TEMPOR CYBER™  mengucapkan . . . MARHABAN YAA RAMADHON 1437 H

WELCOME TO TEMPOR CYBER™...

Tempor Cyber™ adalah situs informasi yang menyajikan berita-berita terkini,baik berita daerah,berita dalam negeri maupun berita luar negeri juga menyampaikan segudang berita gosip, dunia intertainment, tips trik komputer, dan lain sebagainya yang tentunya semata-mata untuk memanjakan anda sebagai pembaca.

BLACKBERRY MERAIH SUKSES DI INDONESIA

Kemampuan Playbook cukup hebat, wajar karena ia dipersiapkan untuk menjadi lawan bagi iPad 2. Menggunakan layar sentuh kapasitif, LCD 7 inch WSVGA yang memiliki resolusi 1024 x 600. Perangkat ini didukung penuh multi touch dan gesture.

Galaxy SII Ditarget Teruskan Kejayaan Galaxy S

Galaxy S II menggunakan sistem operasi Android 2.3 alias Gingerbread. Disertai prosesor 1,2 GHz dual core dan RAM 1 GB yang membuat performanya makin mulus. Selain itu masih ditambahi interface andalan Samsung yaitu TouchWiz versi 4.0, diharapkan memudahkan pengguna dalam mengoptimalkan Android 2.3 Gingerbread.

KAPOLDA JATENG KEDEPANKAN PENCEGAHAN,REDAM AKSI ANARKIS MASSA

Peragaan Sispamkota ini melibatkan 933 personil, baik dari unsur TNI/Polri maupun Satpol PP. Selain penanganan unjuk rasa, dalam kesempatan itu juga diperagakan simulasi penanganan teror bom.

LASKAR PELANGI MEMBEDAH DUNIA PENDIDIKAN

Menceritakan tentang persahabatan dan setia kawanan yang erat dan juga mencakup pentingnya pendidikan yang begitu mendalam. Serta kisahnya yang mengharukan.

IPAD-3 BAKAL PAKAI LAYAR RETINA DISPLAY??

iPhone generasi pertama hingga Apple 3GS memakai resolusi HVGA 320 x 480 pixel yang kemudian ditingkatkan 2 kalinya pada iPhone 4 menjadi 960 x 640 pixel. Sementara, pada iPad 3, tidak heran resolusinya yang saat ini sebesar 1024 x 768 juga telah dinaikkan menjadi dua kali yaitu 2048 x 1536 pixel

ARTI PERSAHABATAN SEBENARNYA

Satukan dua tangan yang lain menjadi satu genggaman yang kukuh bersama tuk meringankan beban antara satu dengan yang lain

ALON - ALON SIMPANG LIMA PATI-JATENG

Alon-alon Simpang Lima Pati nampak tenang pada siang hari,sungguh jauh berbeda kenyataannya kala malam hari yang penuh sesak dikunjungi para pedagang dan warga Pati tentunya.

PENYAMBUTAN PENGHARGAAN ADIPURA

Kabupaten Pati memperoleh perhargaan ADIPURA ini untuk kesekian kalinya.Sebagai warga Pati,kami sangat bangga terhadap penghargaan ini.Maju terus Kota Kelahiranku.

PRESIDEN SOESILO BAMBANG YUDHOYONO PIMPIN UPACARA DI ISTANA NEGARA

Peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Ri berlangsung khidmat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai inspektur upacara dalam upacara yang berlangsung di halaman Istana Merdeka.

Minggu, 12 Juli 2015

RAHASIA BESAR SEORANG AYAH YANG TIDAK DIKETAHUI SEORANGA ANAK BAHKAN SETIAP ANAK DIDUNIA

Mungkin ibu lebih kerap menelpon untuk menanyakan keadaanku setiap hari, tapi apakah aku tahu, bahwa sebenarnya ayahlah yang mengingatkan ibu untuk meneleponku?

Semasa kecil, ibukulah yang lebih sering menggendongku. Tapi apakah aku tau bahwa ketika ayah pulang bekerja dengan wajah yang letih ayahlah yang selalu menanyakan apa yang aku lakukan seharian, walau beliau tak bertanya langsung kepadaku karena saking letihnya mencari nafkah dan melihatku terlelap dalam tidur nyenyakku.

Saat aku sakit demam, ayah membentakku “Sudah diberitahu, Jangan minum es!” Lantas aku merengut menjauhi ayahku dan menangis didepan ibu.

Tapi apakah aku tahu bahwa ayahlah yang risau dengan keadaanku, sampai beliau hanya bisa menggigit bibir menahan kesakitanku.

Ketika aku remaja, aku meminta izin untuk keluar malam. Ayah dengan tegas berkata “Tidak boleh! ”Sadarkah aku, bahwa ayahku hanya ingin menjaga aku, beliau lebih tahu dunia luar, dibandingkan aku bahkan ibuku?

Karena bagi ayah, aku adalah sesuatu yang sangat berharga. Saat aku sudah dipercayai olehnya, ayah pun melonggarkan peraturannya.

Maka kadang aku melanggar kepercayaannya. Ayahlah yang setia menunggu aku diruang tamu dengan rasa sangat risau, bahkan sampai menyuruh ibu untuk mengontak beberapa temannya untuk menanyakan keadaanku, ”dimana, dan sedang apa aku diluar sana.”

Setelah aku dewasa, walau ibu yang mengantar aku ke sekolah untuk belajar, tapi tahukah aku, bahwa ayahlah yang berkata: Ibu, temanilah anakmu, aku pergi mencari nafkah dulu buat kita bersama.

Disaat aku merengek memerlukan ini – itu, untuk keperluan kuliahku, ayah hanya mengerutkan dahi, tanpa menolak, beliau memenuhinya, dan cuma berpikir, kemana aku harus mencari uang tambahan, padahal gajiku pas-pasan dan sudah tidak ada lagi tempat untuk meminjam.

Saat aku berjaya. Ayah adalah orang pertama yang berdiri dan bertepuk tangan untukku. Ayahlah yang mengabari sanak saudara, ”anakku sekarang sukses.” Walau kadang aku cuma bisa membelikan baju koko itu pun cuma setahun sekali. Ayah akan tersenyum dengan bangga.

Dalam sujudnya ayah juga tidak kalah dengan doanya ibu, cuma bedanya ayah simpan doa itu dalam hatinya. Sampai ketika nanti aku menemukan jodohku, ayahku akan sangat berhati – hati mengizinkannya.



Dan akhirnya, saat ayah melihatku duduk diatas pelaminan bersama pasanganku, ayahpun tersenyum bahagia. Lantas pernahkah aku memergoki, bahwa ayah sempat pergi ke belakang dan menangis? Ayah menangis karena ayah sangat bahagia. Dan beliau pun berdoa, “Ya Alloh, tugasku telah selesai dengan baik. Bahagiakanlah putra putri kecilku yang manis bersama pasangannya.

”Pesan ibu ke anak untuk seorang Ayah”

Anakku..

Memang ayah tidak mengandungmu,
tapi darahnya mengalir di darahmu, namanya melekat dinamamu …
Memang ayah tak melahirkanmu,
Memang ayah tak menyusuimu,
tapi dari keringatnyalah setiap tetesan yang menjadi air susumu …

Nak..

Ayah memang tak menjagaimu setiap saat,
tapi tahukah kau dalam do’anya selalu ada namamu disebutnya …
Tangisan ayah mungkin tak pernah kau dengar karena dia ingin terlihat kuat agar kau tak ragu untuk berlindung di lengannya dan dadanya ketika kau merasa tak aman…

Pelukan ayahmu mungkin tak sehangat dan seerat bunda, karena kecintaanya dia takut tak sanggup melepaskanmu…
Dia ingin kau mandiri, agar ketika kami tiada kau sanggup menghadapi semua sendiri..

Bunda hanya ingin kau tahu nak..
bahwa…
Cinta ayah kepadamu sama besarnya dengan cinta bunda..
Anakku…
Jadi didirinya juga terdapat surga bagimu… Maka hormati dan sayangi ayahmu.

TERIMA KASIH AYAH

Minggu, 15 Juni 2014

KEUTAMAAN DAN FAEDAH BERSYUKUR

Sekali lagi ingatlah akan kenikmatan Allah dan bertaqwalah kepada-Nya:

يَأَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ ۚ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَآءِ وَالْأَرْضِ ۚ  لَآ إِلَهَ إِلَّا هُوَ ۖ فَأَنَّى تُؤْفَكُوْنَ
Wahai manusia, ingatlah nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada sesembahan (yang berhak untuk diibadahi dengan benar) melainkan Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?. (Qs.Fathir : 3).

            Allah Ta’ala berfirman:

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِيْ السَّمَاوَاتِ وَمَا فِيْ الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً ۗ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِيْ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيْرٍ
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) kamu apa yang di langit dan apa yang di bumi, serta menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan. (Qs.Luqman : 20).

Allah Ta’ala telah menumpahkan kenikmatan dan karunia kepada kita dan memerintahkan kita untuk mensyukurinya serta berjanji akan menambah kenikmatan-Nya kepada kita, sebagaimana Allah Ta’ala juga mengancam kepada siapapun yang mengkufuri nikmat dengan siksaan yang pedih. Maka perhatikanlah sikap-sikap kita terhadap nikmat Allah dan lihatlah orang-oarang yang telah mendahului kita, yang ada di sekeliling kita; yaitu mereka yang mengingkari dan mengkufuri nikmat Allah, berbuat kerusakan di muka bumi, mengganti kenikmatan dengan laknat dan kemurkaan, kecukupan dan keluasan rizki dengan kemiskinan dan kesempitan hidup, rasa aman tentram dengan rasa takut dan kekhawatiran …. Waspadalah dari apa yang telah menimpa kepada mereka, jangan sampai kemurkaan Allah Ta’ala menimpa kita.

Allah Ta’ala berfirman:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ بَدَّلُوْا نِعْمَتَ اللهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوْا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ ۝ جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَهَا ۖ وَبِئْسَ الْقَرَارُ ۝ وَجَعَلُوْا للهِ أَنْدَادًا لِيُضِلُّوْا عَنْ سَبِيْلِهِ ۗ قُلْ تَمَتَّعُوْا فَإِنَّ مَصِيْرَكُمْ إِلَى النَّارِ
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?, (Yaitu) neraka Jahannam; mereka masuk ke dalamnya dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. Orang-orang kafir itu telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: “Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka”.(Qs.Ibrahim : 28-30)

Kebahagiaan dan kemuliaan bagi orang-orang yang senantiasa mensyukuri nikmat-Nya dan akan mendapat keutamaan-keutamaan yang besar :
  1. Disifati dengan salah satu sifat Allah Ta’ala yang diridhai-Nya dan dicintai-Nya, serta akan Dia akan memberikan pahala kepada hamba-Nya itu disebabkan hal tersebut.
  2. Akan selamat dari azab Allah.
مَا يَفْعَلُ اللهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَءَامَنْتُمْ ۚ وَكَانَ اللهُ شَاكِرًا عَلِيْمًا
Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah (Dzat) Maha mensyukuri lagi Maha mengetahui. (Qs.An Nisaa : 147).

      3.  Akan mendapat pahala yang besar.

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوْتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللهِ كِتَابًا مُّؤَجَّلًا ۗ وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا ۚ وَسَنَجْزِيْ الشَّاكِرِيْنَ
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, maka Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Qs.Ali Imran : 145).
  1. Berarti menjawab seruan Allah Ta’ala dengan melakukan perintah-Nya yang Allah Ta’ala telah perintahkan hamba-Nya untuk bersyukur.
  2. Bersyukur merupakan sebab terjaganya nikmat dan bertambah, agungnya keberkahan-Nya serta keindahan manfaatnya.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ ۝
Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu menyerukan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.(Qs.Ibrahim : 7).
  1. Bersyukur merupakan tanda orang-orang yang berakal.
إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ ۝
…Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.(Qs.Ibrahim : 5).
  1. Orang yang bersyukur hakikatnya untuk dirinya sendiri dan akan mengangkat derajatnya
هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْ لَيَبْلُوَنِّي ءَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ ۝
Ini merupakan kurnia Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Maha kaya lagi Maha mulia. (Qs.An Naml : 40).
  1. Berterima kasih kepada manusia berarti bersyukur kepada Allah Ta’ala.
  2. Bersyukur berarti mengikuti jejak para Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, menapaki jalan orang-orang yang selalu bersyukur dari kalangan para Nabi dan orang-orang shalih.
  3. Bersyukur adalah perkara yang diridhai Allah dan ridha terhadap para pelakunya.
إِنْ تَكْفُرُوْا فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ ۖ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ ۖ وَإِنْ تَشْكُرُوْا يَرْضَهُ لَكُمْ ۝
Jika kamu kufur maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (keimanan) mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu rasa syukurmu itu.(Qs.Az Zumar : 7).
  1. Bersyukur berarti melawan syaitan dan menghinakannya serta membongkar maker dan tipu dayanya. Karena syaitan selalu berusaha untuk memalingkan manusia dari bersyukur.
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِيْ لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَ ۝ ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَآئِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِيْنَ ۝
Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Qs.Al A’raaf : 16-17).
  1. Bersyukur adalah setengah dari iman. Termasuk kesempurnaan iman seseorang adalah bersyukur kepada Allah Ta’ala, karena iman terbagi dua; setengahnya adalah sabar dan setengah lagi syukur.
  2. Bersyukur sebagai dalil bagi kesempurnaan akalnya, kebersihan pikiran dan jiwanya, kerena barangsiapa yang mengenal keagungan Yang memberi nikmat (Allah), memperhatikan kemuliaan anugerah-Nya serta keluasan pemberian-Nya, tentulah merupakan keharusan baginya untuk selalu bersyukur kepada-Nya dan tidak mengkufuri-Nya juga selalu mengingat-Nya dan tidak melalaikan-Nya.
Faidah-faidah Rohani dari bersyukur :
  1. Bersyukur akan menyebabkan bersihnya jiwa manusia dan kesuciannya.
  2. Bersyukur akan membuka pintu hubungan dengan Allah Ta’ala.
  3. Bersyukur akan membiasakan manusia untuk membalas kebaikan dan mengakui kebaikan orang lain, serta mengarahkan kehendak dan keinginannya kepada kebaikan, baik untuk dirinya juga untuk semua manusia.
  4. Bersyukur merupakan manhaj dan prinsip yang baik  dan selamat dalam menggunakan nikmat-nikmat Allah Ta’ala dan membelanjakannya pada jalan-jalan yang disyari’atkan.
فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِنْ قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِيْ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْ أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِيْ بِرَحْمَتِكَ فِيْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ ۝

Maka ia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan ia berdoa: “Wahai Rabbku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh. (Qs.An Naml : 19).

رَبِّ أَوْزِعْنِيْ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْ أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِيْ فِيْ ذُرِّيَّتِيْ ۖ إِنِّيْ تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ۝
Wahai Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, agar aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”
(Qs.Al Ahqaaf : 15).

___________Wallaahu a’alam bishawab,,

Selasa, 16 Juli 2013

SEBAB SEBAB TURUN'NYA REZEKI

Akhir-akhir ini banyak orang yang mengeluhkan masalah penghasilan atau rizki, entah karena merasa kurang banyak atau karena kurang berkah. Begitu pula berbagai problem kehidupan, mengatur pengeluaran dan kebutuhan serta bermacam-macam tuntutannya. Sehingga masalah penghasilan ini menjadi sesuatu yang menyibukkan, bahkan membuat bingung dan stress sebagian orang. Maka tak jarang di antara mereka ada yang mengambil jalan pintas dengan menempuh segala cara yang penting keinginan tercapai. Akibatnya bermunculanlah koruptor, pencuri, pencopet, perampok, pelaku suap dan sogok, penipuan bahkan pembunuhan, pemutusan silaturrahim dan meninggal kan ibadah kepada Allah untuk mendapatkan uang atau alasan kebutuhan hidup.
Mereka lupa bahwa Allah telah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya sebab-sebab yang dapat mendatangkan rizki dengan penjelasan yang amat gamblang. Dia menjanjikan keluasan rizki kepada siapa saja yang menempuhnya serta menggunakan cara-cara itu, Allah juga memberikan jaminan bahwa mereka pasti akan sukses serta mendapatkan rizki dengan tanpa disangka-sangka.

Diantara sebab-sebab yang melapangkan rizki adalah sebagai berikut:
-        Takwa Kepada Allah
Takwa merupakan salah satu sebab yang dapat mendatangkan rizki dan menjadikannya terus bertambah.
Allah Subhannahu wa Ta”ala berfirman,

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُ‌وفٍ أَوْ فَارِ‌قُوهُنَّ بِمَعْرُ‌وفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّـهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ‌ ۚ وَمَن يَتَّقِ اللَّـهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَ‌جًا ﴿٢ وَيَرْ‌زُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّـهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّـهَ بَالِغُ أَمْرِ‌هِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّـهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرً‌ا ﴿٣
artinya,
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya.”
(Qs.At Thalaq 2-3)

Setiap orang yang bertakwa, menetapi segala yang diridhai Allah dalam segala kondisi maka Allah akan memberikan keteguhan di dunia dan di akhirat. Dan salah satu dari sekian banyak pahala yang dia peroleh adalah Allah akan menjadikan baginya jalan keluar dalam setiap permasalahan dan problematika hidup, dan Allah akan memberikan kepadanya rizki secara tidak terduga.
Imam Ibnu Katsir berkata tentang firman Allah di atas, “Yaitu barang siapa yang bertakwa kepada Allah dalam segala yang diperintahkan dan menjauhi apa saja yang Dia larang maka Allah akan memberikan jalan keluar dalam setiap urusannya, dan Dia akan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari jalan yang tidak pernah terlintas sama sekali sebelumnya.”
Allah swt juga berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَ‌ىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَ‌كَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْ‌ضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ artinya,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al-A'raf:96)

- Istighfar dan Taubat
Termasuk sebab yang mendatang kan rizki adalah istighfar dan taubat, sebagaimana firman Allah yang mengisahkan tentang Nabi Nuh Alaihissalam ,
يُرْ‌سِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُم مِّدْرَ‌ارً‌ا ﴿١١ وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارً‌ا
artinya,

“Maka aku katakan kepada mereka:”Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun” niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”
(QS. Nuh:11-12)

Al-Qurthubi mengatakan, “Di dalam ayat ini, dan juga dalam surat Hud (ayat 52,red) terdapat petunjuk bahwa istighfar merupakan penyebab turunnya rizki dan hujan.”
Ada seseorang yang mengadukan kekeringan kepada al-Hasan al-Bashri, maka beliau berkata, “Beristighfarlah kepada Allah”, lalu ada orang lain yang mengadukan kefakirannya, dan beliau menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah”. Ada lagi yang mengatakan, “Mohonlah kepada Allah agar memberikan kepadaku anak!” Maka beliau menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah”. Kemudian ada yang mengeluhkan kebunnya yang kering kerontang, beliau pun juga menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah.”
Maka orang-orang pun bertanya, “Banyak orang berdatangan mengadukan berbagai persoalan, namun anda memerintahkan mereka semua agar beristighfar.” Beliau lalu menjawab, “Aku mengatakan itu bukan dari diriku, sesungguhnya Allah swt telah berfirman di dalam surat Nuh,(seperti tersebut diatas, red)
Istighfar yang dimaksudkan adalah istighfar dengan hati dan lisan lalu berhenti dari segala dosa, karena orang yang beristighfar dengan lisannnya saja sementara dosa-dosa masih terus dia kerjakan dan hati masih senantiasa menyukainya maka ini merupakan istighfar yang dusta. Istighfar yang demikian tidak memberikan faidah dan manfaat sebagaimana yang diharapkan.
- Tawakkal Kepada Allah
Allah swt berfirman,
وَيَرْ‌زُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّـهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّـهَ بَالِغُ أَمْرِ‌هِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّـهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرً‌ا
artinya,

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. At-Talaq:3)

Nabi saw telah bersabda, artinya,
“Seandainya kalian mau bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya maka pasti Allah akan memberikan rizki kepadamu sebagaimana burung yang diberi rizki, pagi-pagi dia dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.”
(HR Ahmad, at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albani)

Tawakkal kepada Allah merupakan bentuk memperlihatkan kelemahan diri dan sikap bersandar kepada-Nya saja, lalu mengetahui dengan yakin bahwa hanya Allah yang memberikan pengaruh di dalam kehidupan. Segala yang ada di alam berupa makhluk, rizki, pemberian, madharat dan manfaat, kefakiran dan kekayaan, sakit dan sehat, kematian dan kehidupan dan selainnya adalah dari Allah semata.
Maka hakikat tawakkal adalah sebagaimana yang di sampaikan oleh al-Imam Ibnu Rajab, yaitu menyandarkan hati dengan sebenarnya kepada Allah Azza wa Jalla di dalam mencari kebaikan (mashlahat) dan menghindari madharat (bahaya) dalam seluruh urusan dunia dan akhirat, menyerahkan seluruh urusan hanya kepada Allah serta merealisasikan keyakinan bahwa tidak ada yang dapat memberi dan menahan, tidak ada yang mendatangkan madharat dan manfaat selain Dia.
- Silaturrahim
Ada banyak hadits yang menjelaskan bahwa silaturrahim merupakan salah satu sebab terbukanya pintu rizki, di antaranya adalah sebagai berikut:

-Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, artinya,
“Dari Abu Hurairah ra berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah menyambung silaturrahim.” (HR Al Bukhari)

-Sabda Nabi saw, artinya,
“Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu , Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Ketahuilah orang yang ada hubungan nasab denganmu yang engkau harus menyambung hubungan kekerabatan dengannya. Karena sesungguhnya silaturrahim menumbuhkan kecintaan dalam keluarga, memperbanyak harta dan memperpanjang umur.”
(HR. Ahmad dishahihkan al-Albani)

Yang dimaksudkan dengan kerabat (arham) adalah siapa saja yang ada hubungan nasab antara kita dengan mereka, baik itu ada hubungan waris atau tidak, mahram atau bukan mahram.
- Infaq fi Sabilillah
Allah swt berfirman, 
قُلْ إِنَّ رَ‌بِّي يَبْسُطُ الرِّ‌زْقَ لِمَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ‌ لَهُ ۚ وَمَا أَنفَقْتُم مِّن شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ‌ الرَّ‌ازِقِينَ
artinya,

Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya. ”
(QS. Saba:39)

Ibnu Katsir berkata, “Yaitu apapun yang kau infakkan di dalam hal yang diperintahkan kepadamu atau yang diperbolehkan, maka Dia (Allah) akan memberikan ganti kepadamu di dunia dan memberikan pahala dan balasan di akhirat kelak.”
Juga firman Allah yang lain,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَ‌جْنَا لَكُم مِّنَ الْأَرْ‌ضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلَّا أَن تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّـهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
artinya,

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. ” (QS. Al-Baqarah:267)
Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah saw bersabda, Allah swt berfirman, “Wahai Anak Adam, berinfaklah maka Aku akan berinfak kepadamu.” (HR Muslim)
- Menyambung Haji dengan Umrah
Berdasarkan pada hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dari Ibnu Mas”ud Radhiallaahu anhu dia berkata, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, artinya,
“Ikutilah haji dengan umrah karena sesungguhnya keduanya akan menghilangkan kefakiran dan dosa sebagaimana pande besi menghilangkan karat dari besi, emas atau perak, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.”
(HR. at-Tirmidzi dan an- Nasai, dishahihkan al-Albani)

Maksudnya adalah, jika kita berhaji maka ikuti haji tersebut dengan umrah, dan jika kita melakukan umrah maka ikuti atau sambung umrah tersebut dengan melakukan ibadah haji.
- Berbuat Baik kepada Orang Lemah
Nabi saw telah menjelaskan bahwa Allah akan memberikan rizki dan pertolongan kepada hamba-Nya dengan sebab ihsan (berbuat baik) kepada orang-orang lemah, beliau bersabda, artinya,

“Tidaklah kalian semua diberi pertolongan dan diberikan rizki melainkan karena orang-orang lemah diantara kalian.” (HR. al-Bukhari)
Dhu”afa” (orang-orang lemah) klasifikasinya bermacam-macam, ada fuqara, yatim, miskin, orang sakit, orang asing, wanita yang terlantar, hamba sahaya dan lain sebagainya.
- Serius di dalam Beribadah
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Allah Subhannahu wa Ta”ala berfirman, artinya,

“Wahai Anak Adam Bersungguh-sungguhlah engkau beribadah kepada Ku, maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kecukupan dan Aku menanggung kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukan itu maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kesibukan dan Aku tidak menanggung kefakiranmu.”
Tekun beribadah bukan berarti siang malam duduk di dalam masjid serta tidak bekerja, namun yang dimaksudkan adalah menghadirkan hati dan raga dalam beribadah, tunduk dan khusyu” hanya kepada Allah, merasa sedang menghadap Pencipta dan Penguasanya, yakin sepenuhnya bahwa dirinya sedang bermunajat, mengadu kepada Dzat Yang menguasai Langit dan Bumi.
Dan masih banyak lagi pintu-pintu rizki yang lain, seperti hijrah, jihad, bersyukur, menikah, bersandar kepada Allah, meninggalkan kemaksiatan, istiqamah serta melakukan ketaatan, yang tidak dapat di sampaikan secara lebih rinci dalam lembar yang terbatas ini. Mudah-mudahan Allah memberi kan taufik dan bimbingan kepada kita semua. Amin.

Kamis, 25 Oktober 2012

HUKUM MABUK-MABUKAN (KHAMR) DALAM ISLAM


BAB I

LATAR BELAKANG MASALAH

Allah SWT telah memberikan segala macam bentuk nikmat, di antaranya nikmat jasmani dan nikmat rohani. Jika ditinjau dari segi jasmani, kita diperintahkan oleh Allah untuk makan dan minum dari hal yang baik-baik serta diperintahkan untuk menjauhkan dari hal yang kurang baik. Untuk menjaga kesehatan jasmani, kita harus menjauhkan diri dari segala makanan dan minuman yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh di antaranya Khamar (putau, ganja, miras, narkoba dan yang semacamnya) yang mana barang-barang tersebut sudah tidak asing lagi untuk zaman modern seperti sekarang ini. Meminum minuman keras atau sesuatu yang dapat menutup akal dalam pandangan agama Islam adalah haram, karena dampak yang akan diperoleh bagi si peminum akan sangat besar dan sangat beresiko bagi dirinya (menghilangkan akal). Betapa tidak, karena akal sangat penting dan berguna bagi manusia. Walaupun di dalam khamar tersebut terdapat beberapa manfaat bagi manusia yang darinya dapat diperoleh suatu keuntungan materil akan tetapi mudharatnya sangat besar.

Oleh karena itu, penulis sangat menghimbau kepada para pemuda muslimin agar menjauhkan hal-hal yang dapat membawa kepada mafsadah. Karena maju dan mundurnya masa depan umat ada pada genggaman tangan kita semua. ‘ Inna Fi Yadi Al-Syubban Amr Al-Ummah Wa Fi Iqdamiha Hayataha ‘

Ada beberapa syubhat (kerancuan) bagi sebagian kaum muslimin tentang permasalahan khamr. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada larangan yang tegas dan khusus terhadap khamr di dalam Al Qur`an. Sebab di dalam Al Qur`an tidak terdapat kata-kata larangan seperti “hurrimat `alaykumul khamr” (diharamkan atas kalian khamr) dan sebagainya, sebagaimana ketika Allah melarang kita memakan bangkai, Allah mengatakan “Hurrimat `alaykumul mayyita“ (diharamkan atas kalian mayyit). Yang ada dalam masalah ini hanyalah kata-kata “fajtanibuuh” (jauhilah). Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa hal ini menunjukkan khamr itu hukumnya tidak haram tapi makaruh saja, karena Allah hanya memerintahkan kita untuk menjauhinya. Syubhat yang lain ialah digantinya khamr dengan nama-nama yang lain sehigga khamr tersebut menjadi samar bagi sebagian kaum muslimin, serta berbagai syubhat yang lainnya yang menimbulkan kerancuan tentang hukum khamr ini. Maka di dalam pembahasan ini akan dikupas secara singkat tentang permasalahan ini, agar berbagai kerancuan tersebut dapat dihilangkan di dalam pikiran kaum muslimin

BAB II

PEMBAHASAN

A.Proses Di Haramkannya Khamar.

A.Nash-Nash yang Khusus Mengenai Khamr

1.Ayat pertama An-Nahl [16:67]
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيْلِ وَالأَعْنٰبِ تَتَّخِذُوْنَ مِنْهُ سَكَرًاوَرِزْقًاحَسَنًا, إِنَّ فِى ذٰلِكَ َلاٰيٰةً لِّّقَوْمٍ يَعْـقِلُـوْنَ. (النّحل  6 :67)
Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan. (QS. An-Nahl Ayat 67)

Kurma dan anggur adalah komoditas ekonomi jazirah arab, sejak dahulu kala. Komoditi tersebut selain diperdagangkan secara natural (alami) juga diolah menjadi minuman yang memabukkan. Seperti halnya buah aren bisa diolah menjadi tuak yang memabukkan.

Disini Allah menyatakan secara tersirat bahwa dari kedua buah tersebut dapat diolah menjadi rezeki yang baik (perdagangan alami) dan hal yang tidak baik (minuman yang memabukkan).

2.Ayat kedua Al-Baqarah [2:219]

‘Umar bin Khattab beserta para sahabat yang lain bertanya kepada Rasulullah SAW perihal minuman yang memabukkan dan menghilangkan akal. Sahabat-sahabat tersebut memang sudah biasa minum khamar. Dua orang sahabat Rasulullah SAW yang semasa masih jahiliyah tidak pernah minum khamar adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Utsman bin Affan.

Sehubungan dengan pertanyaan ttg khamar tersebut maka turunlah ayat yang berbunyi :


يـَسْئَلُوْ نَكَ ٰعَنِ الْخَمْرِوَالْمَيْسِرِقلى قُلْْ فِيْهِمَآإِثْمٌ كَبِيْرٌوَمَنٰفِعُ لِلنَّاسِصلى وَإِثْْمُهُمَآ أَكْبَرُمِنْ نَّفْعِهِمَا قلىوَيَسْئَلُوْنَكَ مَاذَايُنْفِقُوْنَ قلى قُلِ الْعَفْوَ قلى كَذٰ لِكَ يُبَيّـِنُ الله ُ لَكُمُا ْلأٰ يٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ لا(البقرة,2:  219)
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir, (QS. Al-Baqarah ayat 219)

Dalam masyarakat kita saat ini, bahkan bagi orang barat sekali pun kalau ditanya secara jujur tentang manfaat dari miras dan judi, kita akan mendapatkan jawaban bahwa bagaimana pun pada keduanya menimbulkan problem-problem sosial yang bersifat negatif bahkan destruktif. Karena itu berbagai aturan dan undang-undang pemerintah di manapun, ada pengaturan ttg kedua hal itu, meskipun dasar yang digunakan bukan dari Al-Quran..

Maka pertanyaan beberapa sahabat tsb juga menunjukkan munculnya kesadaran sosial bahwa didalam perkara miras dan judi ternyata menghasilkan hal-hal yang tidak baik dalam masyarakat.


3.Ayat ketiga, An-Nisa [4:43]
Setelah ayat kedua tentang khamar dan judi turun, pada suatu saat Abdurrahman bin Auf mengundang teman-temannya untuk minum khamar sampai mabuk. Ketika waktu shalat tiba, salah seorang yang menjadi imam membaca surat al-Kafirun secara keliru disebabkan pengaruh khamar. Maka turunlah ayat ketiga yaitu An-Nisa [4:43]

يٰأَ َيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْالاَتَقْرَبُوْاالصَّلـٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْامَاتَقُوْلُوْنَ …. (النسأ 4: 43)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, …..(QS. An-Nisa Ayat 43)

Ayat ini belum mengharamkan minuman keras dan judi secara mutlak, maka sebagian umat islam pada waktu itu masih meminumnya
.
Selain berkaitan dengan mabuk, ayat ini berlaku umum bahwa orang yang mengerjakan shalat harus memahami/mengerti makna bacaan shalatnya karena ada kaimat “sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”).

Kalimat ini menjadi penyebab keumuman ayat itu, karena kita pahami bahwa bagi orang Arab dalam keadaan tidak mabuk tentu mereka mengerti apa yang diucapkan dalam shalat. Berbeda halnya bagi orang non-Arab dimana bahasa Arab bukan bahasa sehari-hari.

Oleh sebab itu maka mengerti bahasa arab, minimal dalam bacaan sholat, menjadi kewajiban bagi orang non-arab. Demikian ini agar tidak terkena makna daripada QS An-Nisa’ [4:43] tersebut di atas karena objek sasaran ayat tersebut adalah bagaimana mengerti apa yang diucapkan dalam sholat, bukan pada mabuknya. Sedangkan mabuk adalah salah satu penyebab dari tidak memahami apa yang diucapkan dalam shalat.

4.Ayat keempat, Al-Maidah [5:90-92]

يٰۤاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْآ إِنّـَمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلـٰمُ رِجْسٌ ّمِنْ عَمَلِ الشَّـيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (90)  إِنَّمَا يُرِيْدُالشَّيْطـٰنُ أَنْ يُوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدٰوَةَ وَالْبَغْضَآءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلوٰةِ فَهَلْ أَنْتُمْ ّمُنْتَهُوْنَ (91) وَأَطِيْعُوااللهَ وَأَطِيْعُواالرَّسُوْلَ وَاحْذَرُوْا، فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوْآ اَنَّمَا عَلىٰ رَسُوْلِنَا الْبَلـٰغُ الْمُبِيْنُ
(92)
5:90. Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
5:91. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
5:92. Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul (Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang
Dengan turunnya ayat ini maka hukum meminum khamar dan judi telah secara tegas dan jelas dinyatakan sebagai perbuatan yang haram. Sebagai salah satu dari dosa besar (Al-Baqarah [2:219]).

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ‌ وَالْمَيْسِرِ‌ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ‌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ‌ مِن نَّفْعِهِمَا ۗ وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّـهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُ‌ونَ

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,



Allah menyuruh menjauhi  4 perbuatan keji yang termasuk perbuatan syetan yaitu :
  • Minum khamar
  • Berjudi
  • Berkorban untuk berhala/thagut/sesuatu yang bukan karena Allah
  • Mengundi nasib, dengan panah atau yang lainnya termasuk mengundi nasib kepada tukang ramal.
Sedang khamar dan berjudi, Allah SWT nyatakan sebagai perbuatan setan yang akan :
Menimbulkan permusuhan
Menimbulkan kebencian satu sama lain
Menghalangi dari mengingat Allah
Menghalangi dari sembahyang

Maka Allah SWT menegaskan فَهَلْ أَنْتُمْ مّـُنْتَهُوْنَ  berhenti, stop, jangan diulangi lagi. Taatlah kepada Allah dan Rasul serta berhati-hatilah kalian. Kalau masih nekad, merasa berat meninggalkannya maka kewajiban Rasulullah SAW hanyalah menyampaikan amanat Allah SWT.


Selanjutnya Rasulullah bersabda :
مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ لَمْ يَرْضَ اللهُ عَنْهُ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً، فَإِنْ مَاتَ مَاتَ كَافِرًا  وَإِنْ تَابَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِ، وَإِنْ عَادَ كَانَ حَقّـَا عَلَى اللهِ أَنْ يَّسْقِيـَهُ مِنْ طِيْنَةِ  الْخَبَالِ قَلَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا طِيْنَةُ الْخَبَالِ؟ قَالَ : صَدِيْدُ أَهْلِ النَّارِ (رواه أحمد)
Artinya : “Siapa saja yang minur khamar, maka Allah tidak akan ridho kepadanya selama empat puluh malam. Bila ia mati saat itu, maka matinya dalam keadaan kafir. Dan bila ia bertobat, maka Allah akan menerima tobatnya.Kemudian jika ia mengulang kembali (meminum khamar), maka Allah memberinya minuman dari “thinatil khabail” ,(Asma bertanya, “Ya Rasulullah, apakah thinatil khabali itu?. (Rasulullah) menjawab, “Darah bercampur nanah ahli neraka. (HR Ahmad)

B.Pengertian Asy-Syurbu (meminum)
Pengertian Syurb Khamr

Minum khamr (Syurb khamr) diambil dari kata (بش ), yang artinya minum. Dan kata minum / khamr (رومخا), yang artinya arak atau minuman keras. Sedang minum khamr (syurb khamr) menurut istilah adalah memasukkan minuman yang memabukkan ke mulut lalu ditelan masuk ke perut melalui kerongkongan, meskipun bercampur dengan makanan lain yang halal.
Sedang orang yang meminum arak dinamakan (شاربي الخمور), yang artinya peminum.

Khamr berasal dari kata yang berarti menutupi. Di sebut sebagai khamr, karena sifatnya bisa menutupi akal Sedangkan menurut pengertian urfi pada masa itu, khamr adalah apa yang bisa menutupi akal yang terbuat dari perasan anggur. Sedangkan dalam pengertian syara’, khamr tidak terbatas pada perasan anggur saja, tetapi semua minuman yang memabukkan dan tidak terbatas dari perasan anggur saja. Pengertian ini diambil berdasarkan beberapa hadits Nabi SAW. Diantaranya adalah hadits dari Nu’man bin Basyir bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Sesungguhnya dari biji gandum itu terbuat khamr, dari jewawut itu terbuat khamr, dari kismis terbuat khamr, dari kurma terbuat khamr, dan dari madu terbuat khamr (HR Jama’ah, kecuali An Nasa’i). Dalam riwayat Ahmad ada tambahan Dan saya melarang dari setiap yang memabukkan.

Dari Jabir, bahwa ada seorang dari negeri Yaman yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang sejenis minuman yang biasa diminum orang-orang di Yaman. Minuman tersebut terbuat dari jagung yang dinamakan mizr. Rasulullah bertanya kepadanya, “apakah minuman itu memabukkan? “Ya” jawabnya. Kemudian Rasulullah menjawab :

Setiap yang memabukkan itu adalah haram. Allah berjanji kepada orang-orang yang meminum minuman memabukkan, bahwa dia akan memberi mereka minuman dari thinah al khabal. Mereka bertanya, apakah thinah khabal itu? Jawab Rasulullah,”Keringat ahli neraka atau perasan tubuh ahli neraka”
(HR Muslim, An Nasa’i, dan Ahmad).

Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad meriwayatkan dari Abu Musa bahwa ia berkata,”Saya mengusulkan kepada Rasulullah SAW agar beliau memberikan fatwanya tentang dua jenis minuman yang dibuat di Yaman, yaitu al bit’i dan al murir. Yang pertama terbuat dari madu yang kemudian dibuat minuman hingga keras (bisa memabukkan). Yang kedua terbuat dari bijii-bijian dan gandum dibuat minuman hingga keras. Wahyu yang turun kepada Rasulullah SAW telah lengkap dan sempurna, kemudian Rasulullah SAW bersabda:
Setiap yang memabukkan itu haram (HR Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW juga bersabda:
Setiap yang memabukkan itu khamr, dan setiap khamr itu haram (HR Muslim dan Daruquthni).
Hadits-hadits itu menunjukkan bahwa khamr itu tidak terbatas terbuat dari perasan anggur saja, sebagaimana makna urfi tetapi mencakup semua yang bisa menutupi akal dan memabukkannya. Setiap minuman yang memabukkan dan menutupi akal layak disebut khamr, baik terbuat dari anggur, gandum, jagung, kurma, maupun lainnya. Berarti itu merupakan pengertian syar’i tentang khamr yang disampaikan dalam hadits-haditsnya (Nidhamul Uqubaat oleh Abdurrahman Al Maliki hal 50).Dalam keadaan demikian, yakni adanya makna syar’i -makna baru yang dipindahkan dari makna aslinya oleh syara’ – yang berbeda dengan makna lughawi dan makna urfi, maka makna syar’i tersebut harus didahulukan daripada makna lughawi dan makna urfi.

Jika khamr diharamkan karena zatnya, sementara pada hadits di atas dinyatakan bahwa berarti itu menunjukkan kepada kita bahwa sifat yang melekat pada zat khamr adalah memabukkan. Karena sifat utama khamr itu memabukkan, maka untuk mengetahui keberadaan zat khamr itu atau untuk mengenali zatnya adalah dengan meneliti zat-zat apa saja yang memiliki sifat memabukkan.

Kini, setelah dilakukan tahqiiq al manath (penelitian terhadap fakta), oleh para kimiawan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa zat yang memilki sifat memabukkan adalah etil alkohol atau etanol. Zat inilah yang memiliki khasiat memabukkan. Walaupun gugus alkohol itu tidak hanya etanol, masyarakat secara umum menyebutnya dengan nama alkohol saja. Zat inilah yang menjadi penyebab sebuah minuman bisa memabukkan. Dengan melalui proses fermentasi, benda-benda yang mengandung karbohidrat -seperti kurma, anggur, singkong, beras, jabung, dsb– bisa diproses menjadi minuman memabukkan. Apabila diteliti, setelah dilakukan proses fermentasi pada benda-benda tersebut adalah munculnya etil alkohol yang sebelumnya tidak ada.

Karena sifatnya yang memabukkan itulah maka apabila dicampurkan atau bercampur dengan air atau minuman bisa menyebabkan mabuk bagi setiap orang yang meminumnya. Tinggi-rendahnya kadar alkohol di dalam minuman tersebut sangat menentukan ‘keras-tidaknya’ sebuah minuman.
Sebenarnya, airnya sendiri tidaklah memiliki khasiat untuk memabukkan. Sebagai buktinya, apabila air itu dipisahkan dari ‘alkohol’, maka air tidak akan bisa membuat mabuk bagi peminumnya, dan tentu saja tidak bisa disebut sebagai khamr. Maka, kalau ada suatu minuman yang didalamnya ada zat alkohol, kemudian zat alkoholnya secara pasti sudah hilang, maka minuman itu menjadi halal. Karena memang yang diharamkan adalah zat khamrnya.

Berubahnya minuman keras menjadi cuka menjadi contoh dalam kasus ini. Para fuqaha sepakat apabila ada khamr yang berubah secara alamiah (tidak karena ada rekayasa manusia) hukumnya halal untuk memakan atau meminumnya. Sedangkan apabila perubahan itu direkayasa para ulama berbeda pendapat.
Jika khamr itu adalah zat alkohol, maka setiap minuman di dalamnya terkandung alkohol bisa disebut sebagai khamr. Tidak dilihat lagi asal-usulnya secara ‘kasat mata’. Dari Nu’man bin Basyir, Rasulullah SAW menegaskan bahwa khamr bisa terbuat dari berbagai benda.

Pada faktanya, memang semua benda yang disebutkan Rasullah SAW, seperti; gandum, anggur, kurma, madu, dsb, itu bisa memabukkan. Dan, memang pada semua benda itu ketika diproses menjadi minuman yang memabukkan dapat dibuktikan bahwa di dalamnya terdapat zat alkoholnya.

Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa diharamkannya khamr itu karena zatnya, maka hukum meminumnya adalah haram. Tidak dilihat lagi segi kuantitas zatnya, baik sedikit maupun banyak, semuanya haram. Hal ini sama dengan memakan daging babi atau bangkai, hukumnya haram, baik sedikit maupun banyak, karena kedua benda itu diharamkan karena zatnya. Demikian juga haramnya khamr tidak dilihat dari segi pengaruh bagi peminumnya. Baik akan mengakibatkan mabuk atau tidak bagi peminumnya, hukumnya tetap haram. Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah bersabda:
“Setiap yang memabukkan dalam keadaan banyaknya, maka sedikitnya pun haram”
(HR Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Daruquthni) Dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda:
Setiap minuman yang memabukkan itu haram, dan jika banyaknya satu faraq (16 rithl = 7, 83 liter) dapat memabukkan, maka satu tangan dari minuman tersebut adalah haram (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidziy) Dua hadits tersebut menunjukkan bahwa sebuah minuman tidak dilihat kadar/prosentase alkolohol/khamr yang terkandung di dalamnya, tetapi dilihat dari segi ada atau tidaknya zat khamr di situ.

Pengertian faraq dan mil’ul kaffi adalah suatu perumpamaan untuk menunjukkan ukuran banyak dan sedikit. Bukan untuk membatasi pengertiannya dengan ukuran tersebut. Karena itu, para fuqaha dan muhadditsin mengambil pengertian dari hadits tersebut bahwa ukuran sedikit khamr mencakup ‘setetes khamr’ pula menurut arti bahasa, kata qaliiluhu (sedikitnya) menunjukkan bahwa yang dimaksud di sini bukan hanya sekedar ukuran atau jumlah, tetapi menyangkut kadar/persentase, baik tinggi atau rendah.

Al Qamus al Muhith (III hal 681) mengartikan kata qaliil adalah ukuran sedikitnya sesuatu adalah paling sedikit. Sedangkan Al Mu’jamul al Wasith (II hal 756) memberikan arti kata qaliil adalah sesuatu yang hampir tidak ada sama sekali. Berdasarkan ketentuan bahasa Arab tersebut, maka yang dimaksud kata qaliiluhu haram (sedikitnya pun haram) adalah jumlah/ukuran yang sedikit atau kadar/persentase yang sedikit. Ini berarti, setiap minuman yang mengandung zat alkohol, walapun kadar persentasenya sedikit sekali, maka dapat dikategorikan dalam kelompok haram. Sebab, yang diharamkan syara’ adalah zat alkoholnya yang sudah mengalami proses peragian dan dapat memabukkan bila diminum dalam ukuran/jumlah besar.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa setiap minuman yang beralkohol adalah khamr dan hukumnya haram, baik kadar alkoholnya tinggi atau rendah. Bukan karena bisa memabukkan atau tidak bagi peminumnya. Bukan pula sedikit atau banyaknya yang diminum. Juga bukan karena diminum sebagai khamr murni atau dicampur dengan minuman lainnya. Sebab, diharamkannya khamr semata-mata karena zatnya. Dengan demikian, beberapa jenis minuman seperti : brandy, wisky, martini, dan lain-lain yang kadar alkoholnya mencapai 40 sampai 60 persen termasuk kategori khamr. Demikian pula jenis janever, holland, geneva yang kadar alkoholnya mencapai 33 sampai 40 persen. Termasuk pula jenis bir ringan sperti eyl, portar, estote, dan munich, malaga, anggur cap orang tua, mengandung 2 hingga 15 persen alkohol. Semua jenis minuman tersebut adalah khamr dan haram hukumnya, meskipun namanya berbeda-beda. Dari Ubadah bin Ash Shamit bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Sekelompok manusia dari umatku akan menghalalkan khamr, dengan nama (baru) yang mereka sebutkan” (HR Imam Ahmad dan Ibnu Majah). Najiskah Khamr itu?
Hukum asal benda adalah suci. Sehingga, suatu benda dinyatakan najis manakala ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Dalam kitab Subulus Salam, dinyatakan bahwa asal benda-benda itu suci. Haramnya suatu benda tidak otomatis najis. Seperti ganja. Hukumnya adalah haram, tetapi ia suci dan tidak najis. Sebab, sesuatu yang najis mengharuskannya menjadi haram, yakni setiap yang najis itu haram. Karena, najisnya sesuatu itu merupakan larangan untuk menyentuhnya pada setiap keadaan. Sehingga, hukum najisnya suatu benda merupakan hukum haram bagi benda tersebut. Tetapi tidak sebaliknya, yakni tidak setiap yang haram pasti najis. Seperti haramnya menggunakan pakaian sutera dan emas (bagi pria), padahal kedua benda tersebut adalah suci. Karenanya apabila haramnya khamr telah ditunjukkan oleh nash-nash syara’ tidaklah mengharuskannya menjadi najis. Berarti harus ada dalil lain yang menunjukkannya. Apabila tidak ditemukan, maka ia kembali pada hukum asal, yakni suci.

Jumhurul ulama menyatakan bahwa khamr itu najis. Kesimpulan itu diambil dari kata rijsun yang berarti kotoran dan najis. Memang, argumentasi ini dibantah oleh sebagian fuqaha yang mengatakan bahwa kata rijsun pada ayat tersebut najis secara maknawi karena kata rijsun tidak hanya khabar bagi khamr, tetapi juga athaf-nya, yakni berjudi, berhala, dan undian nasib, yang kesemuanya secara pasti tidak disifati dengan najis dzatiy, seperti firman Allah SWT:

Maka jauhilah berhala-berhala yang najis itu (Al Hajj 30).
Arti berhala sebagai sesuatu yang najis itu pada ayat tersebut adalah najis maknawi, bukan najis dzatiy. Contoh lain najis maknawi terdapat pada surat At Taubah 28:
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (At Taubah 28).

Yang dimaksud dengan najis pada ayat ini bukanlah najis dzat (tubuh) mereka, tetapi aqidah yang mereka peluk berupa aqidah syirik yang seharusnya dijauhi, sebagaimana yang dipahami oleh jumhurul fuqaha’. Sehingga menurut mereka, kata rijsun dalam surat Al Maidah 90 tersebut, adalah najis secara maknawi. Pandangan tersebut –menurut mereka– diperkuat oleh bunyi selanjutnya dengan kata (dari perbuatan syetan). Itu berarti, maksud najis itu adalah secara maknawi (Fiqhu Sunnah I hal 28). Hanya saja, pendapat jumhur itu dikuatkan oleh hadits Nabi SAW

“Sesungguhnya kami berada di negeri para ahli kitab, mereka makan babi dan minum khamr, apakah yang harus kami lakukan terhadap bejana-bejana dan periuk-periuk mereka? Rasulullah SAW menjawab,”Apabila kamu tidak menemukan lainnya, maka cucilah dengan dengan air, lalu memasaklah di dalamnya, dan minumlah” (HR Ahmad dan Abu Daud).

Perintah untuk mencuci pada bejana yang menjadi wadah khamr dan periuk yang menjadi wadah daging babi, menunjukkan bahwa kedua benda tersebut tidak suci. Sebab, apabila suci dan tidak najis, tentu tidak akan diperintahkan untuk mencucinya dengan air.


C.Unsur-Unsur Jarimah Syurb Khamr
Ada dua unsur dalam jarimah syurb khamr. Yaitu minum-minuman yang memabukkan dan ada itikad jahat.
Yang dimaksud dengan ada niat jahat adalah sudah tau bahwa meminum khamr itu haram, tetapi tetap saja dia minum. Oleh karena itu, tidak dikenai sanksi orang yang meminum khamr atau meminum minuman yang memabukkan sedang dia tidak tahu bahwa yang dia minum itu adalah minuman yang memabukkan atau tidak tahu bahwa minuman itu haram, juga dibawah paksaan.

D. Hukuman Untuk Peminum Khamr
Al-qur’an tidak menegaskan hukuman apa bagi peminum khamr, namun sanksi dalam kasus ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw yakni sunah fi’liyahnya, bahwa hukuman terhadap jarimah ini adalah didera sebanyak 40 kali. Abu Bakar as-Sidiq ra mengikuti jejak ini, Umar bin Khatab ra 80 kali dera sedang Ali bin Abu Thalib ra 40 kali dera.

Alasan penetapan 80 kali dera didasarkan pada metode analogi, yakni dengan mengambil ketentuan hukum yang ada di dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 4:
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan terhormat (berbuat zina), kemudian itu tidak mengemukakan empat saksi, maka hendaklah mereka didera delapan puluh kali dera¬an, dan janganlah diterima ke¬saksian dari mereka selama ¬lamanya. Itulah orang-orang fasik.”

Bahwa orang yang menuduh zina didera 80 kali. Orang yang mabuk biasanya mengigau, jika mengigau suka membuat kebohongan, orang bohong sama dengan orang membuat onar atau fitnah. Fitnah dikenai hukuman 80 kali dera. Maka orang yang meminum khamr didera 80 kali.

Disamping itu pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab ra banyak orang yang meminum khamr, dan hal mengenai dera 80 kali sudah berdasarkan hasil musyawarah antara Umar bin Khathab ra dengan para shahabat yang lain, yakni atas usulan Abdurrahman bin ‘Auf.

Adapun menurut Imam Abu Hnifah ra dan Imam Maliki ra sanksi peminum khamr adalah 80 kali dera. Sedang Imam Syafi’i ra adalah 40 kali dera, akan tetapi Imam beleh menambah menjadi 80 kali dera. Jadi 40 kali adalah hukuman had, sedang sisanya adalah hukuman ta’zir.

Syarat Diberlakukannya Hudud Peminum Khamar
Namun para ulama sepakat bahwa agar hukuman pukul atau cambuk itu dapat terlanksana, syarat dan ketentuannya harus terpenuhi terlebih dahulu. Tidak asal ada orang minum khamar lantas segera dicambuk.
Di antara syarat dan ketentuannya antara lain :
1. Berakal
Peminumnya adalah seorang yang waras atau berakal. Sehingga orang gila bila meminum minuman keras maka tidak boleh dihukum hudud.
2. Baligh
Peminum itu orang yang sudah baligh, sehingga bila seorang anak kecil di bawah umur minum minuman keras, maka tidak boleh dihukum hudud.
3. Muslim
Hanya orang yang beragama Islam saja yang bila minum minuman keras yang bisa dihukum hudud. Sedangkan non muslim tidak bisa dihukum bahkan tidak bisa dilarang untuk meminumnya.
4. Bisa memilih
Peminum itu dalam kondisi bebas bisa memilih dan bukan dalam keadaan yang dipaksa.
5. Tidak dalam kondisi darurat
Maksudnya bila dalam suatu kondisi darurat dimana seseorang bisa mati bila tidak meminumnya, maka pada saat itu berlaku hukum darurat. Sehingga pelakunya dalam kondisi itu tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
6. Tahu bahwa itu adalah khamar
Bila seorang minum minuman yang dia tidak tahu bahwa itu adalah khamar, maka dia tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
Khamr adalah benda. Sedangkan hukum benda tidak terlepas dari dua hal, yaitu halal atau haram. Selama tidak ada dalil yang yang mengharamkannya, hukum suatu benda adalah halal. Karena ada dalil yang secara tegas mengharamkannya, maka hukum khamr itu haram.

Hukum syara’ adalah seruan syari’ yang berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia). Sehingga, meskipun hukum syara’ menentukan status hukum benda, tetap saja akan berkait dengan perbuatan manusia dalam menggunakannya. Misalnya, babi itu haram. Perbuatan apa saja yang diharamkan berkenaan dengan babi? Apakah memakannya, menjualnya, menternakkannya, memegangnya, melihatnya, atau bahkan membayangkannya hukumnya juga haram? Untuk mengetahui hukum-hukum perbuatan yang berkenaan dengan benda tidak cukup hanya melihat dalil tentang haramnya benda, tetapi harus meneliti dalil-dailil syara’ yang menjelaskan perbuatan yang berkenaan dengan benda tersebut.

Beberapa perbuatan haram yang berkaitan dengan khamr, dijelaskan oleh Nabi SAW dari Anas ra.
“Sesungguhnya Rasulullah SAW melaknat dalam khamr sepuluh personel, yaitu: pemerasnya (pembuatnya), distributor, peminumnya, pembawanya, pengirimnya, penuangnya, penjualnya, pemakan uang hasilnya, pembayarnya, dan pemesannya” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzy).

Dari hadits tersebut menunjukkan bahwa semua pelaku yang terlibat dalam khamr termasuk yang diharamkan. Hukum haram disimpulkan karena ada celaan yang bersifat jazim dengan kata (melaknat). Berarti, itu merupakan sebuah sanksi yang diberikan kepada para pelaku yang terlibat dalam khamr. Mereka itu adalah:
1. produsen
2. distributor
3. peminum
4. pembawa
5. pengirim
6. penuang minuman
7. penjual
8. orang yang memetik hasil penjualan
9. pembayar
10. pemesan

E. Pembuktian untuk Jarimah Syurbul Khamr
Alat bukti syurb khamr adalah:
  1. Persaksian, jumlah saksi adalah dua orang laki-laki atau empat orang wanita. Menurut Imam Abu Hanifah ra dan Abu Yusuf ra, saksi harus mencium bau minuman yang memabukkan ketika menyaksikanya.
  2. Pengakuan dari peminum, pengakuan ini cukup satu kali saja.
  3. Bau mulut, menurut Imam Maliki ra bau mulut orang meminum minuman yang memabukkan dapat dianggap sebagai bukti bahwa yang bersangkutan telah meminum khamr.
  4. Mabuk, Imam Abu Hanifah ra berpendapat bahwa mabuk dapat dianggap sebagai alat bukti minum khamr. Sedang Imam Syafi’i ra tidak demikian, karena mabuk itu memberi banyak kemungkinan, terutama dipaksa atau terpaksa.
  5. Muntah, menurut Imam Maliki ra beranggapan bahwa muntah dapat dijadikan sebagai bukti minum khamr. Hal ini pernah dilakukan ketika Usman bin Afan ra menjatuhkan hukuman dera bagi orang yanh muntah-muntah akibat meminum khamr.
F. Pelaksanaan Hukuman Syurb Khamr
Pelaksanaan had bagi peminum khamr sama dengan pelaksanaan dera pada jarimah lainya. Namun dalam pelaksanaan tidak diperbolehkan disertai emosi atau dalam keadaan marah, juga dalam mendera ketika eksekutor tidak boleh sampai kelihatan, sedang alat dera yang digunakan adalah pelepah daun kurma atau sejenisnya.

dalam hukum hudud, seorang muslim yang kedapatan dan terbukti meminum khamar oleh pengadilan (mahkamah syar`iyah) hukumannya adalah dipukul. Bentuk hukuman ini bersifat mahdhah, artinya bentuknya sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT. Sehingga tidak boleh diganti dengan bentuk hukuman lainnya seperti penjara atau denda uang dan sebagainya.
Dalam istilah fiqih disebut hukum hudud, yaitu hukum yang bentuk, syarat, pembuktian dan tatacaranya sudah diatur oleh Allah SWT.

Dasar pensyariatannya adalah hadits Nabi SAW berikut ini :
“Siapa yang minum khamar maka pukullah”.
Hadits ini termasuk jajaran hadits mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada tiap thabawatnya (jenjang) dan mustahil ada terjadi kebohongan diantara mereka.
Di tingkat shahabat, hadits ini diriwayatkan oleh 12 orang shahabat yang berbeda. Mereka adalah Abu Hurairah, Muawiyah, Ibnu Umar, Qubaishah bin Zuaib, Jabir, As-Syarid bin suwaid, Abu Said Al-Khudhri, Abdullah bin Amru, Jarir bin Abdillah, Ibnu Mas`ud, Syarhabil bin Aus dan Ghatif ibn Harits.

G. Hapusnya Hukuman Syurb Khamr
Hukuman had bagi peminum khamr dapat dihapus atau dibatalkan apabila:
1. Para saksi menarik kesaksianya, apabila tidak ada bukti yang menguatkan.
2. Pelaku menarik kembali persaksianya, karena tidak ada bukti yang menguatkan.
3. Kebenaran bukti-bukti masih dipertanyakan, atau masih diragukan kebenaranya.


H. Hukuman Had Bagi Syurb Khamr Sebagai Penghapus Dosa
Barang siapa berbuat pelanggaran lalu dihukum, maka hukuman tersebut adalah sebagai penebus atau penghapus dosanya, hal tersebut terdapat pada hadits Rasulullah saw sebagai mana berikut, yang artinya:
“Ubadah ibn sh-Shamit ra mengatakan bahwa Rasulullah saw menegaskan larangan kepada para shahabat sebagai mana larangan kepada wanita yaitu: tidak boleh menyekutukan sesuatu dengan Allah swt, tidak boleh mencuri, tidak boleh berzina, tidak boleh membunuh anak-anak dan tidak boleh saling membohongi. Maka barang siapa kansisten dalam menghindari larangan itu, maka Allah swt yang menanggung ppahalanya. Barang siapa melakukan pelanggaran lalu dilaksanakan hukuman padanya, maka hukuman tersebut menjadi penghapus dosanya. Barang siapa melakukan pelanggaran lalu ditutupi oleh Allah swt, maka urusanya terserah kepada Allah swt. Jika Allah swt menghendaki, maka Dia menyiksanya, dan jika Dia menghendaki, maka Dia mengampuninya

BAB  III
KESIMPULAN

Syurb khamr adalah memasukkan minuman yang memabukkan ke mulut lalu ditelan masuk ke perut melalui kerongkongan, meskipun bercampur dengan makanan lain yang halal. Adapun segala sesuatu yang memabukkan dinamakan khamr, dan meminumnya dihukumi haram.

Sedang dalam syariat islam siapa saja yang meminum khamr akan mendapatkan hukuman, adapun hukuman tersebut berupa dera 40 kali atau 80 kali, jika amir atau penguasa menghendakinya. Adapun cara pelaksanaannya dilakukan oleh eksekutor yang sudah memenuhi syarat-syarat, juga alat yang digunakan adalah pelepah daun kurma atau sejenisnya.

Namun hukuman dera dapat gugur bilamana para saksi menarik kesaksianya atau pelaku menarik kembali pengakuanya, serta tidak ditemukanya barang bukti yang menguatkan.
Disamping mendapatkan hukuman peminum khamr tentusaja akan mengalami gangguan kesehatan, baik itu kesehatan rohani maupun kesehatan jasmani. Disamping itu khamr menjauhkan para peminumnya dari Allah swt.

Kamis, 04 Agustus 2011

BAHAYA MEMVONIS ORANG LAIN DENGAN KEKUFURAN ATAU AHLI BID'AH

Tulisan singkat ini dilatarbelakangi oleh adanya orang-orang yang sangat mudah menjatuhkan vonis sesat atau menilai pihak lain di luar komunitasnya dan/atau yang berseberangan pendapat dengannya sebagai ahli bid`ah, baik secara tegas, maupun dengan menggunakan julukan yang samar, semisal: “Hizbi” dan lain-lain, tanpa menyadari betapa berat dan bahayanya vonis semacam ini. Dan, yang paling berat adalah memvonis kafir pihak lain.

Memang benar bahwa terdapat banyak nash dan atsar Salaf yang mencela bid`ah dan ahli bid`ah. Namun hal ini bukan menjadi pembenaran untuk kemudian bermudah-mudah dan serampangan dalam menjatuhkan vonis bid`ah serta menuduh pihak lain sebagai ahli bid`ah, terlebih lagi untuk menjatuhkan vonis kafir.

Menjatuhkan vonis kafir atau sesat atau ahli bid`ah kepada seseorang berarti melecehkan hal keberagamaan yang bersangkutan. Sedangkan pelecehan dalam hal agama merupakan pelecehan yang paling berat. Sebab seorang Mukmin lebih benci apabila keberagamaannya dilecehkan dibandingkan pelecehan terhadap hal-hal yang lain.


Dari Abū Hurairah, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,

بِحَسبِ امْرِئٍ مِن الشَّرّ أن يَحْقِر أخاه الْمُسْلم، كلّ المُسْلم عَلَى الْمسلم حَرَام دَمُه وَمَاله وَعرْضه

“Cukuplah menjadi keburukan bagi seseorang untuk merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram, yaitu darahnya, hartanya dan kehormatannya.”
[Riwayat Muslim dan lain-lain]

Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda

إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةُ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Sesungguhnya termasuk riba yang paling riba adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang Muslim tanpa hak (alasan yang dibenarkan).”
[Riwayat Abū Dāwūd II/685/4876 dan dinilai valid oleh al-Albāni.]
Muhammad Syams al-Haqq al-`Azhīm Ābadī berkata, “Makna arba’r ribā adalah riba yang paling besar bahayanya dan yang paling keras keharamannya. Dan makna istithālah adalah mengulurkan lidah terhadap kehormatan seorang muslim. Maksudnya adalah merendahkannya dan merasa lebih tinggi darinya serta melakukan gunjingan (ghībah) terhadapnya, seperti menunduhnya berzina atau mencelanya. Hal Ini merupakan riba yang paling keras keharamannya karena kehormatan merupakan perkara yang paling mulia bagi seseorang, lebih dari harta.” [`Aun al-Ma`būd vol. XIII, hlm. 152.]

Dan yang lebih parah dari semua itu adalah pelecehan kehormatan terhadap seorang Muslim dalam hal agamanya. Imam al-Qurthubi berkata,

العلماء من أول الدهر من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم والتابعين بعدهم لم تكن الغيبة عندهم في شيء أعظم من الغيبة في الدين لأن عيب الدين أعظم العيب فكل مؤمن يكره أن يذكر في دينه أشد مما يكره في بدنه

“Ulama sejak awal masa para Sahabat Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—dan Tabi’īn setelah mereka menganggap bahwa tidak ada gunjingan yang lebih parah dibandingkan gunjingan yang berkaitan dengan agama (seseorang). Sebab aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib terberat. Setiap orang mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya daripada disinggung (cacat) tubuhnya.” [Tafsīr al-Qurthubi, vol. XVI, hlm. 282, tafsir QS. Al-Hujurāt [49]: 12.]

Bahaya lain yang tak kalah dahsyatnya dari melecehkan atau memvonis orang lain adalah bahwa vonis tersebut akan kembali kepada pengucapnya apabila pihak yang divonis ternyata tidak sebagaimana yang dikatakan.

Dari Abū Hurairah, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا

“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, ‘Hai kafir,’ maka sesungguhnya hal itu kembali kepada salah satu dari keduanya.” [Riwayat al-Bukhāri V/2263/5752.]
Dalam riwayat lain dari Ibn `Umar:

أَيُّمَا امْرِئْ قَالَ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ

“Siapa saja yang berkata saudaranya, ‘Hai kafir,’ maka sesungguhnya kalimat itu kembali kepada salah satu dari keduanya. Jika kondisinya adalah sebagaimana yang dikatakan, atau jika tidak maka kembali kepada pengucapnya.” [Riwayat Muslim I/79/60.]

Dalam lafal lain:

إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

“Jika seseorang mengafirkan saudaranya, maka sesungguhnya kalimat itu kembali kepada salah satu dari keduanya.” [Riwayat Muslim I/79/60.]

Dari Abū Dzarr, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,

وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوّ اللهِ وَلَيْسَ كَذلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang memanggil orang lain dengan kekufuran atau menyebutnya sebagai musuh Allah padahal tidak demikian adanya, melainkan hal tersebut akan kembali kepada yang mengucapkannya.” [Riwayat Muslim I/79/61.]


Dalam riwayat lain dari Abū Dzarr, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,

لاَ يَرْمِيْ رَجُلٌ رَجُلاً باِلْفُسُوْقِ وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذلِكَ

“Tidaklah seseorang melemparkan tuduhan kepada yang lain dengan kefasikan, dan tidak pula kekafiran, melainkan hal itu akan kembali kepadanya apabila yang dituduh ternyata tidak demikian.” [Riwayat al-Bukhāri V/2247/5698.]

Imam Ibn Hajar berkata, “Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa barangsiapa yang berkata kepada orang lain, ‘Engkau fasiq,’ atau, ‘Engkau kafir,’ jika yang dituduh tidak sebagaimana yang dikatakan maka si pengucap itulah yang berhak menyandang sifat tersebut; dan apabila yang dituduh adalah sebagaimana yang dikatakan, maka tuduhan tersebut tidak kembali kepada pengucapnya, karena ia benar atas yang dikatakannya. Namun tidak ada kelaziman bahwa meskipun si penuduh tidak menjadi fasiq atau kafir, bukan berarti ia tidak berdosa, dan dalam hal ini terdapat perincian.
“Jika si penuduh tersebut bermaksud untuk menasehati yang tertuduh atau menasahati orang lain tentang kondisi si tertuduh, maka hal tersebut dibolehkan. Namun jika ia bermaksud untuk mencela, mencemarkan nama baiknya dan semata-mata ingin menyakiti, maka hal itu tidak dibolehkan. Sebab yang bersangkutan diperintah untuk menutup aib saudaranya, mengajarinya dan menasehatinya dengan baik. Dan, selama memungkinkan bagi yang bersangkutan untuk bersikap lembut, maka ia tidak dibolehkan untuk melakukan kekerasan. Sebab, bisa jadi kekerasan itu menjadi sebab kesesatan pihak kedua atau terus-menerusnya ia di atas perbuatan lamanya, sebagaimana halnya tabiat kebanyakan manusia terhadap kekerasan. Terutama apabila yang memberi perintah itu tingkat kedudukannya masih berada di bawah yang diperintah.” [Fath al-Bāri vol. X, hlm. 466.]
Dari riwayat-riwayat dan penjelasan di atas dapat ditarik suatu prinsip umum bahwa apabila seorang Muslim menuduh saudaranya dengan suatu tuduhan yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya maka tuduhan tersebut akan kembali mengenai si pengucapnya. Termasuk juga dalam hal menuduh orang lain sebagai ahli bid`ah.

Setelah mensinyalir riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas, Syaikh al-Albāni berkata,


أريد أن ألحق به فأقول: من بدّع مسلما فإما أن يكون هذا المسلم مبتدعا، وإلا فهو المبتدع

“Saya ingin menambahkan maka saya katakan bahwa barangsiapa yang memvonis seorang muslim sebagai ahli bid`ah, maka bisa jadi yang divonis tersebut memang ahli bid`ah, atau jika tidak, maka orang yang memvonis itulah yang menjadi ahli bid`ah.” [Muzīl al-Ilbās fī al-Ahkām `alā an-Nās, hlm. 241, disusun oleh as-Sa`īd Ibn Shābir `Abduh, Dār al-Fadhīlah, cet. pertama, 1417 H. Dengarkan pula Silsilah al-Hudā wa an-Nūr, kaset no. 666.]

Ibn Taimiyyah berkata,

هذا مع أنى دائما ومن جالسنى يعلم ذلك منى انى من أعظم الناس نهيا عن أن ينسب معين الى تكفير وتفسيق ومعصية إلا اذا علم أنه قد قامت عليه الحجة الرسالية التى من خالفها كان كافرا تارة وفاسقا أخرى وعاصيا أخرى وانى أقرر أن الله قد غفر لهذه الأمة خطأها وذلك يعم الخطأ فى المسائل الخبرية القولية والمسائل العملية، وما زال السلف يتنازعون فى كثير من هذه المسائل ولم يشهد أحد منهم على أحد لا بكفر ولا بفسق ولا معصية

“Demikianlah, sementara saya senantiasa—dan orang-orang yang bermajelis dengan saya mengetahui hal tersebut—bahwa saya termasuk orang yang paling keras melarang menisbatkan person tertentu kepada kekurufan, kefasiqan dan maksiat, kecuali apabila telah diketahui bahwa telah ditegakkan atas yang bersangkutan hujjah risalah, di mana orang yang menyelisihi hal itu terkadang menjadi kafir, atau terkadang menjadi fasiq, atau terkadang menjadi pelaku maksiat. Dan saya menegaskan bahwa Allah telah mengampuni kekeliruan umat ini, di mana hal ini mencakup kekeliruan dalam masalah khabariyyah qauliyyah (keyakinan) maupun masalah amalan. Dan senantiasa Salaf saling silang pendapat pada banyak dari masalah-masalah tersebut, namun tidak seorang pun dari mereka yang bersaksi atas yang lain dengan kekufuran, kefasiqan dan kemaksiatan.
[Majmū` al-Fatāwā, vol. III, hlm. 229.]
 
Az-Zarqāni berkata,

لمثل هذا أربأ بنفسي وبك أن نتهم مسلما بالكفر أو البدعة والهوى لمجرد أنه خالفنا في رأي إسلامي نظري فإن الترامي بالكفر والبدعة من أشنع الأمور ولقد قرر علماؤنا أن الكلمة إذا احتملت الكفر من تسعة وتسعين وجها ثم احتملت الإيمان من وجه واحد حملت على أحسن المحامل وهو الإيمان وهذا موضوع مفروغ منه ومن التدليل عليه

“Untuk semisal hal ini, saya mewanti-wanti diri saya dan Anda dari menuduh seorang Muslim dengan kekufuran atau bid`ah dan hawa nafsu, hanya karena ia menyelisihi kita pada suatu pemikiran Islami teoritis. Sesungguhnya saling melemparkan tuduhan dengan kekufuran dan bid`ah termasuk seburuk-buruk perkara. Ulama kita telah menetapkan bahwa satu kata apabila mengandung kemungkinan kekufuran dari sembilan puluh sembilan sisi, akan tetapi mengandung kemungkinan keimanan dari satu sisi, maka dibawa kepada sebaik-baik kemungkinan, yaitu keimanan. Ini adalah tema yang telah selesai dibahas dan memiliki dalil yang kuat.” [Manāhil al-`Irfān fī `Ulūm al-Qur'ān, Muhammad `Abd al-`Azhīm az-Zarqāni, tahqīq Fawwāz Ahmad, Dār al-Kitāb al-`Arabi, Beirut, cet. pertama, 1415 H/1995 M, vol. II, hlm. 31.]

Ibn Taimiyyah berkata,


وليس لأحد ان يكفر أحدا من المسلمون وان أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين له المحجة ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك بل لا يزول الا بعد إقامة الحجة وازالة الشبهة

“Dan tidak seorang pun memiliki hak untuk mengafirkan orang lain dari kaum Muslim, meskipun ia melakukan salah dan galat, sampai ditegakkan atasnya hujjah dan menjadi jelas baginya kebenaran. Dan barangsiapa yang telah tetap keislamannya dengan keyakinan maka tidak dapat dihapuskan darinya keislaman tersebut dengan keraguan. Bahkan keislaman tersebut tidak hilang kecuali setelah ditegakkan hujjah dan dihilangkan syubhat.” [Majmū` al-Fatāwā, vol. XII, hlm. 466.]

Imam al-Ghazāli berkata,

والذي ينبغي أن يميل المحصِّل إليه الاحتراز من التكفير ما وجد إليه سبيلاً…. والخطأ في ترك ألف كافر في الحياة أهون من الخطأ في سفك مَحْجَمة من دم مسلم

“Hal yang seharusnya dijadikan kecenderungan oleh pembelajar adalah menghindari pengafiran (orang lain yang menyatakan dirinya sebagai Muslim) selama ia mendapatkan jalan untuk itu…. Dan kesalahan dalam membiarkan seribu orang (yang ternyata) kafir dalam kehidupan lebih ringan dibandingkan kesalahan dalam menumpahkan darah seorang Muslim.” [Al-Iqtishād fī aI-I`tiqād, hlm. 250-251, terbitan Universitas Ankara, Turki, tahun 1962 M. Lihat pula kitab yang sama dengan tahqīq Dr. Inshāf Ramadhān, Dār Qutaibah, Beirut, cet. pertama, 1423 H/2003 M, hlm. 176.]
Demikianlah, ketika seorang memvonis saudaranya sesama muslim dengan penyimpangan dalam hal agama, terlebih lagi dengan kekufuran, maka ia telah melakukan suatu pelecehan terberat, di mana jika vonis tersebut tidak benar maka akan kembali yang pengucapnya.
Kalaupun hendak memvonis orang lain sebagai ahli bid`ah, misalnya, maka hendaklah yang bersangkutan benar-benar mengetahui syarat dan batasan bid`ah serta ahli bid`ah (istīfā’ asy-syurūth wa intifā’ al-mawāni`), juga pertimbangan eksternal lainnya, semisal pertimbangan maslahat dan mudharat dalam pengambilan sikap kepada ahli bid`ah, dan bukan hanya sekedar ikut-ikutan kelompok atau ustadz semata. Sebab segala pendengaran, penglihatan dan hati akan dimintai pertanggungjawaban, terlebih lagi menyangkut hak dan kehormatan orang lain. Allāh `Azza wa Jalla berfirman,

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

“Dan janganlah kamu ikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” [QS. Al-Isrā' (17): 36]

Semoga ada manfaatnya.
Salam,