TEMPOR CYBER™  mengucapkan . . . MARHABAN YAA RAMADHON 1437 H

Minggu, 07 Agustus 2011

SANG PEMIMPI – THE DREAMER

Arai adalah orang kebanyakan. Laki-laki seperti dia selalu bertengkar dengan tukang parkir sepeda, meributkan uang dua ratus perak. Orang seperti dia  sering duduk di bangku panjang kantor pegadaian menunggu barangnya ditaksir. Barangnya itu dulang tembaga busuk kehijau-hijauan peninggalan neneknya. Kalau polisi menciduk gerombolan bromocorah pencuri kabel telepon, orang berwajah serupa Arai dinaikkan ke bak mobil pick up, dibopong karena tulang keringnya dicuncung sepatu jatah kopral. Jika menonton TVRI, kita biasa melihat orang seperti Arai meloncat-loncat di belakang presiden agar tampak oleh kamera.


Wajah Arai laksana patung muka yang dibuat mahasiswa baru seni kriya yang baru pertama kali menjamah tanah liat, pencet sana, melendung sini. Lebih tepatnya, perabot di wajahnya seperti hasil suntikan silikon dan mulai meleleh. Suaranya kering, serak, dan nyaring, persis vokalis mengambil nada falseto—mungkin karena kebanyakan menangis waktu kecil. Gerak-geriknya canggung serupa belalang sembah. Tapi matanya istimewa. Di situlah pusat pesona Arai. Kedua bola matanya itu, sang jendela hati, adalah layar yang mempertontonkan jiwanya yang tak pernah kosong.


Sesungguhnya, aku dan Arai masih bertalian darah. Neneknya adalah adik kandung kakekku dari pihak ibu. Namun sungguh malang nasibnya. Ketika ia kelas satu SD, ibunya wafat saat melahirkan adiknya. Arai, baru enam tahun waktu itu, dan ayahnya, gemetar di samping jasad beku sang ibu yang memeluk bayi merah bersimbah darah. Anak-beranak itu meninggal bersamaan. Lalu Arai tinggal berdua dengan ayahnya. Namun, kepedihan belum mau menjauhi Arai. Menginjak kelas tiga SD, ayahnya juga wafat. Arai menjadi yatim piatu, sebatang kara. Ia kemudian dipungut keluarga kami.

Aku teringat, beberapa hari setelah ayahnya meninggal, dengan menumpang truk kopra, aku dan ayahku menjemput Arai. Sore itu ia sudah menunggu kami di depan tangga gubuknya. Ia berdiri sendirian di tengah belantara ladang tebu yang tak terurus. Anak kecil itu mengapit di ketiaknya karung kecampang berisi beberapa potong pakaian, sajadah, gayung tempurung kelapa, mainan buatannya sendiri, dan bingkai plastik murahan berisi foto hitam putih ayah dan ibunya ketika pengantin baru. Sebatang potlot yang kumal ia selipkan di daun telinga, penggaris kayu yang sudah patah ia sisipkan di pinggang. Tangan kirinya menggenggam beberapa lembar buku tak bersampul. Celana dan bajunya dari kain belacu lusuh dengan kancing tak lengkap. Itulah seluruh harta bendanya. Sudah berjam-jam ia menunggu kami.

Wajah cemasnya menjadi lega ketika melihat kami. Aku membantu membawa buku-bukunya dan kami meninggalkan gubuk berdinding lelak beratap daun itu dengan membiarkan pintu dan jendela-jendelanya terbuka, karena dipastikan tak ‘kan ada siapa-siapa untuk mengambil apa pun. Laksana terumbu karang yang menjadi rumah ikan di dasar laut, gubuk itu akan segera menjadi sarang luak, atapnya akan menjadi lumbung telur burung kinantan, tiang-tiangnya akan menjadi istana liang kumbang.

Kami menyelusuri jalan setapak menerobos gulma yang lebih tinggi dari kami. Kerasak tumpah ruah merubung jalan itu. Arai menengok ke belakang untuk melihat gubuknya terakhir kali. Wajahnya hampa. Lalu ia berbalik cepat dan melangkah dengan tegap. Anak sekecil itu telah belajar menguatkan dirinya. Ayahku berlinangan air mata. Dipeluknya pundak Arai erat-erat.

Di perjalanan aku tak banyak bicara karena hatiku ngilu mengenangkan nasib malang yang menimpa sepupu jauhku itu. Ayah duduk di atas tumpukan kopra, memalingkan wajahnya, tak sampai hati memandang Arai. Aku dan Arai duduk berdampingan di pojok bak truk yang terbanting-banting di atas jalan sepi berbatu-batu. Kami hanya diam. Arai adalah sebatang pohon kara di tengah padang karena hanya tinggal ia sendiri dari satu garis keturunan keluarganya. Ayah ibunya merupakan anak-anak tunggal dan kakek neneknya dari kedua pihak orangtuanya juga te­lah tiada. Orang Melayu memberi julukan Simpai Keramat untuk orang terakhir yang tersisa dari suatu klan.

Aku mengamati Arai. Kelihatan jelas kesusahan telah menderanya sepanjang hidup. Ia seusia denganku tapi tampak lebih dewasa. Sinar matanya jernih, polos sekali. Lalu tak dapat kutahankan air mataku mengalir. Aku tak dapat mengerti bagaimana anak semuda itu menanggungkan cobaan demikian berat sebagai Simpai Keramat. Arai mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan lengan bajunya yang kumal. Tindakan itu membuat air mataku mengalir semakin deras. Sempat kulirik ayah yang mencuri-curi pandang kepada kami, wajahnya sembap dan matanya se­merah buah saga. Sepertiku, ayah tak mampu menahan perasannya melihat Arai.

Melihatku pilu, kupikir Arai akan ikut terharu tapi ia malah tersenyum dan pelan-pelan ia merogohan tangan ke dalam kacung kecampangnya. Air mukanya memberi kesan ia memiliki sebuah benda ajaib nan rahasia.

“Ikal, lihatlah ini!” bujuknya.
Dari dalam karung tadi ia mengeluarkan sebuah benda mainan yang aneh. Aku melirik benda itu dan aku makin pedih membayangkan ia membuat mainan itu sendiri, memainkannya juga sendiri di tengah-tengah ladang tebu. Aku tersedu sedan.

Tapi bagaimanapun perih hatiku aku tertarik. Mainan itu semacam gasing yang dibuat dari potongan-potongan lidi aren dan di ujung lidi-lidi itu ditancapkan beberapa butir buah kenari tua yang telah dilubangi. Sepintas bentuknya seperti helikopter. Jalinan lidi pada mainan itu agaknya mengandung konstruksi mekanis. Aku tergoda melihat Arai memutar-mutar benda itu setengah lingkaran untuk mengambil ancang-ancang. Setelah beberapa putaran, sebatang lidi besar yang menjadi tuas konstruksi itu melengkung lalu saat putaran terakhir dilepaskan, ajaib! Lengkungan tadi melawan arah menimbulkan tendangan tenaga balik yang memelintir gasing aneh itu dengan sempurna 360 derajat, berulang-ulang. Lebih seru lagi, putaran balik tadi menyebabkan butir-butir kenari saling beradu menimbulkan harmoni suara gemeretak yang menakjubkan. Aku tergelak. Mata Arai bersinar-sinar.

Aku tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti mekanika gerak balik helikopter aneh itu, Arai telah memutarbalikkan logika sentimental ini. Ia justru berusaha menghiburku pada saat aku seharusnya menghiburnya. Dadaku sesak.

“Cobalah, Ikal”

Aku merebut gasing itu, mengamatinya dengan teliti, bukan hanya sebagai mainan yang menarik hati tapi sebagai sebuah kisah tentang anak kecil yang menciptakan mainan untuk melupakan kepedihan hidupnya.

Aku memutar gasing itu sekali, dan terperanjat sebab tiba-tiba ia berputar sendiri dengan keras sehingga konstruksinya bingkas, lidi-lidinya patah, dan buah-buah kenari itu berhamburan ke mukaku. Aku telah memutarnya terlalu kencang. Arai terkekeh melihatku. Ia memegangi perutnya menahan tawa. Belum hilang terkejutku, Arai kembali merogohkan tangannya ke dalam karung kecampang.

“Masih ada lagi!”

Ia tersenyum penuh arti karena tahu telah berhasil menghiburku. Kali ini ia mengeluarkan sebuah cupu dari kayu medang yang berlubang-lubang. Biasa dipakai orang Melayu untuk menyimpan tembakau. Tak kusangka cupu itu telah dibelah dan sambungannya tak kasat. Arai membukanya pelan-pelan.
“Aiih, kumbang sagu!”
Aku memekik tak terkendali. Kumbang sagu, serangga mainan langka yang susah ditangkap. Jika dipelihara dan diberi makan remah kelapa, kumbang bersayap mengilat seperti tameng patriot Spartan itu dapat menjadi jinak. Tak berkedip aku melihat Arai membiarkan kumbang itu merayapi lengannya. Makhluk yang memesona itu meloncat-loncat kecil ingin terbang. Arai membelai serangga kecil itu, menggenggamnya dengan lembut lalu melemparkannya ke udara.

Ditiup angin kencang di atas truk kumbang itu meregangkan sayap-sayapnya, mengapung sebentar, berputar-putar merayakan kemerdekaannya lalu melesat menembus rimbun dedaunan kemang di tepi jalan. Lalu Arai melangkah menuju depan bak truk. Ia berdiri tegak di sana serupa orang berdiri di hidung haluan kapal. Pelan-pelan ia melapangkan kedua lengannya dan membiarkan angin menerpa wajahnya. Ia tersenyum penuh semangat. Agaknya ia juga bertekad memerdekakan diri­nya dari duka mengharu biru yang membelenggunya seumur hidup. Ia telah berdamai dengan kesedihan dan siap menantang nasibnya. Jahitan kancing bajunya yang rapuh satu per satu terlepas hingga bajunya melambai-lambai seperti sayap kumbang sagu tadi. Ia menggoyang-goyang tubuhnya bak rajawali di angkasa.

“Dunia! Sambutlah aku …! Ini aku, Arai, datang untukmu…!” Pasti itu maksudnya.

Ayahku tersenyum mengepalkan tinjunya kuat-kuat dan aku ingin tertawa sekeras-kerasnya, tapi aku juga ingin menangis sekeras-kerasnya.

0 komentar:

Posting Komentar