TEMPOR CYBER™  mengucapkan . . . MARHABAN YAA RAMADHON 1437 H

WELCOME TO TEMPOR CYBER™...

Tempor Cyber™ adalah situs informasi yang menyajikan berita-berita terkini,baik berita daerah,berita dalam negeri maupun berita luar negeri juga menyampaikan segudang berita gosip, dunia intertainment, tips trik komputer, dan lain sebagainya yang tentunya semata-mata untuk memanjakan anda sebagai pembaca.

BLACKBERRY MERAIH SUKSES DI INDONESIA

Kemampuan Playbook cukup hebat, wajar karena ia dipersiapkan untuk menjadi lawan bagi iPad 2. Menggunakan layar sentuh kapasitif, LCD 7 inch WSVGA yang memiliki resolusi 1024 x 600. Perangkat ini didukung penuh multi touch dan gesture.

Galaxy SII Ditarget Teruskan Kejayaan Galaxy S

Galaxy S II menggunakan sistem operasi Android 2.3 alias Gingerbread. Disertai prosesor 1,2 GHz dual core dan RAM 1 GB yang membuat performanya makin mulus. Selain itu masih ditambahi interface andalan Samsung yaitu TouchWiz versi 4.0, diharapkan memudahkan pengguna dalam mengoptimalkan Android 2.3 Gingerbread.

KAPOLDA JATENG KEDEPANKAN PENCEGAHAN,REDAM AKSI ANARKIS MASSA

Peragaan Sispamkota ini melibatkan 933 personil, baik dari unsur TNI/Polri maupun Satpol PP. Selain penanganan unjuk rasa, dalam kesempatan itu juga diperagakan simulasi penanganan teror bom.

LASKAR PELANGI MEMBEDAH DUNIA PENDIDIKAN

Menceritakan tentang persahabatan dan setia kawanan yang erat dan juga mencakup pentingnya pendidikan yang begitu mendalam. Serta kisahnya yang mengharukan.

IPAD-3 BAKAL PAKAI LAYAR RETINA DISPLAY??

iPhone generasi pertama hingga Apple 3GS memakai resolusi HVGA 320 x 480 pixel yang kemudian ditingkatkan 2 kalinya pada iPhone 4 menjadi 960 x 640 pixel. Sementara, pada iPad 3, tidak heran resolusinya yang saat ini sebesar 1024 x 768 juga telah dinaikkan menjadi dua kali yaitu 2048 x 1536 pixel

ARTI PERSAHABATAN SEBENARNYA

Satukan dua tangan yang lain menjadi satu genggaman yang kukuh bersama tuk meringankan beban antara satu dengan yang lain

ALON - ALON SIMPANG LIMA PATI-JATENG

Alon-alon Simpang Lima Pati nampak tenang pada siang hari,sungguh jauh berbeda kenyataannya kala malam hari yang penuh sesak dikunjungi para pedagang dan warga Pati tentunya.

PENYAMBUTAN PENGHARGAAN ADIPURA

Kabupaten Pati memperoleh perhargaan ADIPURA ini untuk kesekian kalinya.Sebagai warga Pati,kami sangat bangga terhadap penghargaan ini.Maju terus Kota Kelahiranku.

PRESIDEN SOESILO BAMBANG YUDHOYONO PIMPIN UPACARA DI ISTANA NEGARA

Peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Ri berlangsung khidmat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai inspektur upacara dalam upacara yang berlangsung di halaman Istana Merdeka.

Selasa, 01 September 2015

KISAH NYATA ; TELAT NIKAH

Aku sudah lulus dari kuliah dan sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus.
Lamaran kepada diriku untuk menikah juga mulai berdatangan, akan tetapi aku tidak mendapatkan seorangpun yang bisa membuatku tertarik.
Kemudian kesibukan kerja dan karir memalingkan aku dari segala hal yang lain. Hingga aku sampai berumur 34 tahun.
Ketika itulah aku baru menyadari bagaimana susahnya terlambat menikah.
Pada suatu hari datang seorang pemuda meminangku. Usianya lebih tua dariku 2 tahun. Dia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Tapi aku ikhlas menerima dirinya apa adanya.
Kami mulai menghitung rencana pernikahan. Dia meminta kepadaku photo copy KTP untuk pengurusan surat-surat pernikahan. Aku segera menyerahkan itu kepadanya.
Setelah berlalu dua hari ibunya menghubungiku melalui telepon. Beliau memintaku untuk bertemu secepat mungkin.
Aku segera menemuinya. Tiba-tiba ia mengeluarkan photo copyan KTPku. Dia bertanya kepadaku apakah tanggal lahirku yang ada di KTP itu benar?
Aku menjawab: Benar.
Lalu ia berkata: Jadi umurmu sudah mendekati usia 40 tahun?!
Aku menjawab: Usiaku sekarang tepatnya 34 tahun.
Ibunya berkata lagi: Iya, sama saja.
Usiamu sudah lewat 30 tahun.

Itu artinya kesempatanmu untuk memiliki anak sudah semakin tipis.
Sementara aku ingin sekali menimang cucu.
Dia tidak mau diam sampai ia mengakhiri proses pinangan antara diriku dengan anaknya.
Masa-masa sulit itu berlalu sampai 6 bulan.
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi melaksanakan ibadah umrah bersama ayahku, supaya aku bisa menyiram kesedihan dan kekecewaanku di Baitullah.
Akupun pergi ke Mekah.
Aku duduk menangis, berlutut di depan Ka’bah.
Aku memohon kepada Allah supaya diberi jalan terbaik.
Setelah selesai shalat, aku melihat seorang perempuan membaca al Qur’an dengan suara yang sangat merdu.
Aku mendengarnya lagi mengulang-ulang ayat:

(وكان فضل الله عليك عظيما)
“Dan karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar”.
(An Nisa’: 113)
Air mataku menetes dengan derasnya mendengar lantunan ayat itu.
Tiba-tiba perempuan itu merangkulku ke pangkuannya.
Dan ia mulai mengulang-ulang firman Allah:

(ولسوف يعطيك ربك فترضي)
“Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas”.
(Adh Dhuha: 5)

 
Demi Allah, seolah-olah aku baru kali itu mendengar ayat itu seumur hidupku. Pengaruhnya luar biasa, jiwaku menjadi tenang.
Setelah seluruh ritual umrah selesai, aku kembali ke Cairo.
Di pesawat aku duduk di sebelah kiri ayahku, sementara disebelah kanan beliau duduk seorang pemuda.
Sesampainya pesawat di bandara, akupun turun.
Di ruang tunggu aku bertemu suami salah seorang temanku.
Kami bertanya kepadanya, dalam rangka apa ia datang ke bandara?
Dia menjawab bahwa ia lagi menunggu kedatangan temannya yang kembali dengan pesawat yang sama dengan yang aku tumpangi.
Hanya beberapa saat, tiba-tiba temannya itu datang.
Ternyata ia adalah pemuda yang duduk di kursi sebelah kanan ayahku tadi.
Baru saja aku sampai di rumah dan ganti pakaian, lagi asik-asik istirahat, temanku yang suaminya tadi aku temui di bandara menelphonku.

Langsung saja ia mengatakan bahwa teman suaminya yang tadi satu pesawat denganku sangat tertarik kepada diriku.
Dia ingin bertemu denganku di rumah temanku tersebut malam itu juga.
Alasannya, kebaikan itu perlu disegerakan.
Jantungku berdenyut sangat kencang akibat kejutan yang tidak pernah aku bayangkan ini.
Lalu aku meminta pertimbangan ayahku terhadap tawaran suami temanku itu.
Beliau menyemangatiku untuk mendatanginya.
Boleh jadi dengan cara itu Allah memberiku jalan keluar.
Akhirnya…..aku pun datang berkunjung ke rumah temanku itu.
Hanya beberapa hari setelah itu pemuda tadi sudah datang melamarku secara resmi.
Dan hanya satu bulan setengah setelah pertemuan itu kami betul-betul sudah menjadi pasangan suami-istri.
Jantungku betul-betul mendenyutkan harapan kebahagiaan.
Kehidupanku berkeluarga dimulai dengan keoptimisan dan kebahagiaan.

Aku mendapatkan seorang suami yang betul-betul sesuai dengan harapanku.
Dia seorang yang sangat baik, penuh cinta, lembut, dermawan, punya akhlak yang subhanallah, ditambah lagi keluarganya yang sangat baik dan terhormat.
Namun sudah beberapa bulan berlalu belum juga ada tanda-tanda kehamilan pada diriku.
Perasaanku mulai diliputi kecemasan.
Apalagi usiaku waktu itu sudah memasuki 36 tahun.
Aku minta kepada suamiku untuk membawaku memeriksakan diri kepada dokter ahli kandungan.
Aku khawatir kalau-kalau aku tidak bisa hamil.
Kami pergi untuk periksa ke seorang dokter yang sudah terkenal dan berpengalaman.
Dia minta kepadaku untuk cek darah.
Ketika kami menerima hasil cek darah, ia berkata bahwa tidak ada perlunya aku melanjutkan pemeriksaan berikitnya, karena hasilnya sudah jelas.
Langsung saja ia mengucapkan “Selamat, anda hamil!”
Hari-hari kehamilanku pun berlalu dengan selamat, sekalipun aku mengalami kesusahan yang lebih dari orang biasanya.
Barangkali karena aku hamil di usia yang sudah agak berumur.
Sepanjang kehamilanku, aku tidak punya keinginan mengetahui jenis kelamin anak yang aku kandung.
Karena apapun yang dikaruniakan Allah kepadaku semua adalah nikmat dan karunia-Nya.
Setiap kali aku mengadukan bahwa rasanya kandunganku ini terlalu besar, dokter itu menjawab:
Itu karena kamu hamil di usia sudah sampai 36 tahun.
Selanjutnya datanglah hari-hari yang ditunggu, hari saatnya melahirkan.
Proses persalinan secara caesar berjalan dengan lancar.
Setelah aku sadar, dokter masuk ke kamarku dengan senyuman mengambang di wajahnya sambil bertanya tentang jenis kelamin anak yang aku harapkan.
Aku menjawab bahwa aku hanya mendambakan karunia Allah.
Tidak penting bagiku jenis kelaminnya. Laki-laki atau perempuan akan aku sambut dengan beribu syukur .

Aku dikagetkan dengan pernyataannya:
“Jadi bagaimana pendapatmu kalau kamu memperoleh Hasan, Husen dan Fatimah sekaligus?
Aku tidak paham apa gerangan yang ia bicarakan.
Dengan penuh penasaran aku bertanya apa yang ia maksudkan?
Lalu ia menjawab sambil menenangkan ku supaya jangan kaget dan histeris bahwa Allah telah mengaruniaku 3 orang anak sekaligus. 2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan.
Seolah-olah Allah berkeinginan memberiku 3 orang anak sekaligus untuk mengejar ketinggalanku dan ketuaan umurku.
Sebenarnya dokter itu tahu kalau aku mengandung anak kembar 3, tapi ia tidak ingin menyampaikan hal itu kepadaku supaya aku tidak merasa cemas menjalani masa-masa kehamilanku.
Lantas aku menangis sambil mengulang-ulang ayat Allah:

(ولسوف يعطيك ربك فترضى)
“Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas”. (Adh Dhuha: 5)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

(وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا )
“Dan bersabarlah menunggu ketetapan Tuhanmu, karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami…”
(Ath Thur: 48)
Bacalah ayat ini penuh tadabbur dan penghayatan, terus berdoalah dengan hati penuh yakin bahwa Allah tidak pernah dan tidak akan pernah menelantarkanmu.
Jika menurut kalian, artikel ini bermanfaat.
Silakan di-share untuk teman Anda,sahabat Anda, keluarga Anda, atau bahkan orang yang tidak Anda kenal sekalipun.Jika mereka tergerak hatinya untuk menghidupkan Al-Quran di tempat tinggalnya setelah membaca
artikel yang Anda share, maka semoga Anda juga mendapatkan balasan pahala yang berlimpah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Aamiin
Ada 2 pilihan untuk Anda:
1. Biarkan di dalam BBM, catatan atau pikiran Anda
tanpa bermanfaat untuk orang lain.
2. Anda sebarkan pada semua kenalan anda. Rasulullah SAW
bersabda, “Barangsiapa yang menyampaikan 1 (satu) ilmu saja
dan ada orang yang mengamalkan, maka walaupun yang menyampaikan
sudah tiada (meninggal dunia), dia akan tetap memperoleh pahala .

sumber ; korea selatan club

Kamis, 04 Agustus 2011

BILA ISTRI TIDAK LAGI MEMATUHI SUAMI

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. 
Istri yang tidak mau menuruti perkataan suami, bahkan selalu membantah setiap perintahnya dapat dikategorikan sebagai tindakan nusuz. Dan wanita tersebut dianggap berdosa karena tindakannya tersebut. Karena sebagai istri ia harus mentaati segala perintah suaminya, selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan perintah Alloh dan Rasulullah-Nya. Dalam Al-Qur’an Alloh SWT berfirman:
 
 الرِّ‌جَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّـهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّـهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُ‌وهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِ‌بُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرً‌ا

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Alloh Maha Tinggi lagi maha Besar.” (An-Nisaa: 34) 

وَإِنِ امْرَ‌أَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَ‌اضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ‌ ۗ وَأُحْضِرَ‌تِ الْأَنفُسُ الشُّحَّ ۚ وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّـهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرً‌ا 

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu, maka sesungguhnya Alloh adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” 
 (An-Nisaa: 128) 

Dalam surat An-Nisaa ayat 34 di atas, Alloh menjelaskan tentang kedudukan suami sebagai pemimpin keluarga dan juga menjelaskan tentang kewajiban istri untuk mentaati suami. Jika ternyata dalam realita terjadi nusuz dari pihak istri terhadap suami dengan tidak mengindahkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya, maka Islam mengajarkan langka-langkah yang harus dilakukan oleh suami sebagai pemimpin untuk mengarahkan istri kembali ke jalan yang benar. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut: 

Pertama: Hendaklah sang suami menasehati istrinya dengan sebaik-baiknya, seraya mengingatkannya akan kewajiban-kewajiban yang mesti dijalankannya serta mengingatkan bahwa Alloh SWT menjanjikan pahala yang besar jika ia mampu menunaikannya dan siksaan yang sangat pedih jika ia melanggarnya. 

Kedua: Memisahkan istri dari tempat tidurnya atau membelakanginya ketika tidur, sebagai sebuah pelajaran dari suami. Biasanya seorang istri akan merasa tersisksa jika suami memperlakukan demikian karena seakan-akan suami sudah tidak memperhatikannya lagi 

Ketiga: Ini adalah langkah yang terakhir, jika langkah pertama dan kedua sudah tidak mempan lagi untuk menyadarkan istri. Suami boleh memukul istrinya dengan maksud untuk menyadarkan istri akan keawiban-kewajibannya. Dengan syarat hal tersebut tidak dilakukan dengan penuh amarah dan kebencian, namun didasari kecintaan suami untuk menyadarkan si istri. Langkah yang ketiga ini harus dilakukan sebagai alternatif terakhir jika isteri belum sadar juga, dan harus dilakukan dengan hati-hati jangan sampai membuat isterinya celaka. Dan perlu diingat bahwasnya pukulan yang diperbolehkan adalah pukulan yang tidak membekas di tubuh istri sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah SAW dan para ulama. 

Wallahu a‘lam bishshowab. Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

MENYIKAPI ISTRI DURHAKA

Assalamu alaikum wr.wb.
Istri yang tidak mau menuruti perkataan suami, bahkan selalu membantah setiap perintahnya yang benar dari sisi syariat maka dapat dikategorikan sebagai isteri yang telah berbuat nusyuz (durhaka). Ia dianggap berdosa karena sebagai istri ia harus mentaati segala perintah suaminya, selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Bagaimana menyikapi wanita yang durhaka? tidak harus dengan langsung menceraikannya. Namun yang perlu dilakukan sebagaimana petunjuk Allah dalam Alquran,
الرِّ‌جَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّـهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّـهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُ‌وهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِ‌بُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرً‌ا
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi maha Besar.” (An-Nisaa: 34)
Dalam surat An-Nisaa ayat 34 di atas, Allah menjelaskan tentang kedudukan suami sebagai pemimpin keluarga dan juga menjelaskan tentang kewajiban istri untuk mentaati suami. Jika ternyata dalam realita terjadi nusuz dari pihak istri terhadap suami dengan tidak mengindahkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya, maka Islam mengajarkan langka-langkah yang harus dilakukan oleh suami sebagai pemimpin untuk mengarahkan istri kembali ke jalan yang benar. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama: Hendaklah sang suami menasehati istrinya dengan cara yang baik, seraya mengingatkannya akan kewajiban-kewajiban yang mesti dijalankannya serta mengingatkan bahwa Allah SWT menjanjikan pahala yang besar jika ia mampu menunaikannya dan siksaan yang sangat pedih jika ia melanggarnya.
Kedua: Memisahkan istri dari tempat tidurnya atau membelakanginya ketika tidur, sebagai sebuah pelajaran dari suami. Biasanya seorang istri akan merasa tersiksa jika suami memperlakukan demikian karena seakan-akan suami sudah tidak memperhatikannya lagi.
Ketiga: Ini adalah langkah yang terakhir, jika langkah pertama dan kedua sudah tidak mempan lagi untuk menyadarkan istri. Suami boleh memukul istrinya dengan maksud untuk menyadarkan istri akan keawiban-kewajibannya. Dengan syarat hal tersebut tidak dilakukan dengan penuh amarah dan kebencian, namun didasari kecintaan suami untuk menyadarkan si istri. Langkah yang ketiga ini harus dilakukan sebagai alternatif terakhir jika isteri belum sadar juga, dan harus dilakukan dengan hati-hati jangan sampai membuat isterinya celaka. Dan perlu diingat bahwasnya pukulan yang diperbolehkan adalah pukulan yang tidak membekas dan tidak melukai tubuh istri.
Jika ketiga langkah di atas telah dilakukan namun tidak membuahkan hasil, maka perlu adanya seorang mediator untuk memberikan nasihat dan perbaikan. Allah befirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِ‌يدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّـهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرً‌ا

"Jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud memberikan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu." (QS an-Nisa: 35)
Jika semua cara sudah ditempuh tetapi sikap isteri masih tetap tidak berubah, maka talak merupakan jalan terakhir yang  bisa Anda tempuh. Semoga Allah memberikan yang terbaik.
Wallahu a‘lam bishshowab.
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

POLIGAMI YANG BENAR

Bahawa beberapa ulama, setelah meninjau ayat-ayat tentang poligami, mereka telah menetapkan bahawa menurut asalnya, Islam sebenamya ialah monogami. Terdapat ayat yang mengandungi ugutan serta peringatan agar tidak disalah gunakan poligami itu di tempat-tempat yang tidak wajar. Ini semua bertujuan supaya tidak terjadinya kezaliman. Tetapi, poligami diperbolehkan dengan syarat ia dilakukan pada masa-masa terdesak untuk mengatasi perkara yang tidak dapat diatasi dengan jalan lain. Atau dengan kata lain bahawa poligami itu diperbolehkan oleh Islam dan tidak dilarang kecuali jikalau dikhuatirkan bahawa kebaikannya akan dikalahkan oleh keburukannya.

Jadi, sebagaimana talaq, begitu jugalah halnya dengan poligami yang diperbolehkan kerana hendak mencari jalan keluar dari kesulitan. Islam memperbolehkan umatnya berpoligami berdasarkan nas-nas syariat serta realiti keadaan masyarakat. Ini bererti ia tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenangnya demi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Islam, demi untuk menjaga ketinggian budi pekerti dan nilai kaum Muslimin.
Oleh yang demikian, apabila seorang lelaki akan berpoligami, hendaklah dia memenuhi syarat-syarat sebagai berikut;

1. Membatasi jumlah isteri yang akan dikahwininya. Syarat ini telah disebutkan oleh Allah (SWT) dengan firman-Nya;

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُ‌بَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا 

"Maka berkahwinlah dengan sesiapa yang kamu ber-kenan dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga atau empat." (Al-Qur'an, Surah an-Nisak ayat 3)

Ayat di atas menerangkan dengan jelas bahawa Allah telah menetapkan seseorang itu berkahwin tidak boleh lebih dari empat orang isteri. Jadi, Islam membatasi kalau tidak beristeri satu, boleh dua, tiga atau empat sahaja.
Pembatasan ini juga bertujuan membatasi kaum lelaki yang suka dengan perempuan agar tidak berbuat sesuka hatinya. Di samping itu, dengan pembatasan empat orang isteri, diharapkan jangan sampai ada lelaki yang tidak menemukan isteri atau ada pula wanita yang tidak menemukan suami. Mungkin, kalau Islam membolehkan dua orang isteri saja, maka akan banyak wanita yang tidak menikah. Kalau pula dibolehkan lebih dari empat, mungkin terjadi banyak lelaki tidak memperolehi isteri.

2. Diharamkan bagi suami mengumpulkan wanita-wanita yang masih ada tali persaudaraan menjadi isterinya. Misalnya, berkahwin dengan kakak dan adik, ibu dan anaknya, anak saudara dengan emak saudara baik sebelah ayah mahupun ibu.
Tujuan pengharaman ini ialah untuk menjaga silaturrahim antara anggota-anggota keluarga. Rasulullah (s.a.w.) bersabda, maksudnya;

"Sesungguhnya kalau kamu berbuat yang demikian itu, akibatnya kamu akan memutuskan silaturrahim di antara sesama kamu." (Hadis riwayat Bukhari & Muslim)
Kemudian dalam hadis berikut, Rasulullah (s.a.w.) juga memperkuatkan larangan ini, maksudnya;
Bahawa Urnmu Habibah (isteri Rasulullah) mengusulkan agar baginda menikahi adiknya. Maka beliau menjawab; "Sesungguhnya dia tidak halal untukku." (Hadis riwayat Bukhari dan Nasa'i)
Seorang sahabat bernama Fairuz Ad-Dailamy setelah memeluk agama Islam, beliau memberitahu kepada Rasulullah bahawa beliau mempunyai isteri yang kakak beradik. Maka Rasulullah menyuruhnya memilih salah seorang di antara mereka dan menceraikan yang satunya lagi. Jadi telah disepakati tentang haramnya mengumpulkan kakak beradik ini di dalam Islam.

3. Disyaratkan pula berlaku adil, sebagaimana yang difirmankan Allah (SWT);
"Kemudian jika kamu bimbang tidak dapat berlaku adil (di antara isteri-isteri kamu), maka (kahwinlah dengan) seorang sahaja, atau (pakailah) hamba-hamba perempuan yang kaumiliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat (untuk mencegah) supaya kamu tidak melakukan kezaliman."  

(Al-Qur'an, Surah an-Nisak ayat 3)
Dengan tegas diterangkan serta dituntut agar para suami bersikap adil jika akan berpoligami. Andaikan takut tidak dapat berlaku adil kalau sampai empat orang isteri, cukuplah tiga orang sahaja. Tetapi kalau itupun masih juga tidak dapat adil, cukuplah dua sahaja. Dan kalau dua itu pun masih khuatir tidak boleh berlaku adil, maka hendaklah menikah dengan seorang sahaja.
Para mufassirin berpendapat bahawa berlaku adil itu wajib. Adil di sini bukanlah bererti hanya adil terhadap para isteri sahaja, tetapi mengandungi erti berlaku adil secara mutlak. Oleh kerana itu seorang suami hendaklah berlaku adil sebagai berikut:


a) Berlaku adil terhadap dirinya sendiri.
Seorang suami yang selalu sakit-sakitan dan mengalami kesukaran untuk bekerja mencari rezeki, sudah tentu tidak akan dapat memelihara beberapa orang isteri. Apabila dia tetap berpoligami, ini bererti dia telah menganiayai dirinya sendiri. Sikap yang demikian adalah tidak adil.
b) Adil di antara para isteri.
Setiap isteri berhak mendapatkan hak masing-masing dari suaminya, berupa kemesraan hubungan jiwa, nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain perkara yang diwajibkan Allah kepada setiap suami.
Adil di antara isteri-isteri ini hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah dalam Surah an-Nisak ayat 3 dan juga sunnah Rasul. Rasulullah (s.a.w.) bersabda, maksudnya;
"Barangsiapa yang mempunyai dua isteri, lalu dia cenderung kepada salah seorang di antaranya dan tidak berlaku adil antara mereka berdua, maka kelak di hari kiamat dia akan datang dengan keadaan pinggangnya miring hampir jatuh sebelah." (Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal)

i) Adil memberikan nafkah.
Dalam soal adil memberikan nafkah ini, hendaklah si suami tidak mengurangi nafkah dari salah seorang isterinya dengan alasan bahawa si isteri itu kaya atau ada sumber kewangannya, kecuali kalau si isteri itu rela. Suami memang boleh menganjurkan isterinya untuk membantu dalam soal nafkah tetapi tanpa paksaan. Memberi nafkah yang lebih kepada seorang isteri dari yang lain-lainnya diperbolehkan dengan sebab-sebab tertentu. Misalnya, si isteri tersebut sakit dan memerlukan biaya rawatan sebagai tambahan.
Prinsip adil ini tidak ada perbezaannya antara gadis dan janda, isteri lama atau isteri baru, isteri yang masih muda atau yang sudah tua, yang cantik atau yang tidak cantik, yang berpendidikan tinggi atau yang buta huruf, kaya atau miskin, yang sakit atau yang sihat, yang mandul atau yang dapat melahirkan. Kesemuanya mempunyai hak yang sama sebagai isteri.
ii) Adil dalam menyediakan tempat tinggal.
Selanjutnya, para ulama telah sepakat mengatakan bahawa suami bertanggungjawab menyediakan tempat tinggal yang tersendiri untuk tiap-tiap isteri berserta anak-anaknya sesuai dengan kemampuan suami. Ini dilakukan semata-mata untuk menjaga kesejahteraan isteri-isteri, jangan sampai timbul rasa cemburu atau pertengkaran yang tidak diingini.


iii) Adil dalam giliran.
Demikian juga, isteri berhak mendapat giliran suaminya menginap di rumahnya sama lamanya dengan waktu menginap di rumah isteri-isteri yang lain. Sekurang-kurangnya si suami mesti menginap di rumah seorang isteri satu malam suntuk tidak boleh kurang. Begitu juga pada isteri-isteri yang lain. Walaupun ada di antara mereka yang dalam keadaan haidh, nifas atau sakit, suami wajib adil dalam soal ini. Sebab, tujuan perkahwinan dalam Islam bukanlah semata-mata untuk mengadakan 'hubungan seks' dengan isteri pada malam giliran itu, tetapi bermaksud untuk menyempumakan kemesraan, kasih sayang dan kerukunan antara suami isteri itu sendiri. Hal ini diterangkan Allah dengan firman-Nya;
"Dan di antara tanda-tanda yang membuktikan kekuasaan-Nya, dan rahmat-Nya, bahawa la menciptakan untuk kamu (wahai kaum lelaki), isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya, dan dijadikan-Nya di antara kamu (suami isteri) perasaan kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang yang berfikir." (Al-Qur'an, Surah ar-Ruum ayat 21)
Andaikan suami tidak bersikap adil kepada isteri-isterinya, dia berdosa dan akan menerima seksaan dari Allah (SWT) pada hari kiamat dengan tanda-tanda berjalan dalam keadaan pinggangnya miring. Hal ini akan disaksikan oleh seluruh umat manusia sejak Nabi Adam sampai ke anak cucunya.
Firman Allah (SWT) dalam Surah az-Zalzalah ayat 7 hingga 8;
"Maka sesiapa berbuat kebajikan seberat zarrah, nescaya akan dilihatnya (dalam surat amalnya)! Dan sesiapa berbuat kejahatan seberat zarrah, nescaya akan dilihatnya (dalam surat amalnya)."
c) Anak-anak juga mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan, pemeliharaan serta kasih sayang yang adil dari seorang ayah.
Oleh itu, disyaratkan agar setiap suami yang berpoligami tidak membeza-bezakan antara anak si anu dengan anak si anu. Berlaku adil dalam soal nafkah anak-anak mestilah diperhatikan bahawa nafkah anak yang masih kecil berbeza dengan anak yang sudah besar. Anak-anak perempuan berbeza pula dengan anak-anak lelaki. Tidak kira dari ibu yang mana, kesemuanya mereka berhak memiliki kasih sayang serta perhatian yang seksama dari bapa mereka. Jangan sampai mereka diterlantarkan kerana kecenderungan si bapa pada salah seorang isteri serta anak-anaknya sahaja.
Keadilan juga sangat dituntut oleh Islam agar dengan demikian si suami terpelihara dari sikap curang yang dapat merosakkan rumahtangganya. Seterusnya, diharapkan pula dapat memelihara dari terjadinya cerai-berai di antara anak-anak serta menghindarkan rasa dendam di antara sesama isteri.
Sesungguhnya kalau diperhatikan tuntutan syarak dalam hal menegakkan keadilan antara para isteri, nyatalah bahawa sukar sekali didapati orang yang sanggup menegakkan keadilan itu dengan sewajarnya.
Bersikap adil dalam hal-hal menzahirkan cinta dan kasih sayang terhadapisteri-isteri, adalah satu tanggungjawab yang sangat berat. Walau bagaimanapun, ia termasuk perkara yang berada dalam kemampuan manusia. Lain halnya dengan berlaku adil dalam soal kasih sayang, kecenderungan hati dan perkara-perkara yang manusia tidak berkesanggupan melakukannya, mengikut tabiat semulajadi manusia.
Hal ini sesuai dengan apa yang telah difirmankan Allah dalam Surah an-Nisak ayat 129 yang berbunyi;

وَلَن تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَ‌صْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُ‌وهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ وَإِن تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّـهَ كَانَ غَفُورً‌ا رَّ‌حِيمًا 

"Dan kamu tidak sekali-kali akan sanggup berlaku adil di antara isteri-isteri kamu sekalipun kamu bersungguh-sungguh (hendak melakukannya); oleh itu janganlah kamu cenderung dengan melampau-lampau (berat sebelah kepada isteri yang kamu sayangi) sehingga kamu biarkan isteri yang lain seperti benda yang tergantung (di awang-awang)."
Selanjutnya Siti 'Aisyah (r.a.) menerangkan, maksudnya;
Bahawa Rasulullah (s.a.w.) selalu berlaku adil dalam mengadakan pembahagian antara isteri-isterinya. Dan beliau berkata dalam doanya: "Ya Allah, inilah kemampuanku membahagi apa yang ada dalam milikku. Ya Allah, janganlah aku dimarahi dalam membahagi apa yang menjadi milikku dan apa yang bukan milikku."
Menurut Prof. Dr. Syeikh Mahmoud Syaltout; "Keadilan yang dijadikan syarat diperbolehkan poligami berdasarkan ayat 3 Surah an-Nisak. Kemudian pada ayat 129 Surah an-Nisak pula menyatakan bahawa keadilan itu tidak mungkin dapat dipenuhi atau dilakukan. Sebenamya yang dimaksudkan oleh kedua ayat di atas ialah keadilan yang dikehendaki itu bukanlah keadilan yang menyempitkan dada kamu sehingga kamu merasakan keberatan yang sangat terhadap poligami yang dihalalkan oleh Allah. Hanya saja yang dikehendaki ialah jangan sampai kamu cenderung sepenuh-penuhnya kepada salah seorang sahaja di antara para isteri kamu itu, lalu kamu tinggalkan yang lain seperti tergantung-gantung."
Kemudian Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shidieqy pula menerangkan; "Orang yang boleh beristeri dua ialah yang percaya benar akan dirinya dapat berlaku adil, yang sedikit pun tidak akan ada keraguannya. Jika dia ragu, cukuplah seorang sahaja."
"Adil yang dimaksudkan di sini ialah 'kecondongan hati'. Dan ini tentu amat sulit untuk dilakukan, sehingga poligami adalah suatu hal yang sukar untuk dicapai. Jelasnya, poligami itu diperbolehkan secara darurat bagi orang yang benar-benar percaya dapat berlaku adil."
Selanjutnya beliau menegaskan, jangan sampai si suami membiarkan salah seorang isterinya terkatung-katung, digantung tak bertali. Hendaklah disingkirkan sikap condong kepada salah seorang isteri yang menyebabkan seorang lagi kecewa. Adapun condong yang dimaafkan hanyalah condong yang tidak dapat dilepaskan oleh setiap individu darinya, iaitu condong hati kepada salah seorangnya yang tidak membawa kepada mengurangkan hak yang seorang lagi.
Afif Ab. Fattah Tabbarah dalam bukunya Ruhuddinil Islami mengatakan; "Makna adil di dalam ayat tersebut ialah persamaan; yang dikehendaki ialah persamaan dalam hal pergaulan yang bersifat lahir seperti memberi nafkah, tempat tinggal, tempat tidur, dan layanan yang baik, juga dalam hal menunaikan tanggungjawab sebagai suami isteri."

4. Tidak menimbulkan huru-hara di kalangan isteri mahupun anak-anak. Jadi, suami mesti yakin bahawa perkahwinannya yang baru ini tidak akan menjejaskan serta merosakkan kehidupan isteri serta anak-anaknya. Kerana, diperbolehkan poligami dalam Islam adalah untuk menjaga kepentingan semua pihak. Jika kepentingan ini tidak dapat dijaga dengan baik, maka seseorang yang berpoligami pada saat itu adalah berdosa.
5. Berkuasa menanggung nafkah. Yang dimaksudkan dengan nafkah di sini ialah nafkah zahir, sebagaimana Rasulullah (s.a.w.) bersabda yang bermaksud;

"Wahai sekalian pemuda, sesiapa di antara kamu yang berkuasa mengeluarkan nafkah, maka hendaklah kamu berkahwin. Dan sesiapa yang tidak berkuasa, hendaklah berpuasa."
Hadis di atas menunjukkan bahawa Rasulullah (s.a.w.) menyuruh setiap kaum lelaki supaya berkahwin tetapi dengan syarat sanggup mengeluarkan nafkah kepada isterinya. Andaikan mereka tidak berkemampuan, maka tidak digalakkan berkahwin walaupun dia seorang yang sihat zahir serta batinnya. Oleh itu, untuk menahan nafsu seksnya, dianjurkan agar berpuasa. Jadi, kalau seorang isteri saja sudah kepayahan untuk memberi nafkah, sudah tentulah Islam melarang orang yang demikian itu berpoligami. Memberi nafkah kepada isteri adalah wajib sebaik sahaja berlakunya suatu perkahwinan, ketika suami telah memiliki isteri secara mutlak. Begitu juga si isteri wajib mematuhi serta memberikan perkhidmatan yang diperlukan dalam pergaulan sehari-hari.
Kesimpulan dari maksud kemampuan secara zahir ialah;

i) Mampu memberi nafkah asas seperti pakaian dan makan minum.
ii) Mampu menyediakan tempat tinggal yang wajar.
iii) Mampu menyediakan kemudahan asas yang wajar seperti pendidikan dan sebagainya.
iv) Sihat tubuh badannya dan tidak berpenyakit yang boleh menyebabkan ia gagal memenuhi tuntutan nafkah zahir yang lain.
v) Mempunyai kemampuan dan keinginan seksual.

MAKNA MAHAR ATAU MAS KAWIN

Pertanyaan:

Mohon dijelaskan (berikut dalilnya) mengapa seorang lelaki harus membayar mahar saat menikahi wanita; apakah jika terjadi perceraian, mahar tersebut harus dikembalikan kepada si lelaki?

Jawaban:

Assalamualaikum Wr. Wb. 
Mahar atau dalam istilah kita dikenal sebagai maskawin merupakan suatu pemberian yang wajib diberikan oleh suami kepada istrinya ketika aqad nikah. Adapun dalil-dalil yang menunjukan kewajiban tersebut, antara lain; 
A. Firman Alloh SWT:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِ‌يئًا
“Berikanlah mahar kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (Qs.an-Nisaa: 4)  

B. Firman Alloh SWT: 

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّـهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَ‌اءَ ذَٰلِكُمْ أَن تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ‌ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَ‌هُنَّ فَرِ‌يضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَ‌اضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِ‌يضَةِ ۚ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا ﴿٢٤

“Maka isteri-isteri yang telah kamu campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban” (an-Nisaa: 24) 

C. Sabda Rasulullah SAW kepada orang yang akan menikah: 
“Carilah olehmu (untuk menjadi mahar) walaupun hanya cincin besi” 
 (Nailul Authar 6/170) 

Sedangkan hikmah disyariatkannya pemberian mahar dalam pernikahan Adalah untuk menunjukkan kesakralan aqad pernikahan, dan menghormati kedudukan wanita dan pihak keluarganya di samping itu mahar juga bisa menjadi pertanda atas kesungguhan niat baik pihak laki-laki untuk membangun mahligai rumah tangga. Mahar ini sebagaimana dikemukakan di atas hanya diwajibakan kepada pihak laki-laki, karena hal tersebut sesuai dengan titik awal pensyariatan dalam islam bahwa perempuan tidak dibebani dengan kewajiban memberi nafkah baik sebagai ibu, anak maupun istri. Akan tetapi pihak laki-lakilah yang diberi kewajiban tersebut baik itu memberi nafkah maupun mahar. Karena laki-laki lebih mampu untuk berusaha dan bekerja mencari rizki, sedangkan hal tersebut bukan lah suatu tanggung jawab yang mudah atau enteng. 

Jika yang meminta cerai adalah pihak suami (thalak) maka isteri tidak bekewajiban untuk mengembalikan mahar tersebut. Sedangkan jika pihak istri yang meminta cerai (khulu’) maka ia wajib mengembalikan pemberian suami tersebut kepadanya. Hal itu berdasarkan hadits di bawah ini Dari Ibnu ‘Abbas RA: “Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata: “wahai Rasulullah, aku tidak mencelanya (Tsabit) dalam hal akhlaknya maupun agamanya, akan tetapi aku benci kekufuran (karena tidak mampu menunaikan kewajibannya) dalam Islam” Maka Rasulullah SAW berkata padanya: “Apakah kamu mengembalikan pada suamimu kebunnya? Wanita itu menjawab: ia. Maka Rasulullah SAW berkata kepada Tsabit: “terimalah kebun tersebut dan ceraikanlah ia 1 kali talak” (HR Bukhori, Nasa’y dan Ibnu Majah. Nailul Authar 6/246) 

Wallahu a‘lam bishshowab. Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Tidak boleh Serumah dengan Isteri

Assalamu alaikum wr.wb.

Pak Ustadz, saya sudah menikah selama kurang lebih 2 tahunan tp pernikahan saya dilakukan di bawah tangan dengan disaksikan kedua orang tua kami, tp setelah menikah saya tidak diperbolehkan untuk tinggal 1 rumah dengan istri pd waktu itu di karenakan istri saya masih study, tp setelah kelar study saya pun malah tidak diperbolehkan lg tingal 1 rumah dengan istri saya, tp pihak keluarga istri saya sll menuntut nafkah dari saya.

Bagaimana saya mau ikhlas dalam memberi nafkah sedangkan saya selalu dilarang untuk tinggal dalam 1 rumah dengan istri saya. Yang saya mau tanyakan apakah saya berhak tidak memberi nafkah istri saya atau tidak...??

Jawaban

Assalamu alaikum wr.wb.
Yang perlu pertama-tama Anda lakukan adalah mengetahui alasan sesungguhnya dari orang tua melarang anaknya tinggal satu rumah dengan Anda sebagai suami? jika alasan orang tua dibenarkan oleh agama atau syar'i, maka tidak mengapa ia melakukan tindakan tersebut, Namun jika tidak ada alasan syar'i, apalagi Anda sebagai suami tidak rida dengan kondisi tersebut maka tindakan orang tua sama sekali tidak bisa dibenarkan. Orang tua tidak boleh melarang anaknya berkumpul dengan sang suami yang memang berhak atasnya.

Terkait dengan pemberian nafkah, maka pada dasarnya suami wajib memberikan nafkah pada isteri dan anaknya. Namun dalam kondisi sang isteri melakukan tindakan nusyuz (durhaka), tidak mau menaati keinginan dan permintaan suami yang tidak bertentangan dengan rambu agama, maka dalam kondisi demikian suami tidak wajib memberikan nafkah kepada isterinya.

Karena itu, hendaknya Anda mencari solusi yang bijak dan tepat. Misalnya dengan menghadirkan mediator yang bisa menengahi, menasihati, dan memperbaiki keadaan rumah tangga Anda. Serta Anda perlu banyak berdoa agar Allah memberikan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Wallahu a'lam bish-shawab.
Wassalamu alaikum wr.wb.

Konfirmasi Pernikahan Beda Agama

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Saya hanya ingin mengkonfirmasi pernyataan yang dimuat sebelumnya yakni: Lepas dari masalah anak di sisi Allah dan juga status formalnya, sebenarnya perkawinan beda agama dimana yang non-muslim adalah suami, maka pernikahan itu tidak syah menurut Islam. Kalau saya menafsirkan pernyataan ini seolah-olah pria muslim boleh menikah (sah) dengan wanita non-muslim. Apa benar demikian? Mohon penjelasannya.

 Jawaban:

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Apa yang anda sampaikan adalah benar, bahwa pernikahan seorang muslim dengan wanita ahlul kitab dibolehkan oleh al-Qur’an. Dengan syarat mereka itu memang beriman pada Allah dan statusnya adalah wanita baik-baik, bukan pezina serta menjaga kehormatannya (muhshonat). Dan dalam pelaksanaannya harus mengikuti aturan Islam. Dalam Al-Qur’an Allah Swt. Berfirman: “Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mahar mereka dengan maksud menikahinya…” (QS. Al-Maidah: 5).

Ini baru dari sisi fiqih nikahnya. Belum lagi harus dikaji dari segi fiqih dakwahnya. Biasanya anak-anak itu lebih dekat dengan ibu dalam pendidikannya, karena itu harus dipikirkan agar anak-anak dari laki-laki muslim dapat terdidik secara Islam. Bila ibu mereka yahudi atau nasrani, tentu ini sebuah masalah baru. Apalagi dalam konteks sekarang ini, di mana pernikahan sering dijadikan alat permurtadan oleh agama tertentu. Banyak sekali pemuda-pemuda muslim yang menjadi murtad karena menikahi wanita-wanita kristen. Oleh karena itu, ada sebahagian kalangan ulama yang menyatakan bahwa pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab tidak diperbolehkan karena akan membawa dampak pemurtadan.

Wallahu A’lam Bish-Showab, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh

Poligami, Sunnahkah?

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Ustadz, saya mendapat email dari seorang saudara yang mengatakan bahwa poligami itu bukanlah sunnah nabi SAW. Tapi poligami boleh dilakukan dalam keadaan terdesak, bagaimana pendapat ini sebenarnya ustadz?
Wassalam.

Jawaban:

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Memang di kalangan ulama ada sedikit perbedaan berkaitan dengan hukum berpoligami, yaitu antara yang menganggapnya sebagai anjuran atau sunnah yang lebih baik dilaksanakan, dan antara pendapat yang mengatakan bahwa poligami itu hukumnya boleh saja, tapi tidak menjadi sebuah anjuran atau keutamaan. Barangkali salah satu faktor mengapa terjadi perbedaan seperti itu adalah bahwa setiap ulama memiliki dan melihat fenomena yang berbeda pada setiap orang. Di masyarakat yang memang poligami itu sudah merupakan ‘urf atau sesuatu yang biasa dikerjakan orang, maka biasanya para ulama disitu lebih sering menganjurkan poligami. Sebaliknya, di negeri di mana poligami itu tidak menajdi ‘urf atau kebiasaan masyarakat, para ulamanya pun tidak terlalu ‘menggebu’ untuk menganjurkan masyarakat berpoligami.

Bila kita lihat kenyataan dari zaman shahabat misalnya, maka kita melihat adanya keseimbangan antara yang berpoligami dengan yang tidak. Umumnya mereka yang dari segi finanasialnya sudah lumayan baik, menjadi wajar untuk berpoligami. Dan sebaliknya, bila kemampuan finansialnya tidak jelas, mereka pun tidak lantas mengejar-ngejar poligami. Jadi masalah poligami tidak bisa diterapkan hukumnya secara sama pada setiap orang dan juga tidak pada setiap kelompok masyarakat atau negeri. Yang benar adalah harus disesuaikan dengan banyak pertimbangan seperti ‘urf, finansial, kematangan dan kedewasaan serta faktor-faktor lainnya. Kalau sekedar mengejar keutamaan, maka ada banyak amal-amal lainnya yang bila dikerjakan, semua orang akan sepakat mendukungnya. Berbeda dengan poligami yang bila dikerjakan, paling tidak ada pihak-pihak tertentu yang masih akan mengkomplainnya, minimal istri pertamanya.

Wallahu a’lam bish-Shawab.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Hukum Memakai Kondom

Pertanyaan :

Assalamu’alaikum Wr. Wb

apa hukumnya pemakain kondom, saya menggunakan nya dengan alasan untuk mengatur jarak kelahiran bayi pertama dengan bayi berikutnya. Terimakasih sarannya.

Wassalam

Jawaban :

Assalamu alaikum wr.wb.


Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Jika yang Anda maksud dengan KB adalah pengaturan kelahiran; bukan pembatasan kelahiran dengan hanya memiliki dua anak, maka Islam membolehkan jika alasannya logis dan rasional.

Di antara alasan bolehnya KB atau mengatur kelahiran adalah:

-kekhawatiran akan kesehatan ibu jika ia hamil atau melahirkan dalam waktu tertentu berdasarkan pengalaman atau keterangan dokter yang bisa dipercaya. Allah befirman

Janganlah kalian mencampakkan diri kalian dalam kebinasaan.”

-kekhawatiran terhadap anak yang masih menyusui jika ada kandungan baru. Nabi saw. Menamai senggama yang dilakukan di masa menyusui dengan ghilah karena bisa mengakibatkan kehamilan yang merusak ASI dan memperlemah anak.

Adapun terkait dengan penggunaan alat kontrasepsi, kondom termasuk yang diperbolehkan.

Pasalnya, ada lima 5 persoalan yang terkait dengan penggunaan alat kontrasepsi, yaitu :

1. Cara kerjanya, apakah mengatur kehamilan atau menggugurkan kehamilan (isqat al-haml)?
2. Sifatnya, apakah ia hanya pencegahan kehamilan sementara atau bersifat pemandulan permanen (ta’qim)?
3. Pemasangannya, Bagaimana dan siapa yang memasang alat kontrasepsi tersebut? (Hal ini berkaitan dengan masalah hukum melihat aurat orang lain).
4. Implikasi alat kontrasepsi terhadap kesehatan penggunanya.
5. Bahan yang digunakan untuk membuat alat kontrasepsi tersebut.

Alat kontrasepsi yang dibenarkan menurut Islam adalah yang cara kerjanya mengatur kehamilan, bersifat sementara (tidak permanen) dan dapat dipasang sendiri oleh yang bersangkutan atau oleh orang lain yang tidak haram memandang auratnya (suami) atau oleh orang lain yang pada dasarnya tidak boleh memandang auratnya tetapi dalam keadaan darurat ia dibolehkan. Selain itu bahan pembuatan yang digunakan harus berasal dari bahan yang halal, serta tidak menimbulkan implikasi yang membahayakan (mudlarat) bagi kesehatan.

Jadi, Anda bisa memilih alat kontrasepsi apa saja asalkan sesuai dengan lima kriteria di atas.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Wassalamu alaikum wr.wb

Hukum KB dan Jima?

Assalamu alaikum wr.wb.

Seperti yang diketahui bersama, melestarikan keturunan merupakan fungsi pertama dari sebuah pernikahan dan hal itu hanya bisa terwujud dengan sebuah proses berketurunan. Karena itu, Islam sangat mendorong kaum muslimin untuk memiliki banyak keturunan, entah laki-laki ataupun wanita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.“Artinya : Nikahilah wanita yang banyak anak lagi penyayang, karena sesungguhnya aku berlomba-lomba dalam banyak umat dengan umat-umat yang lain di hari kiamat dalam riwayat yang lain : dengan para nabi di hari kiamat. [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud 1/320, Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162 (lihat takhrijnya dalam Al-Insyirah hal.29 Adazbuz Zifaf hal 60) ; Baihaqi 781, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 3/61-62]

Namun demikian, Islam juga membolehkan seorang muslim untuk mengatur jarak kelahiran jika memang terdapat sebuah alasan yang rasional dan kebutuhan yang dibenarkan.

Di antara alasan bolehnya KB dalam makna mengatur kelahiran adalah:

-kekhawatiran akan kesehatan ibu jika ia hamil atau melahirkan dalam waktu tertentu berdasarkan pengalaman atau keterangan dokter yang bisa dipercaya. Allah befirman

Janganlah kalian mencampakkan diri kalian dalam kebinasaan.”

-kekhawatiran terhadap anak yang masih menyusui jika ada kandungan baru. Nabi saw. Menamai senggama yang dilakukan di masa menyusui dengan ghilah karena bisa mengakibatkan kehamilan yang merusak ASI dan memperlemah anak.

Terkait azal pada masa Rasul saw. juga sudah ada yang melaksanakan azal (mengeluarkan sperma di luar rahim). Para sahabat radhiyallahu anhum melakukan hal tersebut saat risalah dan wahyu masih turun sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari Muslim.

Dalam Shahih Muslim juga disebutkan,Kami melakukan azal pada masa Rasulullah saw. Ketika beliau mendengar, beliau tidak melarangnya.”

Dengan demikian, menunda kelahiran anak diperbolehkan. Hanya saja, menurut Syeikh Faishal Maulawi (wakil lembaga fatwa Eropa), Dr. Fuad Mukhaymir (dosen Universitas Al-Azhar Mesir), serta Syeikh Abdul Khaliq asy-Syarif (dai Mesir), serta yang lainnya, penundaan kelahiran tersebut boleh dilakukan jika disepakati disepakati oleh kedua belah pihak (suami isteri).

Wallahu a’lam bish-shawab.

wassalamu alaikum wr.wb.

Rasa cinta terhadap suami

Pertanyaan :

Assalamu’alaikum Ustad, mohon saran dan solusinya atas masalah yg sdg saya hadapi.
Kami adalah pasangan yg sama2 aktif berdakwah dan menikah pun menikah atas dasar dakwah, dan seperti yg kita ketahui pernikahan kami difasilitasi oleh murobbi. Yg saya alami adalah saat ini setelah menikah kurang lebih 5 tahun, dan dikarunia 2 orang anak, istri mengatakan bahwa sebenarnya sudah tidak ada rasa suka lagi sama saya.
Sebagai seorang suami apa yg harus saya lakukan ustad, padahal saya sendiri begitu menyayanginya dan tidak ingin pernikahan kami berantakan.
Mohon pencerahannya ustad.
Jazakumullah.

Wassalamu’alaikum

Jawaban :

Assalamu alaikum wr.wb.

Pernikahan disyariatkan oleh Allah Swt. pada dasarnya untuk menghadirkan ketenangan rasa cinta, dan kasih sayang. Hal itu sebagaimana yang Allah sebutkan dalam surat ar-Rum: 21.

Namun jika perasaan tersebut tidak muncul di antara suami isteri serta tidak ada lagi keharmonisan dan kebahagiaan, maka yang pertama kali harus dilakukan adalah mencari sebab-sebabnya. Bisa jadi Anda kurang memenuhi haknya atau bisa pula karena sebab lain yang perlu dicari solusinya. Karena itu, yang perlu Anda lakukan saat ini adalah bagaimana memperbaiki sikap, perilaku, perhatian Anda kepada isteri.

Kalau memang memaksa, ada baiknya melakukan komunikasi intens dalam masalah ini untuk mencari sebabnya atau agar isteri berterus terang. Namun, hal itu harus dilakukan secara baik dan bijaksana dengan harapan bisa dipecahkan dan dicari solusinya.

Langsung menceraikan tentu saja bukanlah langkah yang bijak dan tepat. Demikian pula isteri, ia tidak boleh langsung meminta cerai lantaran tidak ada lagi rasa cinta. Dalam hadits disebutkan, “Wanita manapun yang meminta cerai dari suaminya tanpa sebab yang dibenarkan, maka haram baginya mencium bau sorga.” (HR Abu Daud).

Terkecuali memang ada sebab syar’i, misalnya terkait dengan perilaku, muamalah yang buruk, serta kewajiban yang tidak dijalankan. Itupun harus tetap dengan mengedepankan aspek komunikasi terlebih dahulu. Kalau perlu, boleh pula meminta nasihat pihak ketiga yang dipandang bisa membantu menyelesaikan masalah.

Kalau semua cara sudah ditempuh tetapi kondisinya belum berubah; sementara isteri Anda atau Anda sendiri sudah tidak bisa bersabar dengan kondisi demikian, serta hal itu hanya mendatangkan mudharat lebih besar, maka perceraian menjadi solusi terakhir; karena tidak ada gunanya lagi pernikahan dipertahankan.

Semoga Allah memberikan jalan keluar dan keharmonisan kepada Anda berdua.
Wallahu A’lam bish-shawab.
Wassalamu alaikum wr.wb.

Hukum suami menolak ajakan istri ?

Pertanyaan :
Assalamuallaikum ustaz,

saya ingin menanyakan hukumnya seorang suami yang udah tidak pernah memberikan nafkah bathin dan menolak jika seorang istri meminta? krn selama ini saya hanya lebih byk mendengar istri yang menolak ajakan suami. oleh karena itu saya ingin tau bagaimana hukumnya :



1. suami yang tidak pernah lagi memberikan nafkah bathin kepada istrinya dan suami yang menolak ajakan istri (baik dengan cara pura2 tidur maupun secara lisan)???
2. Apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang muslimah sebagai istri yang menghadapi sikap suami yang demikian?
3. jika dalam keadaan sang istri ingin melakukan hubungan dengan sang suami tetapi ditolak dan sang istri membayangkan melakukan hal tersebut dengan laki-laki lain sehingga dia merasa terangsang? dosa siapakah? suami kah atau istrinya sendiri?

Jawaban;

Assalamu alaikum wr.wb.
Pada dasarnya sebuah pernikahan harus dibangun di atas landasan kasih sayang dan saling pengertian di antara suami isteri. Masing-masing harus berupaya untuk menunaikan kewajiban dan memenuhi kebutuhan pasangannya secara benar sesuai dengan ajaran islam. termasuk dalam urusan memenuhi nafkah batin. Tidak boleh suami atau isteri menolak untuk memenuhi nafkah batin pasangannya jika tanpa alasan dan akan mendatangkan mudarat atau bahaya.

Karena itu, terkait dengan pertanyaan Anda di atas, jika ada seorang suami yang menolak untuk memberikan nafkah batin kepada isterinya, maka harus dilihat sebab-sebabnya. Jika hal itu dilakukan suami lantaran sang isteri berbuat nusyuz (durhaka) atau suami dalam kondisi sakit, maka bisa dimaklumi.

Namun, kalau tanpa ada alasan lalu sang suami menolak untuk memberikan nafkah batin padahal ia mampu melakukannya dan sang isteri sangat membutuhkan, maka suami berdosa. Ibnu Taymiyyah menyatakan, “Seorang suami harus memberikan nafkah batin kepada isterinya secara makruf. Sebab, ia termasuk kebutuhannya yang paling utama; melebihi kebutuhannya terhadap makan. Nafkah batin yang wajib dipenuhi oleh suami menurut sebagian ulama paling lama empat bulan sekali. Sementara pandangan lain sesuai dengan kebutuhan isteri dan kemampuan suami untuk memenuhinya.”

Kalau kemudian isteri tidak menerima sikap suaminya yang menolak memberinya kebutuhan selama empat bulan lebih, maka sang isteri berhak untuk mengingatkan isteri dan bahkan berhak untuk menuntut cerai.

Namun, sebelum semua itu dilakukan hendaknya masing-masing melakukan introspeksi dan komunikasi secara baik, serta memahami kondisi masing-masing secara bijak.

Juga, tidak boleh melampiaskan kebutuhan tersebut dengan cara menyimpang. Kalau hal itu dilakukan, maka isteri yang melakukan nya berdosa; dan suami yang menjadi penyebab juga ikut mendapat bagian dari dosa tadi.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Wassalamu alaikum wr.wb.