahabat sebagai mana larangan kepada wanita yaitu: tidak boleh menyekutukan sesuatu dengan Allah swt, tidak boleh mencuri, tidak boleh berzina, tidak boleh membunuh anak-anak dan tidak boleh saling membohongi. Maka barang siapa kansisten dalam menghindari larangan itu, maka Allah swt yang menanggung ppahalanya. Barang siapa melakukan pelanggaran lalu dilaksanakan hukuman padanya, maka hukuman tersebut menjadi penghapus dosanya. Barang siapa melakukan pelanggaran lalu ditutupi oleh Allah swt, maka urusanya terserah kepada Allah swt. Jika Allah swt menghendaki, maka Dia menyiksanya, dan jika Dia menghendaki, maka Dia mengampuninya

BAB  III
KESIMPULAN

Syurb khamr adalah memasukkan minuman yang memabukkan ke mulut lalu ditelan masuk ke perut melalui kerongkongan, meskipun bercampur dengan makanan lain yang halal. Adapun segala sesuatu yang memabukkan dinamakan khamr, dan meminumnya dihukumi haram.

Sedang dalam syariat islam siapa saja yang meminum khamr akan mendapatkan hukuman, adapun hukuman tersebut berupa dera 40 kali atau 80 kali, jika amir atau penguasa menghendakinya. Adapun cara pelaksanaannya dilakukan oleh eksekutor yang sudah memenuhi syarat-syarat, juga alat yang digunakan adalah pelepah daun kurma atau sejenisnya.

Namun hukuman dera dapat gugur bilamana para saksi menarik kesaksianya atau pelaku menarik kembali pengakuanya, serta tidak ditemukanya barang bukti yang menguatkan.
Disamping mendapatkan hukuman peminum khamr tentusaja akan mengalami gangguan kesehatan, baik itu kesehatan rohani maupun kesehatan jasmani. Disamping itu khamr menjauhkan para peminumnya dari Allah swt.

Kamis, 04 Agustus 2011

Nikah Dengan Perempuan Yang Sudah Tidak Perawan

Pertanyaan :

Mau tanya gmn hukum secra islam menikah dengan perempuan yang tidak perawan akibat tidak nikah (Bukan karena nikah), dan seputar itu mohon jwabannyaAssalamu `alaikum Wr. Wb.

Jawaban :

Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d

Barangkali maksud dari pertanyaan Anda adalah hukum menikahi wanita yang pernah berzina? kalau memang demikian maka ada ayat Allah yang berbunyi,

.الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِ‌كَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِ‌كٌ ۚ وَحُرِّ‌مَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu’min. (QS. An-Nur : 3)
Bila dibaca sekilas dan tanpa mendalami makna serta bahasan para ulama. Bisa jadi seseorang akan mengatakan bahwa menikahi wanita yang pernah berzina itu adalah haram kecuali bagi laki-laki yang juga pernah berzina. Tapi ternyata setelah kita dalami tasfir dan kitab-kitab fiqih, paling tidak dalam memahami ayat ini, ada tiga pendapat yang berbeda.

1. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama

Jumhurul Fuqaha mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkannya yang berbunyi,

Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.

Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz “hurrima” atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).
Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan.
Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu :

.وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَ‌اءَ يُغْنِهِمُ اللَّـهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّـهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS> An-Nur : 32).

Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq ra dan Umar bin Al-Khattab ra dan fuqaha umumnya. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah. Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut : Dari Aisyah ra berkata,”Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,”Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal”. (HR. Tabarany dan Daruquthuny). Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,”Istriku ini seorang yang suka berzina”. Beliau menjawab,”Ceraikan dia”. “Tapi aku takut memberatkan diriku”. “Kalau begitu mut’ahilah dia”. (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)

2. Pendapat Yang Mengharamkan

Meski demkikian, memang ada juga pendapat yang mengharamkan total untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Paling tidak tercatat ada Aisyah ra, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra’ dan Ibnu Mas’ud. Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bukan pezina). Bahkan Ali bin abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang istri berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur : 3). Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila istrinya serong dan tetap menjadikannya sebagai istri. Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersbda,?Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts?. (HR. Abu Daud)

3.Pendapat Pertengahan

Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah. Namun bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka nikahnya syah secara syar’i. Nampaknya pendapat ini agak menengah dan sesuai dengan asas prikemanusiaan. Karena seseorang yang sudah bertaubat berhak untuk bisa hidup normal dan mendapatkan pasangan yang baik.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,

Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Selasa, 26 Juli 2011

Hukum-hukum Wudhu: Yang disepakati dan yang Diperselisihkan

Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَ‌افِقِ وَامْسَحُوا بِرُ‌ءُوسِكُمْ وَأَرْ‌جُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
(Al-Maidah: 6).

Hukum-hukum wudhu yang disepakati

1- Bahwa anggota wudhu adalah empat: wajah, kedua tangan, kepala dan kedua kaki sebagaimana yang tercantum dalam ayat.

2- Bahwa anggota wudhu yang dibasuh adalah tiga selain kepala, yang terakhir ini disapu atau diusap, anggota yang dibasuh tidak cukup dengan disapu sementara jika anggota yang diusap itu dibasuh, maka hal itu termasuk sikap berlebih-lebihan.

3- Bahwa kewajiban membasuh atau mengusap masing-masing anggota adalah sekali dengan syarat sempurna.

4- Bahwa sunnah membasuh adalah tiga kali tidak lebih, sementara mengusap diperselisihkan.

5- Bahwa sebelum berwudhu disyariatkan membasuh kedua telapak tangan tiga kali dan mengucapkan basmalah.

6- Bahwa batasan wajah adalah tempat tumbuhnya rambut yang umum sampai bagian bawah dagu, dan apa yang ada di antara kedua telinga.

7- Bahwa berkumur dan istinsyaq termasuk perkara yang disyariatkan sebelum membasuh wajah.

8- Bahwa membasuh kedua tangan dilakukan sampai siku, dan ‘sampai’ di sini berarti ‘dengan’ atau ‘bersama’, artinya siku termasuk yang harus dibasuh.

9- Bahwa mengusap seluruh kepala termasuk perkara yang disyariatkan, perselisihannya terjadi pada cukup tidaknya mengusap sebagian kepala.

10- Bahwa membasuh kedua kaki adalah sampai kedua mata kaki, mata kaki yaitu dua tulang menonjol di sebelah dalam dan luar kaki pada sambungan antara telapak kaki dengan betis.

11- Bahwa anggota yang berpasangan disyariatkan membasuh anggota kanan sebelum anggota kiri.

Hukum-hukum wudhu yang diperselisihkan

Basmalah sebelum wudhu


Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama tentang dianjurkannya basmalah sebelum berwudhu, berdasarkan anjuran Rasulullah saw untuk mengucapkannya sebelum melakukan perkara-perkara penting, dan salah satunya adalah wudhu.

Menurut Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, basmalah adalah sunnah tidak wajib.

Sementara menurut Ahmad dalam riwayat yang lain, basmalah adalah wajib.

Pendapat yang berkata sunnah berdalil kepada ayat wudhu, di sana tidak disinggung basmalah, padahal ayat tersebut menyebutkan fardhu-fardhu wudhu, jika basmalah wajib lalu mengapa tidak disinggung oleh ayat? Di samping itu pendapat ini juga berdalil kepada hadits-hadits tentang wudhu Nabi saw yang tidak menyinggung basmalah.

Pendapat yang berkata wajib berdalil kepada hadits,

لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ

“Tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah atasnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Titik persoalan masalah ini terletak pada shahih tidaknya hadits di atas, pendapat pertama tidak berdalil kepada hadits ini karena menurut mereka ia dhaif (lemah), sampai Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku tidak mengetahui hadits yang shahih dalam perkara basmalah dalam wudhu.” Atau kalau ia shahih maka maksudnya adalah tidak ada wudhu yang sempurna bagi… dan seterusnya, seperti yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’.

Sementara pendapat kedua berdalil kepada hadits ini karena mereka memandangnya shahih, di antara yang menguatkannya adalah Ibnu Hajar, Ibnu Qayyim, Ibnu Katsir, Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh al-Albani. (Takhrij lengkap terhadap hadits ini silakan pembaca merujuk buku Ensiklopedia Dzikir dan Doa, Imam an-Nawawi, penerbit Pustaka Shahifa Jakarta).

Menurut pendapat yang berkata wajib, basmalah wajib dalam keadaan ingat bukan lupa.

Berkumur dan beristinsyaq

Imam Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya berkata, sunnah.

Imam Ahmad dalam riwayatnya yang lain berkata, wajib.

Imam Ahmad dalam riwayatnya yang lain berkata, berkumur sunnah dan beristinsyaq wajib.

Pendapat pertama berdalil kepada ayat wudhu di mana yang wajib hanya membasuh wajah, dan wajah menurut bahasa adalah anggota yang dengannya seseorang berartimuwajahah (bertemu dan berhadap-hadapan).

Di samping itu Nabi saw bersabda kepada seorang Arab pedalaman, “Berwudhulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan lainnya dari Abu Hurairah), dan yang diperintahkan Allah adalah yang tercantum dalam ayat.

Pendapat yang berkata wajib berdalil kepada wudhu Nabi saw yang disebutkan dalam hadits-hadits, di mana beliau selalu berkumur dan beristinsyaq, perbuatan beliau ini merupakan penjelasan terhadap maksud ayat wudhu. Di samping itu hidung dan mulut termasuk wajah karena tempat keduanya adalah wajah dan keduanya termasuk anggota luar, jadi keduanya wajib dibasuh dan membasuh keduanya adalah dengan berkumur dan beristinsyaq.

Pendapat yang berkata berkumur sunnah dan beristinsyaq wajib berdalil kepada hadits-hadits yang secara khusus memerintahkan beristinsyaq, di antaranya adalah sabda Nabi saw,

مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ Barangsiapa siapa berwudhu maka hendaknya dia beristintsar.” (Muttafaq alaihi dari Abu Hurairah).

Dalam riwayat Muslim,

مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْشِقْ
Barangsiapa berwudhu maka hendaknya dia beristinsyaq.”

Terlepas dari sunnah atau wajibnya dua perkara ini, Nabi saw selalu melakukannya dan beliau adalah teladan bagi kita. Wallahu a'lam.

Berwudhu secara berurutan dan berkesinambungan

Wajibkah wudhu secara berurutan?

Tertib atau berurutan dalam berwudhu yakni memulai dengan membasuh wajah lalu kedua tangan dan seterusnya, menurut Imam asy-Syafi'i dan Ahmad adalah wajib, sementara menurut Imam Abu Hanifah dan Malik tidak wajib.

Pendapat pertama berdalil kepada ayat wudhu, firman Allah Ta’ala,Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.(Al-Maidah: 6).

Di dalam ayat di atas Allah Ta’ala menyebutkan anggota-anggota wudhu dimulai dengan wajah, kedua tangan dan seterusnya, hal tersebut harus diikuti sesuai dengan sabda Nabi saw bersabda, 
Aku memulai dengan apa yang Allah mulai. (HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah).

Artinya, karena Allah telah memulai dengan wajah kemudian kedua tangan dan seterusnya maka aku pun seperti itu sebagaimana yang tercantum di dalam ayat. Dan inilah tertib atau berurutan.

Di samping itu disisipkannya kepala yang diusap di antara dua anggota yang dibasuh yaitu kedua tangan dan kedua kaki tidak lain kecuali menetapkan kewajiban tertib dalam berwudhu, karena jika tidak maka ayat akan menyebutkan anggota-anggota yang dibasuh, setelah itu anggota yang diusap.

Ditambah hadits-hadits shahih tentang wudhu Nabi saw, semuanya menjelaskan bahwa beliau berwudhu seperti dalam ayat.
Inilah pendapat yang shahih tanpa keraguan.

Adapun pendapat kedua maka ia beralasan bahwa penggabungan antara anggota-anggota wudhu dalam ayat dengan ‘dan’ tidak mengharuskan tertib. Dan alasan ini bukan apa-apa di depan dalil-dali pendapat pertama.

Wajibkah berwudhu secara berkesinambungan?

Berkesinambungan berarti tidak terputus, Imam Ahmad berpendapat wajib, sementara Imam asy-Syafi'i berpendapat tidak wajib.

Imam Ahmad berdalil kepada hadits Umar bin Khattab bahwa seorang laki-laki melalaikan bagian dari kakinya seluas kuku, Nabi saw melihatnya, maka beliau bersabda,Kembalilah dan perbaikilah wudhumu.Maka laki-laki itu kembali kemudian shalat. (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Abu Dawud meriwayatkan dari sebagian sahabat Nabi saw bahwa Nabi saw melihat seorang laki-laki sedang shalat, sementara di punggung kakinya terdapat bagian yang tidak tersentuh air seluas koin dirham, maka Nabi saw memerintahkannya mengulang wudhu dan shalat. Imam Ahmad berkata tentang hadits ini sanadnya jayyid (bagus).

Imam asy-Syafi'i berkata, dalam ayat wudhu yang diperintahkan adalah membasuh atau mengusap, tidak ada keterangan harus berkesinambungan.

Imam Malik mengambil jalan tengah, boleh tidak berkesinambungan jika beralasan, jika tidak maka tidak.
Pendapat pertama rajih dari segi dalil. Wallahu a'lam.

Apakah Menyentuh Kelamin Membatalkan Wudhu ?

Menyentuh kelamin, menurut Imam yang tiga selain Abu Hanifah membatalkan wudhu, berdasarkan hadits Busrah binti Shafwan bahwa Nabi saw bersabda,

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّــأْ
“Barangsiapa menyentuh kelaminnya maka hendaknya dia berwudhu.” (HR. Ashab as-Sunan, at-Tirmidzi berkata, “Hasan shahih.” Dishahihkan oleh Ahmad).

Imam Abu Hanifah berpendapat tidak membatalkan, berdasarkan kepada hadits Thalq bin Ali bahwa Nabi saw ditanya tentang seorang laki-laki yang menyentuh kelaminnya dalam shalat, beliau menjawab, ”Bukankah ia adalah bagian dari tubuhmu.”
  (HR. Ashab as-Sunan).

Yang pertama rajih karena jumlah ulama hadits yang menshahihkannya lebih banyak, di samping ia membawa hukum keluar dari asalnya yaitu tidak membatalkan kepada membatalkan, maka di sini terdapat tambahan ilmu, oleh karenanya ia patut didahulukan. Wallahu a'lam.

Tidur yang membatalkan wudhu

Menurut Imam Abu Hanifah, tidur yang membatalkan adalah tidur dengan posisi tidur pada umumnya, tergeletak, miring dan tengkurap, sementara tidur yang tidak membatalkan adalah tidur dengan salah satu posisi dalam shalat seperti ruku’, sujud dan lainya.

Menurut Imam Malik dan Ahmad, tidur yang membatalkan adalah tidur yang berat atau lama, sementara yang tidak adalah yang ringan atau sebentar.

Menurut Imam asy-Syafi'i, tidur yang tidak membatalkan adalah tidur dengan posisi duduk mantap di tanah, selainnya membatalkan.

Pendapat pertama berdalil kepada hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi saw bersabda, “Wudhu wajib atas orang yang tidur dengan posisi tidur, karena dengan posisi itu persendiannya mengendur.” (HR. Abu Dawud dan dia berkata, “Hadits mungkar.” Hadits ini didhaifkan oleh Imam al-Bukhari dan Ahmad).

Pendapat kedua berdalil kepada hadits Anas bin Malik berkata, “Para sahabat Rasulullah saw menunggu Isya`, mereka tidur kemudian shalat tanpa berwudhu.” (HR. Muslim).

Dalam riwayat Abu Dawud, “Para sahabat Rasulullah saw pada masa beliau menunggu Isya` sehingga kepala mereka tertunduk kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu.”

Pendapat kedua ini berkata, tidur para sahabat tersebut adalah tidur yang sedikit, atau tidur ringan, tidak berat.

Pendapat ketiga berdalil kepada dalil pendapat kedua, kata pendapat ketiga, tidur mereka adalah tidur dengan duduk yang mantap.

Pendapat pertama lemah karena hadits yang mendukungnya dhaif, sementara pendapat kedua mengundang pertanyaan, dari mana orang yang tidur dengan duduk mengetahui kalau duduknya mantap sementara dia sendiri tidur? Sebab sudah dimaklumi bahwa orang yang tidur tidak mengetahui dirinya, jadi yang rajih adalah pendapat kedua karena pada dasarnya tidur bukan merupakan hadats, ia hanya keadaan di mana hadats mungkin terjadi sementara pelakunya tidak mengetahui karena dia tidur, dari sisi ini maka jika tidurnya ringan, di mana kalau ada sesuatu yang keluar dari dirinya dia mengetahui, maka wudhunya batal, dan jika sebaliknya, tidurnya berat atau tidur dalam arti sebenarnya maka wudhunya batal. Wallahu a'lam.

MANDI

Segala puji bagi Allah swt yang telah mensyariatkan mandi dalam kondisi di mana seorang muslim sangat memerlukannya, tanpa mandi seorang muslim akan selalu marasa malas dan lemas, dengan mandi kesegaran dan semangat pulih kembali.



Kapan seorang muslim harus mandi?

1
- Setelah melakukan hubungan suami istri, walaupun tidak mengeluarkan.

Firman Allah,

.وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُ‌وا.

Dan jika kamu junub maka mandilah.” (Al-Maidah: 6).

Imam asy-Syafi'i berkata, “Dalam bahasa Arab seseorang dianggap junub jika dia melakukan hubungan suami istri walaupun tidak mengeluarkan.”

Nabi saw bersabda,

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الغُسْلُ. متفق عليه، وَزَادَ مُسْلِم وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ .

Jika suami duduk di antara empat cabangnya kemudian dia menggerakkannya maka telah wajib mandi.” (Muttafaq alaihi). Muslim menambahkan, Walaupun tidak mengeluarkan.

2- Setelah mengeluarkan air mani, bisa melalui mimpi atau persentuhan kulit dengan istri atau karena sebab-sebab yang lain.

Dari Ummu Salamah bahwa Ummu Sulaim istri Abu Thalhah berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran, apakah wanita wajib mandi jika dia bermimpi?” Nabi saw menjawab, “Ya, jika dia mendapatkan air.” (Muttafaq alaihi).
Muslim menambahkan, Ummu Salamah berkata, “Mungkinkah itu?” Rasulullah saw menjawab, “Kalau tidak maka dari mana kemiripan?”


3- Setelah haid dan nifas

Firman Allah, “Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci, apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
(Al-Baqarah: 222).

Nabi saw bersabda kepada Fatimah binti Abu Hubaisy,

إِذَا أَقْبَلَتْ الحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِى وَصَلىِّ
Jika haidmu datang maka tinggalkanlah shalat, jika ia berlalu maka mandilah dan shalatlah.(HR. al-Bukhari dan Muslim).

Pantangan orang junub
1- Shalat.
2- Thawaf.
3- Menyentuh mushaf dan membawanya, ini bukan kesepakatan.
4- Membaca al-Qur`an, Ali bin Abu Thalib berkata,
     “Rasulullah saw membacakan al-Qur`an kepada kami selama beliau tidak junub.”

     (HR. Ashab as-Sunan dan Ahmad, dishahihkan oleh at-Tirmidzi)
. Ini bukan kesepakatan.
5- Berdiam di masjid.
    Firman Allah,
.
  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَ‌بُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَ‌ىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِ‌ي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا
   “
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi (An-Nisa`: 43).

Tata cara mandi

Aisyah berkata, “Apabila Rasulullah saw mandi junub, beliau memulai dengan membasuh kedua tangannya, kemudian beliau menuangkan dengan tangan kanannya ke tangan kirinya lalu beliau membasuh kelaminnya, kemudian beliau berwudhu, kemudian beliau mengambil air lalu memasukkan jari-jarinya ke dasar rambut, kemudian beliau menuangkan air ke kepala tiga kali, kemudian beliau mengguyurkan air ke seluruh tubuh, kemudian beliau membasuh kedua kakinya.” (Muttafaq alaihi).

Dari hadits ini kita mengetahui mandi Rasulullah saw.
1- Membasuh kedua tangan, karena keduanya merupakan alat.
2- Membersihkan kelamin dengan tangan kiri.
3- Berwudhu sempurna, atau berwudhu kecuali membasuh kedua kaki, yang terakhir ini bisa diakhirkan, berdasarkan hadits Maemunah tentang mandi Nabi saw yang menyebutkan wudhu kecuali membasuh kedua kaki, lalu dia berkata, “Kemudian beliau menyingkir dari tempatnya lalu membasuh kedua kakinya.”
4- Meratakan air ke kulit kepala.
5- Mengguyur kepala dengan air tiga kali.
6- Meratakan air ke seluruh tubuh.
Mandi ini berlaku untuk laki-laki dan wanita, kecuali wanita selesai haid atau nifas, disunnahkan baginya setelah mandi mengambil kapas yang dibasahi dengan wewangian untuk membersihkan noda-noda darah.
Rasulullah saw bersabda kepada Asma` binti Yazid, “…Kemudian mengambil kapas yang ditetesi minyak wangi dan membersihkan diri dengannya.” Dia berkata, “Bagaimana membersihkan diri dengannya?” Nabi saw bersabda, Subhanallah, bersihkanlah dirimu dengannya. Aisyah berkata, sepertinya dia tidak mengerti, maka aku berbisik kepadanya, “Bersihkanlah bekas-bekas darah” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

TATA CARA TAYAMUM

Termasuk perkara yang diperselisihkan di kalangan para fuqaha`, apakah tayamum dilakukan dengan memukulkan kedua telapak tangan satu atau dua kali, apakah mengusap kedua tangan cukup sampai pergelangan atau harus sampai siku? Setelah sebelumnya mereka bersepakat bahwa anggota tayamum hanya dua yaitu wajah dan tangan.

Imam Ahmad berpendapat bahwa tayamum hanya dengan memukul tanah satu kali, lalu mengusap wajah dan telapak tangan sampai pergelangan, tidak sampai siku. Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa berkata bahwa tayamum dengan (mengusap kedua tangan) sampai siku maka ia adalah sesuatu yang dia tambahkan dari dirinya.”

Imam yang tiga selain Ahmad berpendapat bahwa tayamum dengan memukul tanah dua kali, yang pertama untuk wajah dan yang kedua untuk kedua tangan sampai siku.

Dalil-dalil Imam Ahmad

Firman Allah,

.أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ.
Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.(Al-Maidah: 6).

Ayat ini tidak menjelaskan berapa kali orang yang bertayamum menepukkan tangannya ke tanah atau debu, zhahirnya cukup dengan satu kali. Di samping itu ayat ini berkata, “Dan tanganmu.” Kata “tangan” secara mutlak hanya berlaku untuk telapak, sampai pergelangan saja.

Sabda Nabi saw kepada Ammar bin Yasir,

إِنََمَا كَانَ يَكـْفِيْكَ أَنْ تَضْرِبَ بِيَدَيْكَ الأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً ثُمَّ تَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَكَ وَكَفَّيْكَ .
“Semestinya cukup bagimu memukul tanah dengan kedua tanganmu satu kali kemudian kamu mengusap dengan keduanya wajah dan kedua telapak tanganmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Hadits ini secara jelas bahwa tayamum yang diajarkan oleh Nabi saw kepada Ammar adalah dengan memukul tanah satu kali dan tangan yang diusap adalah kedua telapak tangan, sampai pergelangan bukan sampai siku.

Dalil-dalil Imam yang tiga

Firman Allah “Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (Al-Maidah: 6).

Pengambilan dalil darinya, Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ berkata, asy-Syafi'i berkata, “Allah Ta’ala mewajibkan menyucikan empat anggota dalam wudhu di awal ayat, lalu Allah menggugurkan darinya dua anggota dalam ayat di akhir ayat, maka yang tersisa adalah dua anggota dalam tayamum sebagaimana ia dalam wudhu, karena jika keduanya berbeda niscaya Allah akan menjelaskannya, dan kaum muslimin telah bersepakat bahwa wajah diusap seluruhnya dalam tayamum, begitu pula kedua tangan.”

Imam an-Nawawi berkata, al-Baihaqi berkata dalam kitabnya Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsar, asy-Syafi'i berkata, “Yang menghalangi kami mengambil riwayat Ammar tentang wajah dan dua telapak tangan adalah shahihnya hadits dari Rasulullah saw bahwa beliau mengusap wajah dan kedua sikunya, bahwa hal ini lebih mirip kepada al-Qur`an dan kias, dan bahwa pengganti adalah seperti apa yang digantikannya.”

Yang dimaksud hadits shahih yang disinggung dalam ucapan asy-Syafi'i disebutkan oleh al-Baihaqi dari hadits Jabir, al-Baihaqi menyatakannya hasan dengan syahid-syahidnnya, dari Nabi saw, “Tayamum satu kali pukulan untuk wajah dan satu kali pukulan untuk kedua tangan sampai siku.”

Pendapat ini juga berdalil kepada sabda Nabi saw,

التَيَمُّمُ ضَرْبَتَان ، ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ ، وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلىَ المِرْفَقَيْنِ .
“Tayamum dua kali pukulan, satu untuk wajah dan satu untuk kedua tangan sampai kedua siku.” (HR. ad-Daruquthni dari Ibnu Umar).

Tarjih

Pendapat Imam Ahmad adalah pendapat yang rajih dalam perkara ini, karena

Pertama: Lebih dekat kepada pemahaman ayat, karena kata Yad dan jamaknya adalah Aidy yang berarti tangan hanya mencakup telapak tangan saja tidak sampai siku.

Kedua: Tangan dalam tayamum tidak bisa dikiaskan dengan tangan dalam wudhu karena perbedaan kewajiban di antara keduanya, dalam wudhu ia dibasuh sementara dalam tayamum ia diusap.

Ketiga: Hadits Ammar adalah hadits Muttafaq alaihi, tingkat keshahihannya tertinggi, ia patut dikedepankan dalam perkara tarjih, ini dengan asumsi bahwa hadits dua kali pukulan sampai siku shahih, tetap ia harus minggir di depan hadits Ammar.

Keempat: Hadits dua kali pukulan sampai siku tidak luput dari sisi dha’f (lemah), Ibnu Abdul Bar berkata, “Atsar-atsar yang marfu’ adalah satu kali pukulan dan apa yang diriwayatkan bahwa ia dua kali pukulan maka semuanya mudhtharib (goncang).” Ibnul Qayyim berkata, “Tidak ada yang shahih dalam dua kali pukulan.” Al-Albani berkata, “Dalam dua pukulan terdapat hadits-hadits yang sangat lemah dan berillat.”

Faidah: Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ berkata, “Imam Abu Tsaur –salah satu orang dekat Imam asy-Syafi'i- menukil qaul qadim (pendapat lama) dari asy-Syafi'i sesuai dengan pendapat Imam Ahmad, walaupun menurut kawan-kawan kami ia marjuh (lemah), akan tetapi ia kuat dari segi dalil dan lebih dekat kepada zhahir sunnah yang shahih.”

Hafizh Ibnu Hajar yang bermadzhab Syafi’i berkata dalam Bulughul Maram,Para imam hadits menshahihkan hadits Ibnu Umar sebagai hadits mauquf.” (Izzudin Karimi).

MENGUSAP KHUFFAIN

Mengusap khuffain berkaitan dengan ibadah wudhu, karena ia terkait dengan salah satu anggotanya yaitu kaki. Mengusap berarti membasahi telapak tangan dengan air lalu menjalankannya pada anggota yang diusap. Khuffain adalah sesuatu yang dipakai di kaki seperti sepatu, kaos kaki dan yang sepertinya yang biasa dipakai di kaki. Mengusap khuffain disyariatkan sebagai bentuk rukhshah atau keringanan bagi kaum muslimin dari kesulitan melepas dan memakai khuffain pada setiap kali wudhu.

Dibolehkannya mengusap khuffain merupakan kesepakatan di antara ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan berpijak kepada dalil-dalil yang shahih, di antaranya adalah hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali berkata, “Aku melihat Rasulullah saw kencing kemudian berwudhu dan mengusap khuffain.” Ibrahim berkata, “Mereka (para ulama) menyukai ini karena Islamnya Jarir setelah turunnya al-Maidah.” (Muttafaq alaihi). Maksudnya, karena Islamnya Jarir setelah al-Maidah maka tidak mungkin ayat wudhu dalam surat al-Maidah menasakh hukum dibolehkannya mengusap khuffain, sebab dalam ayat tersebut Allah mewajibkan membasuh kedua kaki.

Imam Ahmad dalam al-Musnad 4/363 berkata, “Ada tiga puluh tujuh sahabat yang meriwayatkan mengusap khuffain dari Nabi saw.” Sebagian ulama memasukkan hadits-hadits tentang mengusap khuffain ke dalam deretan hadits-hadits mutawatir.

Ketentuan-ketentuan yang perlu diperhatikan dalam mengusap khuffain
1- Cara mengusap, membasahi telapak tangan dengan air lalu mengusap bagian atas khuffain dari ujung jari kaki ke arah betis.

2- Mengusap dilakukan setelah bersuci dengan sempurna, yakni seseorang yang ingin mengusap khuffain harus bersih dulu dari hadats kecil dan besar, lalu dia memakai khuffain, setelah itu jika dia berhadats maka dia bisa mengusap khuffain.

Al-Mughirah bin Syu’bah berkata, “Aku bersama Rasulullah saw dalam suatu perjalanan, beliau berwudhu, maka aku menunduk untuk melepas khufnya, beliau bersabda, Biarkan keduanya, karena aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci.” Lalu beliau mengusap keduanya.(Muttafaq alaihi).

3- Mengusap hanya dilakukan dari hadats kecil, jika terjadi hadats besar maka yang bersangkutan melepas khuffain dan mandi, tidak boleh mengusap.

Shafwan bin Assal al-Muradi berkata, “Rasulullah saw memerintahkan kami agar tidak melepas khuffain jika kami sedang dalam perjalanan selama tiga hari tiga malam, kecuali dari junub, akan tetapi dari buang hajat, kencing dan tidur.” (HR. at-Tirmidzi dan an-Nasa`i).

4- Dalam kondisi mukim boleh mengusap satu hari satu malam dan dalam kondisi musafir boleh mengusap tiga hari tiga malam, dalilnya adalah hadits Shafwan di atas. Dari Ali berkata, “Rasulullah saw meletakkan satu hari satu malam bagi mukim dan tiga hari tiga malam bagi musafir.” (HR. Muslim).

Jika mukim satu hari dan musafir tiga hari, maka kapan batas waktu ini dimulai? Terdapat dua pendapat, ada yang berkata, dimulai dari waktu hadats setelah memakai dan ada yang berkata, dimulai dari waktu mengusap setelah hadats. Dan tidak ada yang berkata, dimulai dari waktu memakai.

Misalnya, seorang laki-laki berwudhu untuk shalat Shubuh hari Jum’at dan dia memakai khuffain, dia tetap suci sampai jam sembilan pagi, lalu dia hadats tetapi tidak langsung berwudhu, dia baru berwudhu pada jam dua belas siang, maka menurut pendapat pertama waktu mengusap dimulai dari jam sembilan karena ia adalah waktu hadats setelah memakai, kalau dia mukim maka dia bisa mengusap sampai jam sembilan hari Sabtu, kalau dia musafir maka dia mengusap sampai jam sembilan hari Senin. Kalau menurut pendapat kedua maka waktu dimulai dari mengusap setelah hadats, yakni jam dua belas siang, jika dia mukim maka dia mengusap sampai jam dua belas siang hari Sabtu.

Yang rajih adalah pendapat kedua, Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 1/487 memilihnya, karena pembatasan waktu satu hari bagi mukim dan tiga hari bagi musafir terkait dengan mengusap dan yang dimaksud dengan mengusap adalah perbuatannya, yakni kapan dia memulai mengusap. Wallahu a'lam.

5- Jika yang bersangkutan mengalami hadats besar maka dia harus melepas khuffain dan mandi besar, dan jika dia melepas khuffain atau masa berlakunya telah habis maka dia berwudhu karena thaharah yang berkait dengan kedua kaki batal dengan dilepasnya khuffain atau dengan habisnya masa berlaku.

Pertanyaan, apakah yang utama mengusap khuffain atau tidak mengusap ataukah keduanya sama?

Imam Ibnu Taimiyah berkata dalam al-Ikhtiyarat hal. 13, “Yang afdhal bagi setiap orang adalah menurut kondisi kakinya, orang yang memakai khuffain mengusap khuffain dan tidak melapasnya untuk meneladani Nabi saw dan para sahabat, sementara orang yang kakinya terbuka membasuh keduanya dan tidak perlu memaksakan diri untuk memakai khuffain agar bisa mengusap, Nabi saw sendiri membasuh kedua kainya jika kedua kakinya terbuka dan mengusap jika memakai khuffain.” Hal senada dikatakan oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad 1/199. (Izzudin Karimi).

Mengusap Pembalut Luka

Dalam hidup seseorang terkadang mengalami musibah atau kecelakaan yang menyebabkan luka atau patah, sehingga ahli medis membungkus luka atau patah tersebut dengan pembalut khusus untuk menjaga dan membantu kesembuhannya. Luka dan patah tersebut bisa terjadi pada anggota-anggota tubuh yang berkaitan dengan thaharah, sementara seorang muslim tetap harus shalat yang menuntutu thaharah, jika pembalut luka tersebut harus dilepas maka hal itu akan sangat menyulitkan, jika dibasuh maka akan membahayakan, lalu apa yang dilakukan?

Inilah yang dimaksud dengan mengusap pembalut luka, jadi yang bersangkutan tetap bersuci; berwudhu atau mandi sesuai dengan kondisinya, anggota tubuh yang terbungkus tidak perlu dibasuh, cukup diusap, caranya dengan membasahi telapak tangan tidak sampai menetes dan mengusapkannya secara merata pada pembalut tersebut.

Syariat mengusap pembalut ini sejalan dengan prinsip kemudahan yang diletakkan oleh Islam, di mana jika ada kesulitan niscaya ada kemudahan, jika kondisi menyempit maka hukumnya meluas.

Firman Allah,

.
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَ‌جٍ.
Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.

(Al-Hajj: 78)
.

Firman Allah,

.
يُرِ‌يدُ اللَّـهُ بِكُمُ الْيُسْرَ‌ وَلَا يُرِ‌يدُ بِكُمُ الْعُسْرَ‌ .
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.”

(Al-Baqarah: 185).

Dan masih banyak lagi ayat-ayat senada.
Mengenai mengusap pembalut luka ini terdapat hadits, Ali berkata, “Salah satu pergelangan tanganku patah, maka Rasulullah saw memerintahkanku agar mengusap pembalut.”
(HR. Ibnu Majah dan Al-Baihaqi)
.

Hadits ini dhaif, Imam an-Nawawi di dalam al-Majmu’ 2/324 berkata, “Mereka bersepakat ia dhaif, karena ia dari riwayat Amru bin Khalid al-Wasithi, para huffazh menyepakati bahwa ia dhaif. Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan lainnya berkata, ‘ Pendusta besar.”

Ada pula hadits Jabir -hadits ini juga tidak kuat- yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Baihaqi tentang seorang laki-laki yang mengalami luka di kepalanya, dia mandi lalu mati, Nabi saw bersabda, Semestinya cukup baginya bertayamum dan membalut kepalanya dengan kain kemudian dia memngusapnya dan membasuh tubuhnya yang lain.” Ibnu Hajar di dalam Bulugh al-Maram berkata, “Terdapat padanya kelemahan.” Hal yang sama dikatakan oleh an-Nawawi di dalam al-Majmu’, penulis Taudhih al-Ahkam berkata, “Diriwayatkan secara sendiri oleh Zubair bin Khuraiq, ad-Daraquthni berkata, ‘Tidak kuat.”

Kedua hadits ini bisa saling menguatkan dengan asumsi tidak bisa, maka dalil-dalil umum dari ayat-ayat al-Qur`an tentang prinsip kemudahan di dalam syariat menetapkan diizinkannya mengusap pembalut luka atau patah.

Ketentuan-ketentuan yang patut diperhatikan
1- Mengusap pembalut dilakukan dalam keadaan hadats besar dan kecil, yakni dalam wudhu dan mandi.
2- Mengusap pembalut tidak berbatas waktu, waktunya sampai sembuh atau pembalut tersebut dilepas.
3- Pembalut tidak harus dipasang pada saat yang bersangkutan suci, dalam keadaan hadats pun ia tetap bisa dipasang.
4- Pembalut dipasang secukupnya tidak melebihi hajat kebutuhan, jika misalnya cukup dua senti maka cukup dua senti tidak lebih, karena pembalut ini termasuk dharurat dan dharurat diambil sekedarnya.

Sunnah-Sunnah Fitrah

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda,
Fitrah ada lima atau lima perkara termasuk sunnah-sunnah fitrah; khitan, mencukur bulu kelamin, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur kumis.”
(Mukhtashar shahih Muslim, tahqiq Syaikh al-Albani, nomor 181).

Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sepuluh perkara termasuk fitrah; mencukur kumis, membiarkan jenggot, siwak, membersihkan hidung dengan air, memotong kuku, membasuh sendi-sendi jari tangan, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kelamin dan intiqashul ma`.”
Zakariya berkata, Mush’ab berkata, “Aku lupa yang kesepuluh, mungkin ia adalah berkumur.” Qutaibah menambahkan, Waki’ berkata, “Intiqashul ma` yakni istinja`.

Pertama, memotong kuku
Memotong kuku disepakati oleh para ulama bahwa ia sunnah, tidak berbeda antara laki-laki dengan wanita, kuku tangan dan kaki, dianjurkan memulai dengan tangan kanan kemudian tangan kiri, kemudian kaki kanan kemudian kaki kiri. Untuk kaki, memulai dengan jari kelingking kaki kanan, lalu bergeser secara berurutan sampai jari kelingking kaki kiri.

Mengenai waktu, maka yang diperhatikan adalah panjangnya kuku, jika ia telah panjang maka ia dipotong, hal ini juga berlaku pada mencukur kumis, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kelamin.

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik berkata, “Kami diberi waktu dalam mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kelamin, hendaknya kami tidak membiarkannya lebih dari empat puluh malam

Imam an-Nawawi di dalam al-Majmu’ berkata, “Ucapannya ‘Kami diberi waktu’ adalah seperti ucapan seorang sahabat, ‘Kami diperintahkan begini dan dilarang begini’, hukumnya adalah marfu’, seperti ucapannya, ‘Rasulullah saw bersabda kepada kami’, ini adalah pendapat yang shahih yang dipegang oleh jumhur ahli hadits, fikih dan ushul.”

Kemudian Imam an-Nawawi menjelaskan makna hadits Anas di atas, beliau berkata, “Makna hadits, bahwa mereka tidak menunda pelaksanaan perkara-perkara ini dari waktunya, kalaupun mereka menunda, maka mereka tidak menundanya lebih dari empat puluh hari, hadits ini bukan berarti memberi izin membiarkannya selama empat puluh hari secara mutlak, Imam asy-Syafi'i dan kawan-kawan telah menyatakan bahwa memotong kuku dan mencukur bulu-bulu ini dianjurkan setiap Jum’at. Wallahu a'lam.”

Membiarkan kuku panjang tidak dipotong berarti membiarkan bibit-bibit penyakit bersemayam di bawahnya, karena seperti kita ketahui bahwa tangan dan kaki di mana kuku berada padanya adalah anggota yang paling rentan dengan kotoran karena ia adalah anggota yang paling sering digunakan dalam aktifitas sehari-hari. Perkara ini diakui oleh ilmu kesehatan yang mengajak kepada kebersihan yang merupakan pangkal dari kesehatan, ini sekaligus menunjukkan bahwa Islam telah menyerukan kepada umatnya dasar-dasar kebersihan jauh sebelum ilmu kesehatan modern.

Di samping itu membiarkan kuku panjang tidak terpotong berarti menyerupai binatang buas yang berkuku tajam, manusia sebagai makhluk mulia tentu tidak layak jika dia menyerupai hewan, walaupun hanya dalam satu sisi, sebab itu menodai kemanusiaannya dan menurunkan derajatnya ke level yang lebih rendah, bahkan bisa penulis katakan lebih rendah, karena saat ini kita menyaksikan bahwa sebagian binatang buas seperti anjing dan kucing dipotong kukunya, jika manusia tidak memotong bukankah ini berarti dia lebih rendah dripada anjing dan kucing?

Kedua, mencukur kumis
Perkara ini juga termasuk sunnah dengan kesepakatan, dalilnya adalah dua hadits di atas, ditambah dengan hadits Zaid bin Arqam yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa tidak mengambil dari kumisnya maka dia bukan dari kami.” At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”

Patokan mencukur kumis, madzhab asy-Syafi'i berkata, mencukurnya sehingga nampak tepi bibirnya dan tidak mencukurnya habis. Imam Ahmad berkata, mencukurnya tidak mengapa, memotongnya pendek juga tidak mengapa.

Masing-masing pendapat ini berpegang kepada dalil yang shahih, madzhab asy-Syafi'i misalnya, mereka berpegang kepada hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dia berkata,
Nabi saw mengambil atau memendekkan kumisnya, beliau bersabda, ‘Ibrahim khalil ar-Rahman melakukannya’.” at-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.” Sementara Imam Ahmad berdalil kepada hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda,
Cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot.

Imam Malik menyatakan bahwa mencukur kumis yang dilakukan oleh sebagian orang adalah makruh, Imam Malik berkata, yang melakukan itu layak didera, karena hadits Rasulullah saw tidak demikian maksudnya, akan tetapi hanya menampakkan tepi bibir dan mulut, Imam Malik juga berkata bahwa mencukur kumis sampai habis adalah bid’ah yang nampak pada manusia.

Penulis berkata, adapun bid’ah maka tidak, karena izin mencukur bersifat mutlak, berarti bisa mencukur habis, mungkin –wallahu a'lam- Imam Malik berkata demikian dalam rangka menutup pintu kepada perkara yang lebih besar yaitu mencukur jenggot, yakni mencukur kumis bisa merambat kepada mencukur jenggot yang dilarang. Jadi, mencukur kumis ini bisa dilakukan sesuai dengan madzhab asy-Syafi'i, bisa pula dilakukan sesuai dengan pendapat Ahmad.

Dianjurkan dalam mencukur kumis memulai dengan sisi kanan, karena Nabi saw menyukai memulai dengan yang kanan dalam segala perkara yang baik, waktunya sama dengan memotong kuku, bisa dilakukan sendiri atau dengan bantuan orang lain.

Ini, dan mencukur kumis berarti kebersihan mulut yang merupakan jalan makan, bayangkan jika kumis dibiarkan tidak ditata atau tidak diambil sebagian, maka minuman atau makanan yang masuk akan tersentuh olehnya dan belum tentu ia bersih, di samping itu mencukur atau mengambil sebagian dari kumis mengisyaratkan kesopanan kelembutan dan kerendahan diri tanpa mengurangi kejantanan, hal ini sebagaimana kita lihat pada sebagian orang, bahwa mereka biasanya memelihara kumis tebal untuk gagah-gagahan, petentang-petenteng dan kesombongan yang dilarang di dalam Islam. Wallahu a'lam.

Ketiga, mencuci sendi-sendi jari
Perkara ini termasuk perkara yang dianjurkan secara tersendiri, tidak berkait dengan wudhu, hikmahnya sangat jelas, yaitu kebersihan tangan secara umum yang merupakan anggota yang banyak beresiko terkena kotoran, ditekankannya sendi di sini karena biasanya kotoran lebih melekat padanya. Wallahu a'lam.

Keempat, mencabut bulu ketiak
Mencabut bulu ini disunnahkan dengan kesepakatan, waktunya sama dengan memotong kuku, sendainya seseorang mencukurnya maka tidak masalah, atau merontokkannya dengan perontok bulu juga tidak masalah, walaupun yang lebih utama adalah mencabutnya, karena mencabut tercantum di dalam hadits.

Hikmah dari mencabut bulu adalah kebersihan dan menjaga bau badan, sebab ketiak adalah tempat berkumpulnya keringat, keberadaan rambut di sana membantu daerah ini menjadi semakin lembab dan memicu bau badan yang khas, jika yang berangkutan hadir di shalat jamaah niscaya dia bisa menganggu tetangganya. Dianjurkan mencabut dengan memulai dari ketiak kanan.

Kelima, mencukur bulu kelamin
Perkara ini juga termasuk perkara yang disunnahkan bahkan diwajibkan jika suami meminta istri, karena hal tersebut dalam bingkai ketaatan kepada suami dan demi membahagiakan suami.

Sunnahnya adalah mencukurnya sebagaimana hal tersebut dinyatakan secara jelas di dalam hadits, seandainya dia mencabutinya atau memendekkannya atau menghilangkannya dengan perontok bulu maka tidak masalah, tetapi yang lebih utama adalah mencukurnya.

Mencukur bulu ini dilakukan sendiri, haram menyuruh orang lain, karena larangan melihat kepada aurat orang lain walaupun sesama jenis, kecuali istri kepada suami dan sebaliknya, di mana masing-masing dari keduanya dibolehkan melihat dan menyentuh aurat pasangannya yang sah.
Mengenai waktunya, sama dengan memotong kuku, jika dia menundanya maka tidak lebih dari empat puluh hari.

Imam an-Nawawi di dalam al-Majmu’ berkata, “Dianjurkan mengubur kuku dan bulu-bulu yang diambil ini di dalam tanah, hal itu dinukil dari Ibnu Umar.”

Keenam, membiarkan jenggot
I’fa` al-lihyah termasuk sunnah-sunnah fitrah, i’fa` berarti membiarkannya tanpa dicukur, hal ini merupakan perintah Rasulullah saw seperti di dalam hadits Ibnu Umar dalam makalah sebelumnya.

Imam an-Nawawi di dalam al-Majmu’ berkata, “Yang shahih makruh mengambil sebagian dari lihyah(jenggot) secara mutlak, tetapi membiarkannya seperti ia berdasarkan hadits shahih, ‘Biarkanlah jenggot’.”

Syubhat
Sebagian orang yang tidak menyukai sunnah fitrah ini berkata, bukankah Nabi saw memerintahkan membiarkan jenggot untuk menyelisihi orang-orang musyrikin atau kafirin, sekarang persoalannya sebagian dari orang-orang musyrikin dan kafirin itu justru malah berjenggot, kalau kita juga berjenggot maka kita malah sama dengan mereka, kita tidak menyelisihi mereka, oleh karena itu untuk menyelisihi mereka maka kita harus memangkasnya.

Jawaban dari syubhat ini
Nabi saw memerintahkan kepada kebaikan, tidak ada satu kebaikan yang tertinggal sehingga tidak beliau perintahkan, kebaikan perintah beliau ini diketahui oleh banyak kalangan tidak terkecuali orang-orang musyrikin, mereka mengetahui kebaikan yang ada di balik memelihara jenggot, maka mereka melakukannya, sebagaimana mereka tahu kebaikan yang tersimpan di balik perintah bersuci, bersiwak, berkhitan dan sebagainya, maka mereka melakukan semua ini, walaupun tidak dalam rangka ittiba’(mengikuti) Rasulullah saw, kalau logika keblinger di atas kita terapkan, di mana kita melihat orang-orang musyrikin membersihkan diri, menggosok gigi, berkhitan dan sebagainya, maka dengan alasan menyelisihi mereka kita tidak perlu melakukan semua itu, tidak ada thaharah, tidak ada bersiwak, tidak ada berkhitan dan sebagainya. Bagaiamana Anda setuju? Katanya, demi menyelisihi orang-orang musyrikin dan kafirin.

Demi menyelisihi orang-orang musyrik, kita tidak perlu berdisiplin waktu, karena mereka berdisplin waktu, kita tidak perlu hidup bekeluarga dengan baik karena orang-orang musyrikin mulai menyadari kebaikan yang terkandung di dalam kehidupan berkeluarga sehingga mereka sekarang mengajak kepada hidup berkeluarga, kita tidak perlu menjauhi perkara-perkara yang berbahaya karena orang-orang musyrikin melakukan itu, dan seterusnya.

Lihatlah wahai saudara, apa akibat dari sikap menggeneralisasikan perkara yang tidak pada tempatnya, sikap gebyah-uyah yang salah kaprah, akibatnya kita harus membuang dan meninggalkan semua kebaikan yang di ajarkan oleh syariat hanya karena ia diambil dan dilakukan oleh orang-orang musyrikin, lalu dengan alasan menyelisihi kita harus meninggalkannya. Benar-benar logika jumpalitan yang keblinger.

Islam mengajak kepada semua kebaikan dan kebaikan yang diserukan oleh Islam diakui sebagai kebaikan oleh orang-orang yang berpikir jernih dan obyektif, walaupun terkadang mereka menolak masuk Islam akan tetapi mereka tetap mengakui kebaikan tuntunan-tuntunan Islam, lalu mereka melakukan sebagian dari tuntunan-tuntunan tersebut, apakah dengan mereka melakukan tuntunan-tuntunan Islam yang baik menjadikan kita justru meninggalkannya dengan alasan menyelisihi orang-orang musyrik? Lucu, agama sendiri ditendang, lalu ia di tangkap oleh mereka dan mereka yang mengambil manfaatnya.